7. Kamu di hatiku, di antara Allahumma dan Aamiin

701 156 37
                                    

"Apa Bah?!" Afifah menggeleng tidak percaya. Sama sekali tidak terpikirkan dalam benaknya kalau Resnu adalah saudara sepersusuan dengannya. Afifah seperti mati rasa. Tubuhnya lunglai tak bertenaga.

"Abbah pasti bohong, kan?" Afifah terisak.

"Kapan Abbah pernah berkata bohong, Nak?" Kalimat Abbah seperti sebuah jawaban telak. Iya benar, Abbah memang tidak pernah berkata bohong. Apa yang keluar dari mulutnya bisa dipertanggung jawabkan. Afifah kenal betul dengan abbahnya.

"Kenapa Abbah sembunyikan semuanya dari Afifah, Bah?!"

"Bukan bermaksud menyembunyikan, Ndhuk. Abbah pikir, ummah sudah memberitahu semuanya padamu. Ternyata Abbah salah. Ummah-mu bahkan mengatakan tidak sanggup jika harus memberitahu, Abbah jadi merasa sangat bersalah. Harusnya sudah dari jauh hari Abbah ceritakan semuanya, Ndhuk." Abbah terlihat sangat menyesal.

"Apa Mas Resnu tau tentang ini, Bah?"

Abbah menggeleng, "Abah tidak bisa memastikan. Harusnya dia juga sudah tau dari dulu, tapi kenapa justeru Resnu menaruh hati padamu, Ndhuk." 

Afifah tidak bisa berkata-kata lagi. Impiannya telah hancur berkeping-keping. Keinginannya sederhana saja padahal, bersanding dengan orang yang diam-diam telah merampas hatinya, hidup bersama, membangun bahtera bersama. Nyatanya benar kata pepatah; manusia cuma bisa berencana, tetapi Allah yang menjadi penentu akhirnya.

"Afifah permisi dulu, Bah." Afifah tidak kuat rasanya harus tetap berada di sini. Pamit pada Abbah, dia ingin tumpahkan segala sesak yang sejak tadi memenuhi hati.

"Afifah...tunggu, Nak!" Seru Abbah. Afifah sontak memaku langkah. "Maafkan Abbah ya, Ndhuk," ucap Abbah dengan suara bergetar. Afifah tidak tahan lagi, dia hampiri Abbah yang duduk di sofa, sejurus Afifah bersimpuh di pangkuan Abbah, terisak menuangkan segala sesak. Bagaimana mungkin dia akan marah pada abbah, sedang segala sesuatu telah menjadi ukuran takdirNya.

"Abbah tidak pantas meminta maaf. Afifah yang harusnya minta maaf, sudah buat hati Abbah terbebani."

Abbah menggeleng, tanda tidak setuju dengan ucapan putrinya, "Nggak satupun orangtua yang menganggap anaknya itu beban, Ndhuk. Apalagi kamu, putri Abbah satu-satunya. Andai Abbah mau jadi orang egois, mungkin Abbah rela melakukan apapun untuk kebahagiaanmu. Nyatanya Abbah hanya manusia biasa, yang serba terbatas."

"Abbah sudah banyak melakukan hal untuk Afifah, Bah."

"Percaya Ndhuk, kelak, kamu akan mendapat jodoh yang terbaik. Abbah dan ummah tidak pernah putus selalu mendoakan, tirakatan, semua untuk kamu." Afifah main terisak. Abbah sungguh tulus saat berucap. Mungkin jika Resnu bukan anaknya ummik dan Abi, pasti Abbah sudah lamaran untuk menjadi calon suami Afifah.

"Iya Bah, Afifah percaya sama Abbah. Ridhonya abbah dan ummah segalanya buat Afifah."

"Maafin ummah juga, Ndhuk!" Ketipak langkah diiringi suara menyapa Afifah. Ummah sejak tadi sembunyi di balik tembok, menyimak obrolan antara suami dan putrinya. Ummah berkaca-kaca. Hampir jatuh menetes air matanya saat Afifah menyongsong dan berhambur ke pelukannya.

"Afifah nggak pa-pa Ummah, jangan minta maaf," ucap Afifah masih terisak.

***

Usai acara pengajian maulid, Abbah meminta Abi Maksum bertemu sekeluarga. Di ruang tamu ndalem. Kali ini tidak ada Afifah atau Adhista. Hanya ada Abbah, ummah, Resnu dan kedua orangtuanya.

"Jadi, apa pertemuan malam ini ada hubungannya dengan rencana ta'aruf Ananda Resnu?" Abi Maksum membuka percakapan dengan pertanyaan. Abbah mengangguk.

"Iya Syeik, memang itu salah duanya yang mau dibahas," sahut Abbah.

Hening sesaat setelahnya Abbah mulai menyampaikan, bahwa Adhista menolak ta'aruf dengan Resnu. Justeru Resnu merapa hamdalah dan lega mendengar pernyataan Abbah.

CinTajwid (TAMAT- TERBIT E-BOOK )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang