BAB 5

179 40 1
                                    

Semua orang memiliki keistimewaan, hanya saja mereka terlalu membandingkan diri dengan orang lain, sehingga tak satu pun hal yang dirasa istimewa dalam dirinya.

-o0o-

Ketika pihak sekolah berucap bahwa kondisi putranya tidak baik-baik saja, rasa takut mulai menguasai raganya. Hanya Rean yang dia punya, dan hanya karena Rean lah, Novita bisa kuat dengan semua ini.

Hanya ada keheningan di dalam mobil hitam ini. Rean termenung menatap pemandangan luar kaca mobil. Mau tau apa yang Rean pikir kan? Rean hanya menginginkan kehidupan normal, simpel kan? Namun bagi Rean hal itu mustahil terjadi. Tanpa rasa sakit, tanpa beban, tanpa sikap dingin, dan tanpa dikasihani. Rean ingin seperti teman-temannya, yang bisa bercanda ria bersama dan memiliki kehidupan yang menyenangkan.

"Sekarang udah enakan?" tanya Novita pada Rean.

Rean hanya menggeleng jujur. Kepalanya masih pening, dan pandangannya pun masih terasa kabur. Tangan Novita terulur untuk mendaratkan punggung tangannya di pipi tirus Rean. Dan yang didapatkannya memang suhu badan Rean sekarang tinggi.

"Tekanan darah kamu tinggi lagi?" tanya Novita.

"Rean bukan dokter,"

"Rey ...,"

"Iya," jawabnya singkat.

Novita menatap kearah Rean, matanya memerah, kepalanya tertunduk, tangannya terkepal kuat menahan amarah. Novita menarik kepala Rean supaya menjadikan bahunya sebagai bantalan. Air mata Novita luruh, dia tau bahwa putranya sedang tidak baik-baik saja, menahan rasa sakit serta harus terlihat baik-baik saja, hal itu tidak mudah.

"Kamu boleh nangis kalo nggak kuat," ujar Novita sambil mengusap sayang kepala putranya.

Perlahan tetes demi tetes air mata jatuh menggenang di pipinya. Kecewa, rasa ini selalu menyiksa Rean. Rean hanya menginginkan satu, Rean ingin keluar dari zona ini, dimana nanti dirinya berhenti merasakan rasa sakit serta bisa hidup dikelilingi canda tawa.

Hal yang tak pernah diinginkan terjadi tiba-tiba tanpa seizin darinya, dan Rean sadar, semua itu atas kuasa sang pencipta. Rean ingin marah, ingin berontak, ingin berteriak mengapa semua ini tidak adil. Sayangnya Rean hanya bisa memendam dan terkadang mencurahkannya sendirian dengan benda mati. Asal jangan pernah membuat Novita meneteskan air mata, Rean bisa menerima semua ini, namun sayangnya Novita tidak sekuat itu.

Kasih sayang seorang ibu kepada sang anak, melebihi rasa cintanya kepada dirinya sendiri, seperti itulah Novita. Bahkan dengan segalanya yang ia miliki jika tanpa kehadiran Rean tidak berarti apa-apa.

"Kuat ya, Nak ...," ujar Novita sambil mengusap sayang kepala Rean.

"Rean sayang sama Mama, jangan karena kondisi Rean, Mama jadi nangis. Rean nggak suka," pinta Rean. Novita menangkup wajahnya. Novita juga tak ingin meneteskan air mata, namun hatinya berkata lain.

-o0o-

Rean berdiri di atas balkon kamarnya menikmati hembusan angin pagi disertai percikan embun. Setelah berpikir panjang tentang langkahnya untuk memulai pagi ini, akhirnya Rean memutuskan tetap masuk sekolah.

Kemarin dirinya sudah pergi ke klinik untuk check up, seperti biasa dokter berkata bahwa kondisi Rean semakin memburuk. Setelah berdebat panjang dengan Novita, akhirnya Novita menuruti kemauan Rean untuk rawat jalan, karena Rean tidak suka tidur di ranjang ruangan bernuansa putih dengan aroma obat-obatan.

Rean menggendong ransel hitamnya dan memeluk beberapa buku-buku tebal dengan beragam judul. Rean memutar kenop pintu dan mulai menuruni anak tangga.

Starlight (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang