6. Iqlab

590 158 72
                                    

"Yaelah, itu muka ditekuk terus dari tadi. Bosen gue lihatnya, Fah!" Afifah hanya mengendurkan bahu mendengar protes Retna. Hari ini pulang mengajar di sekolah Tahfiz milik yayasan pesantren, Afifah mengajak Retna bertemu. Mereka mendatangi kafe yang menjadi langganan.

"Kalau gue jadi Lo, udah terus terang aja sama Abah-ummah, ngapain dipendam, bikin sakit hati." Retna masih terus nyerocos sementara Afifah memilih geming.

"Udahlah Na, mungkin emang Mas Resnu bukan jodoh gue."

"Yassalam, melow amat Buk. Jodoh tuh dikejar, bukan ditunggu kaleeee."

"Tauk ah, Lo ngomel terus dari tadi, gue pergi aja deh." Ancam Afifah

"Eh, jangan dong. Gitu aja ngambek sih, Ustazah Afifah Hayya yang cantik jelita." Retna menoel dagu Afifah.

Pada Retna, Afifah biasa mencurahkan tentang perasannya. Sahabat sejak mereka duduk di bangku putih abu-abu. Retna sendiri saat ini bekerja sebagai notaris. Membuka kantornya sendiri sejak beberapa bulan lalu.

"Fah, ini gue serius ya, Lo ga mau ngelakuin apa gitu?" Kedua mata Retna menatap dalam retina Afifah.

"Apa?"

"Ini pure ya, pendapat gue sebagai sahabat yang udah kenal Lo dan tau banget perasaan Lo kek apa. Gue sedih tau, Fah. Harusnya Lo bisa bersatu sama orang yang Lo cintai."

"Nyatanya realita kadang tak sesuai harapan, Na."

"Ya iya sih, tapi kan, sebagai manusia  wajib buat usaha, Fah. Seperti kata pepatah; Tuhan ga akan merubah nasib suatu kaum, tanpa ada kemauan dari kaum tersebut buat berubah."

"Dan Lo juga harus ingat pepatah lain, Na; Apa yang menurut manusia tidak baik, bisa jadi justeru itu adalah yang terbaik menurut Allah.
Sudahlah Na, gue pasrah aja. Insyaallah kalau memang jodoh ya bakal bersatu, kalau nggak jodoh---"

"Ya pokoknya harus jodoh!" Retna memotong kalimat Afifah dengan cepat. Afifah tertawa kecil. Dasar Retna, selalu seenaknya sendiri.
***

12 Rabiul Awal, memperingati hari maulid Nabi Muhammad Sallahu'alaihi wassalam. Pondok pesantren Al Ghurobah tak terkecuali, ikut menyemarakkan hari kelahiran sang Rasul Mulia, Nabi akhir zaman.

Undangan pengajian maulid Nabi sudah disebar sejak seminggu lalu. Pondok sibuk berhias diri, menyiapkan semua keperluan. Afifah ikut andil menyiapkan snack dan jajanan.
Santri putri gotong royong memasak nasi kuning beserta lauk pauknya. Santri putra menghias aula pesantren dengan ornamen-ornamen islami khas perayaan maulid. Ada juga hadiah dan jajanan yang digantungkan, nanti saat acara shalawatan biasanya jamaah akan berebut menarik hadiah yang digantung.

"Assalamualaikum..." Sebuah suara tak asing menelusup telinga Afifah.

"Wa'alaikumussalam." Membalas salam dengan pandangan menoleh ke pengucap salam, sontak dada Afifah bergemuruh. "Mas Resnu?"

"Masa' alkhayr, Dik... Aku datang buat nganterin pesenan Abbah, sekalian bantu nyiapin buat acara nanti malam." Resnu menyapa dengaan kalimat selamat sore menggunakan bahasa Arab. Afifah membalasnya singkat.

"Masa'al nur, Tafaddhol Mas."

"Dik, boleh aku bicara sebentar?" Terlihat gestur tubuh Resnu nampak gugup.

"Tapi, Mas, di sini sepi, Aku takut akan timbul fitnah nanti."

"Kalau gitu kita ke depan saja, di sana kan, ramai banyak santri yang bisa jadi saksi kalau kita hanya berbincang sebentar."

"Apa yang mau Mas Resnu bicarakan?" Afifah tidak membalas, tapi sejurus berdiri melangkah ke depan ndalem.

Afifah duduk kursi kayu, sedang Resnu duduk di tebir teras. Keduanya sama-sama menjaga jarak.

CinTajwid (TAMAT- TERBIT E-BOOK )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang