MALAM ITU tatkala rembulan dibantu ribuan bintang untuk sinarkan cahaya, suasana istana negeri Akasia berbeda tak seperti biasanya. Rakyat berkumpul di setiap inci bagian istana dengan penuh sukacita, sebab ini momen langka. Penyebabnya ialah pesta pernikahan si bungsu putra raja.
Ribuan piring dengan hidangan penutup diberikan. Riuh rendah ujaran orang berbagai kalangan, sibuk sosialisasi sana-sini hingga lupa agenda utama. Sementara itu si empunya acara justru menenggak sedikit anggur dan berbincang santai dengan sang kakak.
Reyvanno dan Klavaro. Visualnya bak para demigod keturunan Aphrodite, kalem namun atraktif. Kendati keduanya miliki kemiripan yang banyak sekali, tetap saja ada yang membedakannya. Kalau kau menemui si pemilik senyum kotak juga obsidian yang sama indahnya dengan mentari, itu berarti kau sedang berpapasan dengan si bungsu, Reyvanno Adiyaksa.
Tetapi, bila kau dibius dengan netra tajam bak elang yang menenangkan, bibir penuh, juga surai sewarna pohon ek, maka Klavaro Adiyaksa adalah pelakunya. Keduanya mirip namun punya ciri khas tersendiri.
Reyvanno yang lebih sering dipanggil Rey itu tenggak lagi sedikit anggur. Beberapa detik kemudian, ia sudah terkena omelan sang kakak. "Kau sudah gila?! Mau mabuk di hari pernikahanmu, begitu?"
Klavaro segera ambil gelas anggur lalu meminumnya sekali teguk. Diabaikannya kepala yang mulai pening sebab ia sudah habiskan tiga gelas tadi. Toh, bukan masalah besar sebab bukan ia pemilik pesta. Melainkan si adik yang kini lemparkan tatapan penuh dendam walau sembari berkata, "Padahal aku cuma minum segelas. Aku tidak sebodoh itu."
Malas tanggapi, Klavaro kini ambil sepotong keik yang penuh keju. Pernikahan sang adik adalah salah satu interpretasi surga, sebab berbagai macam makanan penutup akan dihidangkan dan ia bisa gila sebab kelewat menyukainya. Kini Rey yang lemparkan candaan, "Kak, hobi sekali, sih makan yang manis. Herannya tubuhmu tidak obesitas macam gajah. Oh, kau perlu nafkahi cacing di dalam sana, ya?"
"Sinting," umpat Klavaro, hilangkan separuh wibawa yang untung saja tidak ada yang mendengar kecuali Rey. "Aku selalu berolahraga sementara kau bermalas-malasan di kursi istana. Lagipula, aku sedang menambah kadar gula agar wajah tampanku ini semakin manis."
"Kau yang sinting." Kali ini bukan Rey yang balas, sebab si bungsu baru saja akan suarakan umpatan lain namun tertelan lagi. Damian yang bicara, satu-satunya orang yang berani mengumpat pada pangeran selain keluarga kerajaan. Panglima termuda sekaligus yang dapat diandalkan dalam hal apa saja. Karib Klavaro sejak keduanya masih duduki bangku taman kanak-kanak. Menghabiskan nyaris empat per lima kehidupan bersama jelas buat Damian berani katai si pangeran percaya diri tanpa takut dieksekusi mati.
"Percaya dirimu tolong dikurangi. Sudah melewati batas, Yang Mulia," lanjutnya pura-pura sopan. Damian jarang panggil Klavaro begitu kecuali sedang bercanda layaknya sekarang ini.
"Apa peduliku, huh? Mau kupenggal kepalamu dengan pisau dapur?"
Rey keluarkan gelak tawa kecil, menonton Klavaro dan Damian bertengkar adalah hal paling lucu dalam hidupnya, sebab keduanya terlalu keras kepala untuk mengalah dan itu membuat mereka jadi tak mau salahi diri sendiri. Mohon dimaklumi, selera humor Rey memang sama rendahnya dengan koin lima puluh sen yang nyaris punah di abad 21.
"Sedari dulu kau selalu membual. Mana realisasinya?" tantang Damian. Klavaro putarkan netra sok jengah, lalu kembali balas tak sampai sejemang. "Jangan menangis minta ditolongi kau, nanti."
Perdebatan singkat yang tak ada gunanya itu berhenti saat Damian dipanggil pacarnya, juga Rey yang dihampiri sang istri. Sebagai satu-satunya yang lajang di antara mereka, Klavaro hanya bisa gigit jari.
Bermaksud untuk cari jajanan lagi, ia kelilingi aula istana yang luasnya nyaris sama dengan stadion sepak bola. Ia menemukan panekuk saus madu kesukaannya, lalu mengambil dua tumpuk. Tetapi, kokleanya justru tangkap hal lain.
Agaknya ada dua orang wanita paruh baya yang bicarakan tentangnya. Mungkin mereka sedikit lebih tua dari Klavaro, entahlah ia tak tahu dan tak peduli. Walau tak dapat dipungkiri, yang keduanya bicarakan sedikit mencoreng harga dirinya.
Sudah jelas, ini menyangkut topik yang berhubungan erat dengan asas diadakannya pesta di istana hari ini. Ya, pernikahan. Itu selalu jadi topik yang terkadang mampir bak mendung di kehidupan Klavaro, apalagi jika mengingat umurnya yang menginjak seperempat abad, memang sudah jadi kebiasaan masyarakat untuk campuri urusan percintaannya.
Klavaro tahu kalau beberapa penduduk Akasia akan mengkhawatirkannya yang tak kunjung dapatkan pujaan hati—justru malah dilangkahi si bungsu. Padahal ia adalah pewaris tahta, raja selanjutnya.
Tetapi bukannya tidak tertarik dengan wanita, Klavaro hanya belum menemukan—koreksi, belum sempat mencari lebih tepat. Saat menginjak sekolah menengah, prioritas Klavaro sepenuhnya dimiliki oleh pelajaran sekolah juga kerajaan.
Berbeda dengan Rey yang lebih bebas sebab dirinya tak perlu pahami kiat menjadi raja yang bijaksana atau ikut terjun dalam berikan nasihat atas masalah kerajaan. Terbukti dengan Rey yang sibuk kencani banyak wanita sedangkan Klavaro kunci hatinya saja sudah lenyap entah kemana.
Dan, kini, ia masih disibukkan atas itu semua. Jadi, mencari pasangan bukan prioritasnya, toh, jika terpaksa ia bisa minta dijodohkan dengan bangsawan asal negeri seberang. Sudah jelas ia bukannya tidak laku, yang mengantri untuk jadi pendamping hidup Klavaro Adiyaksa tentu jauh lebih banyak daripada semut yang menghampiri gula.
Merasa kehilangan selera, ia kemudian bergerak cekatan habiskan panekuk yang tadi diambilnya, lalu menuju ruang teleportasi yang berada tak jauh dari tempatnya. Mendengar sendiri buah bibir yang mengatasnamakan dirinya tidak menyenangkan, jadi ia butuh waktu sendirian. Diputuskannya untuk pergi ke lantai teratas istana, sebab di sana tenang tanpa gangguan manusia.
❬ ⸙: ✰❛ ephemeral; ❀❜ ❭
"SEPERTINYA AKU tidak bisa kesana, Ma. Sudah dari siang tadi perutku mual."
Pundak Syaima langsung lemah. Padahal ia sudah siapkan berondong jagung untuk acara menonton malam ini. Namun, satu-satunya karib yang ia miliki malah memenuhi panggilan alam berulangkali.
Dengan semangat yang tersisa, ia melempar tubuh ke sofa. Lalu nyalakan televisi sembari lahap beberapa berondong jagung. Baiklah, ia akan menonton sendiri. Anggap saja ini saatnya untuk menikmati waktu dengan diri sendiri.
Saat memilih film, pilihannya jatuh pada salah satu film horror yang baru saja liris sebulan lalu. Ia musti kehabisan tiketnya, sehingga lama-lama kesal sendiri dan berniat beli DVD-nya untuk ditonton nanti.
Sebagai salah satu penggemar film horror, Syaima jelas punya jiwa pemberani. Sebagai bukti, ia berada sendiri di apartemen miliknya, juga sang surya yang telah terbenamkan diri. Namun, tak satupun rasa takut menghampirinya bahkan ketika film telah mencapai puncak konfliknya.
Malam itu, seharusnya berjalan seperti biasa. Syaima akan tidur setelah habisi film-nya, juga Klavaro di dimensi lainnya, akan berpikir sendiri di lantai teratas istana. Tetapi, semesta suka bermain-main. Benang takdir mereka yang sebelumnya tak pernah bersua justru kini terikat kuat.
Sebab bukannya lahap berondong jagung sembari nikmati film horror-nya, Syaima justru berteriak kelewat keras yang tentunya bisa bangunkan tetangga, karena ada laki-laki paruh baya berjas hitam tiba-tiba tunjukkan presensi di hadapannya. []
❬ ⸙: ✰❛ ephemeral; ❀❜ ❭
KAMU SEDANG MEMBACA
ephemeral
FantasyMalam itu seharusnya berjalan seperti biasa. Klavaro turut memeriahkan pesta pernikahan sang adik, juga Syaima yang bersantai sembari menonton film horror. Semua akan berjalan sesuai rencana dan baik-baik saja, seandainya portal teleportasi bekerja...