Jakarta, Sabtu sore, Aditya Rahman, sedang mengendarai mobilnya menuju rumah temannya, Praga. Adit sudah mengalami sakit otot selama beberapa hari terakhir ini sejak bermain futsal hari Senin lalu bersama Praga dan teman-teman kampusnya yang lain. Bagian sekitar pinggulnya terasa sakit dan dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Adit dan Praga adalah teman sejak masa kecil dan saat ini mereka sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Keluarga mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Setelah Adit menceritakan kondisi pinggulnya yang tidak kunjung membaik dan sepertinya semakin parah, Praga menyarankan agar Adit datang untuk berkonsultasi dengan ayahnya.
Kebetulan Ayah Praga, Om Frima adalah seorang fisioterapis di salah satu rumah sakit swasta terkenal dan setelah mendengar kondisi Adit yang tidak memiliki biaya untuk berobat ke rumah sakit atau fisioterapi, dengan senang hati beliau setuju untuk memeriksa kondisi Adit.
Adit akhirnya tiba di rumah Praga. Saat itu sudah pukul 4 sore. Adit sedikit tertatih turun dari mobil dan berjalan menuju pintu depan rumah Praga.
"TING-TONG!" Adit membunyikan bel.
Beberapa detik kemudian, pintu dibuka langsung oleh Om Frima.
"Hey, Adit! Ayo, silahkan masuk!" Om Frima menyambut Adit dengan ramah masuk ke dalam rumah.
Om Frima sekarang berusia sekitar 40 tahun namun masih tampak sangat tegap dan maskulin. Aura kejantanannya sangat dominan. Adit mengenal Om Frima dengan cukup baik sejak kecil. Bahkan saat beranjak remaja, Om Frima sering mengajaknya dan Praga untuk berolahraga bersama, terkadang mereka juga berkemah dan mendaki gunung bersama.
"Halo, Om! Praganya mana, Om?" tanya Adit karena Praga tidak membalas pesan terakhir yang dikirimkan Adit sebelum dia berangkat.
"Oh, ya, tadi pagi baru dapat kabar sepupu Praga, Robby, masuk rumah sakit lagi. Jadi Adit menemani ibunya ke Bogor. Mereka akan menginap di sana malam ini dan besok pagi baru balik ke sini."
Om Frima mengajak Adit ke ruangan kerjanya untuk diperiksa lebih lanjut. Om Frima memiliki ruangan khusus di rumahnya, yang sekaligus sebagai klinik kecil karena Om Frima terkadang menerima kunjungan pasien di rumah mereka.
"Jadi, Om dengar dari Praga, otot pinggul kamu sakit ya? Ayo, duduk dulu di sini!" Om Frima menunjuk ke meja pijat yang terletak di dekat jendela sementara dia mengambil sesuatu dari kabinetnya.
Adit naik dan duduk di atas meja pijat itu. Ini bukan meja pijat biasa karena Praga pernah menunjukkan kelebihan meja pijat elektrik ini dimana meja ini bisa disesuaikan tergantung bagian tubuh mana yang akan diperiksa.
"Jadi, bagian mana yang sakit, Dit? Coba diceritakan kronologisnya." kata Om Frima.
"Gini, Om, Senin lalu, saya main futsal dengan Praga. Saat saya mau menyundul bola, ada teman yang menarik pinggang saya. Tidak terlalu kuat sih, tapi langsung terasa sakit di daerah pinggul saya. Saya yakin ada otot yang tertarik. Sakitnya cukup parah, Om, ada terasa seperti sengatan listrik setiap beberapa saat."
"Adit, coba lepas baju dan celananya dulu, ya?" Om Frima memberi instruksi sambil menarik kursi ke samping meja. Adit dengan tanpa canggung melepaskan pakaiannya dan menyisakan celana dalam putih ketatnya.
Adit cukup bangga dengan tubuhnya. Karena sering berolahraga dan menjaga makanan, tubuhnya cukup terbentuk. Adit paling membanggakan otot dadanya juga otot perutnya yang rata. Karena sering squat dan bermain futsal, kedua kakinya juga kokoh berotot.
"Dit, berbaring telungkup ya di sini dan Om akan coba cari spot sakitnya dimana," kata Om Frima sembari Adit mengambil posisi sambil meringis menahan rasa sakit yang dirasakannya.
"Bilang sama Om ya jika sakit." Tangan Om Frima mulai menelusuri bagian belakang tubuh Adit terutama daerah pinggul. Om Frima mencoba menekan beberapa area yang sering cedera. Sebagai seorang fisioterapis profesional, tidak butuh waktu lama bagi Om Frima untuk menemukan dua titik di sekitar daerah pinggul Adit yang menyebabkan rasa sakit paling besar.
"Om, sakit, Om," erang Adit saat area tersebut ditekan perlahan. Biasanya, akan terasa aneh bila ada pria lain yang menyentuh pantatnya, apalagi dia hanya memakai celana dalam. Namun, Adit sudah mengenal Om Frima dan dia lebih terfokus pada rasa sakit daripada rasa canggung atau malu.
"Iya, Dit, ini Om sudah menemukan titiknya di sini. Ada otot yang sepertinya tertarik. Berita baiknya, ini umum terjadi. Om sekarang bisa bantu pijat untuk mengurangi rasa sakitnya. Itu juga bila Adit mau. Apakah sudah pernah fisioterapi sebelumnya?" tanya Om Frima.
"Belum, Om!" jawab Adit polos, "Boleh deh, Om, yang penting rasa sakitnya bisa berkurang sedikit. Makasih, Om." Adit tahu Om Frima tidak akan menerima bayaran sama sekali dan dia sangat bersyukur.
"Jangan sungkan, Dit! Sebentar lagi Om akan mulai pijat di area pinggul. Tapi celana dalam kamu tolong dilepas juga ya agar pijatnya lebih efektif. Tidak apa-apa kan, Dit?"
"Iya, Om!" Adit menurut perintah Om Frima dan bergerak untuk melepas celana dalamnya. Om Frima berbalik ke meja kerjanya untuk memberi privasi pada Adit sembari melepaskan kemejanya. Kebetulan AC di kantornya sedang rusak sehingga agak sedikit gerah. Om Frima sekarang hanya memakai sebuah kaos singlet putih dan celana jins.
Adit melipat rapi celana dalamnya dan menumpuknya dengan pakaiannya yang lain di rak dekat meja. Sekarang dia sudah telanjang bulat namun tidak ada pikiran yang aneh-aneh. Dia kemudian naik kembali dan berbaring telungkup di atas meja. Rasa sakit terus menerus menjalar di bagian pinggulnya.
Om Frima berjalan mendekati meja dan memperhatikan tubuh Adit. Dia berdecak kagum melihat tubuh Adit. Dia telah melihat anak ini tumbuh dewasa bersama putranya, Praga, dan kini menjadi seorang pria dewasa dengan tubuh yang kencang dan berotot.
Om Frima mengambil minyak pijat dan lotion. Om Frima membuka lotion dan mulai mengusap perlahan mulai dari punggung Adit. Setiap sentuhan dari Om Frima terasa lembut namun kuat di saat yang bersamaan. Om Frima mulai memijat dari punggung untuk membuat otot dan tulang belakang Adit rileks terlebih dahulu.
"Wah, otot kamu tegang sekali, Dit! Om akan coba buat rileks, ya. Adit bilang saja bila terlalu sakit, oke?" Om Frima berkata penuh perhatian.
"Ya, Om," jawab Adit sambil menikmati setiap pijatan dari ayah temannya itu.
Om Frima mulai berkonsentrasi memijat Adit. Om Frima menggunakan seluruh kekuatannya. Mulai dari otot punggung dan kemudian turun ke area pinggang dan pinggulnya. Setiap sentuhan dan pijatan Om Frima dapat dirasakan oleh Adit, semakin membuat dirinya rileks dan ada kenikmatan tersendiri yang dirasakan Adit.
Adit mengerang perlahan saat Om Frima mulai memijat area pinggulnya yang sensitif. Perpaduan antara rasa sakit dan nikmat cukup membuat Adit bingung. Adit merasakan sensasi yang luar biasa.
Adit mengerang lebih keras saat Om Frima meraih kedua bongkahan pantatnya dan meremasnya. Om Frima menggunakan telapak tangannya untuk menekan pantat Adit, menahan sebentar kemudian meremas dan memijat pantatnya untuk meregangkan otot gluteusnya. Itu salah satu pengalaman paling aneh yang dirasakan Adit. Dua tangan yang kuat memijat bongkahan pantatnya seperti seorang koki mengulek adonan.
Setelah beberapa menit, Adit terkejut saat merasakan sebuah tonjolan diantara dirinya dan meja pijat. Kontol Adit ternyata mulai ngaceng mendapat pijatan dari ayah temannya.
What the hell?
#ThorArea🦄
I'm back! Maaf menungggu lama!
Thor usahain updatenya in the next few days. Gak mau Anda nunggu lama-lama. Karena yang nanggung itu gak enak!
Tolong bantu vote, comment dan share ya! Thanks!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakit Tapi Enak, Om! (TAMAT)
RomanceBerawal dari cedera otot yang dialami oleh Aditya Rahman, membawanya berkonsultasi dengan ayah dari teman baiknya, Om Frima Suparman, seorang fisioterapis. Rasa sakit yang pertama dirasakan Adit segera berubah menjadi rasa kenikmatan yang belum pern...