BAB 25

130 21 0
                                    

Jika benar kehadiran Aileen bisa di ketahui berapa lama lagi, maka Tuhan memberikan waktu bagi semua orang untuk mengucapkan selamat tinggal.

-o0o-

Seat belt sudah terpasang rapi, melingkar di tubuh Rean. Mata Rean mengamati sepanjang jalanan, berharap semoga terpampang seorang gadis manis yang memang Rean cari sekarang ini. Hilang sudah senyum manis di bibir Rean. Sudah dua hari lamanya Rean tidak mendapat kabar dari Aileen.

Rean terus dihantui rasa bersalah dan khawatir. Tak pernah di sangka kisah remajanya akan menjadi serumit ini. Pikirnya setelah ia bertemu dengan Aileen, kisah hidup Rean lebih indah dari sebelumnya. Sayangnya itu hanya ekspetasi yang tak ada kaitannya dengan realita. Sepertinya Rean menyesal telah jatuh cinta.

-o0o-

Gedung-gedung sudah Rean kunjungi, dari berbagai rumah sakit, restoran, kafe, dan tempat umum lainnya. Namun sama sekali Rean tidak menemukan keberadaan Aileen. Malam ini, tepat hari keempat setelah Aileen pergi. Rean hanya bisa berdiam diri di atas kursi balkon, sambil menikmati semilir angin malam. Rean melihat taburan bintang di angkasa. Perasaan Rean terasa sesak kala mengingat ucapan Aileen waktu lalu, Rean berharap Aileen tak ada diantara salah satu bintang angkasa untuk saat ini.

Rean mengambil buku hariannya. Tangannya mulai mencoret aksara berdasarkan lubuk hatinya. Kembali seperti dulu, Rean tak menceritakan apa yang ia rasakan, tentang rasa sakit, amarah, kekesalan, namun Rean hanya mencurahkan segalanya di buku harian, hanya pada benda mati. Sweater hitamnya kini tak lagi berfungsi dengan baik. Rean merasa mual dan ingin memuntahkan isi perutnya. Dengan segera Rean berlari keluar balkon dan masuk ke dalam pintu toilet.

Rean berpikir sejenak. Sedari tadi, memang kondisinya tidak baik-baik saja. Rean bisa merasakan sakit di kepalanya, mual di perutnya, dan lemas untuk beraktivitas. Namun Rean tidak tersiksa karena rasa sakit itu, semua rasa sakit yang menghantam fisiknya tak seberapa ketimbang batinnya. Setelah memuntahkan cairan bening dari dalam perutnya, Rean membasuh wajahnya di wastafel, dan menatap pantulan dirinya di cermin.

Kemarin memang Rean menjalani pengobatan cuci darah, namun tidak biasanya Rean mengalami efek samping hingga keesokan harinya. "Nggak mungkin kambuh lagi kan?"

-o0o-

Hari ini, Rean menuruni anak tangga dengan pakaian rapi serta tas ransel yang sudah berada di pundaknya. Rean melihat Novita dan Sheva di bawah sana. "Loh, kamu sekolah, Rey?" tanya Novita. Rean mengangguk dan melanjutkan langkahnya untuk duduk di kursi makan. Novita mendekat kearah Rean dan duduk di hadapan Rean.

Wajah kusut Rean cukup menjadi alasan untuk Novita melarang Rean pergi. "Istirahat dulu aja, Rey," ujar Novita. Rean masih diam, tak bergeming. Rean memilih melahap roti tawar dengan selai kacang di atasnya. Seperti menulikan indra, Rean sama sekali tidak peduli dengan ucapan mamanya.

"Rey! Di ajak ngomong malah mendadak tuli!" ujar Sheva.

"Udah, Sheva," ujar Novita.

"Mama nggak mau kamu drop lagi, istirahat di rumah ya, Nak," pinta Novita. Rean menggeleng cepat, Rean ingin mengetahui kabar Aileen secepatnya. "Enggak, Rey," tolak Novita. "Capek atau enggak, Rean bakal tetep gini," panggil Rean. Novita menghela napas panjang. Sulit sekali bagi dirinya menghadapi Rean yang keras kepala. "Yaudah boleh, jangan capek-capek ya,"

Rean mengangguk tanpa ekspresi. Rean meninggalkan ruang makan tanpa sepatah kata, tidak berpamitan pada Sheva maupun Novita. Sebagai seorang ibu, Novita hati Novita sangat resah, mengingat mental Rean sedikit goyah karena kehilangan orang yang dia sayangi, serta tubuhnya yang masih lemah karena menjalani pengobatan mandiri. "Menurut Mama, kak Aileen ada dimana?" tanya Sheva. "Dimana pun itu, dia pasti baik-baik saja, dia masih punya janji yang harus ditepat untuk Rean dan Mama sudah janji untuk memberikan pesan terbaik guna menebus kesalahan Mama," jawab Novita dengan lesu.

Starlight (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang