Beberapa menit lalu atensi Syaima sepenuhnya masih dimiliki televisi yang menyala, namun segala hal jadi berbeda sejak laki-laki aneh ini tiba entah dari mana. Sukses buatnya berteriak keras bak tarzan di hutan yang berakhir minta maaf lalu sedikit dimaki tetangga, sementara yang laki-laki itu ujarkan sedari tadi hanyalah bertanya ia ada di mana.
"Kau benar-benar tidak mengenalku?" Baiklah, koreksi, kali ini ia tak lagi ajukan pertanyaan yang sama, namun semakin buat Syaima bingung setengah hidup.
"Memangnya kau ini artis atau tokoh politik? Aku bahkan tak pernah melihat wajahmu di televisi manapun," balasnya ringan setengah jengkel.
Laki-laki itu mengenakan jas yang terlihat baru, juga rambut rapi yang sedikit acak-acakan, dari penampilannya saja terlihat kalau ia seperti habis dari acara formal. Apa dia artis baru? Harus diakui, Syaima jarang sambangi televisi akhir-akhir ini, sebab tugas kuliah selalu menunggu setiap pagi hingga malam hari.
Kalau boleh jujur, Syaima sebenarnya sedikit takut. Jinan yang kawan dekatnya saja tak pernah main ke rumahnya berdua. Tetapi, ini laki-laki asing?! Yang bahkan wajahnya tak pernah ia lihat tetapi bersikukuh kalau Syaima mengenalnya. Dia mungkin seorang publik figur, atau model, mengingat wajahnya yang sejujurnya, tampan.
"Kau benar-benar tidak tahu siapa aku?" tanyanya, lagi. Duh, jengah Syaima lama-lama. Mau sampai pertanyaan ini akan berputar mengenai identitas laki-laki aneh yang kini duduk di sofanya juga sanggahan darinya.
"Memangnya kau siapa, sih?"
Laki-laki itu tertegun sementara, terlihat sekali sesuatu sedang berenang di pikirannya. Ia menatap Syaima sekilas, lalu menjentikkan jari.
"Ah, aku tahu. Kau pasti pendatang baru, bukan? Dilihat dari pakaian dan cara bicaramu yang tak sopan, sepertinya kau berasal dari—"
"Apa? Tidak sopan? Kau tidak berkaca ya, wahai pria-antah-berantah?" sarkasnya dengan cepat potong ucapan Klavaro. Si lawan bicara terbelalak kaget, diam-diam menyelamati Syaima sebab tak ada penjaga yang berjaga, jika tidak sudah lenyap itu kepala ayunya.
"Aku putra raja. Kau baru tiba di Akasia, ya?" Persetan dengan ucapan tadi. Sepertinya portal teleportasi mengalami sedikit kecelakaan, sehingga ia terlempar ke salah satu rumah pendatang, yang anehnya tak mengenalinya.
Apa wajah tampannya tak benar-benar cukup untuk membuat orang-orang mengingatnya dalam sekali lihat?
Yang jauh lebih aneh, respon si gadis benar-benar berbeda.
Syaima tertawa. Kelewat keras, nyaris menyamai teriakannya tadi. Memamerkan lesung pipi dan gigi kelinci miliknya. Ia terpingkal, sungguh Klavaro tak salah kalau ia mantan tarzan jika berpatok pada dugaan awalnya.
"Kau? Putra raja? Astaga, sedang syutting film, ya?!" kata Syaima di sela-sela tawa. Menyadari raut serius si lawan bicara yang tak juga larut dalam tawa, dirasanya ada sesuatu yang salah.
"Kau cukup memberitahuku ini dimana, bisa?" potong Klavaro. Ia benar-benar bingung bagaimana bisa ada seorang penduduk yang menganggapnya aktor yang sedang berakting menjadi seorang pangeran. Itu mustahil.
Sementara itu, Syaima—setelah berhenti dari tawa tak terbalasnya—kembali memindai laki-laki yang kini juga taruh atensi padanya. Ditemukannya emblem dengan gambar sebuah pohon, dalam hati memuji tim produksi film yang menaungi laki-laki ini, sebab segalanya terlihat detail nan nyata.
Namun, pertanyaan sesungguhnya; bagaimana bisa ia masuk? Ini malam hari dan Syaima yakin tadi ia sudah mengunci pintu, dan lagipula laki-laki itu muncul secara tiba-tiba benar tepat di sebelahnya, ini terlalu membingungkan serta buatnya jauh lebih takut lebih daripada film horror tadi.
"Ini Benua Asia, tepatnya bagian tenggara, di salah satu negara bernama Indonesia. Kau sedang berada di ibukotanya, Jakarta. Lebih tepatnya di rumahku. Kurang lengkap apalagi informasiku, huh?"
Menjeda sejenak, ia lalu melanjutkan, "Dan, jika tidak ada keperluan apapun lagi, biar kutegaskan, kau salah lokasi syutting. Ini rumahku dan sudah lewat tengah malam, pintu keluar ada di sebelah sana jika kau bertanya." Si gadis mengarahkan telunjuknya ke arah kiri. Akhirnya ia menyadari kalau bertanya basa-basi dengan sang lelaki hanya buang-buang waktu.
"Tunggu, ini bukan Akasia? Portal teleportasi sedang mengalami sedikit kerusakan, ya?" Di sisi lain, si Pangeran sedang berusaha sadarkan diri. Dalam pikiran sedang berusaha mencarikan memori ke otak mengenai sebuah negara bertitelkan Indonesia, lalu, apa yang namanya Benua Asia itu juga ada?
Syaima mulai kesal. "Kau sedang bicara apa, sih?"
Klavaro tak menjawab. Sampai pikirannya menangkap sebuah memori mengenai kisah kakeknya kala umurnya menginjak tujuh belas, tentang mitos bahwa dunia sebenarnya terdiri atas dua dimensi yang berjalan bersamaan dan saling berdampingan. Beberapa kawannya saat kuliah juga terkadang bicarakan hal itu, tetapi Klavaro menyesal ia tak pernah mendengar.
Sebab sepertinya, saat ini ia telah terlempar ke dimensi lain itu. Portal teleportasi sialan.
Yang tidak Klavaro tahu, saat itu hanya dia yang gunakan portal teleportasi. Semua orang di Akasia sibuk berpesta, beberapa sudah sampai di rumah mereka karena kelelahan. Dan, portal teleportasi hanya mengalami malfungsi selama dua detik, tepat saat Klavaro berucap akan pergi ke tempat favoritnya. Hanya dia korbannya, entah apa tujuan semesta.
"Aku minta maaf. Portal teleportasi di tempatku sepertinya mengalami sedikit kerusakan, sehingga tidak membawaku ke tempat yang semestinya. Sungguh minta maaf karena telah mengecapmu tidak sopan, serta mengganggumu." Klavaro juga menunduk, kemudian berjalan ke pintu yang tadi ditunjuk si gadis.
Tetapi, rencana semesta berbeda. Malam itu turun hujan pertama setelah kemarau panjang sebab iklim yang tak stabil.
Syaima yang tiba-tiba menerima permintaan maaf mengerutkan dahi tidak mengerti, tetapi ia tetap berjalan dahului, kemudian membuka kunci pintu, bersamaan dengan gerimis yang semakin sering, menderas jatuh ke tanah.
Klavaro terbitkan senyum yang bulan pun kalah telak keindahannya. "Aku sungguh minta maaf mengacaukan malam-mu, selamat malam, semoga kau tidur nyenyak." Lalu obsidiannya terarah ke langit mendung yang kini jatuhkan ribuan rintik, diam-diam kembali umpati mengapa hujan harus datang di saat-saat seperti ini.
Yang diajak bicara hanya diam, ia sungguh bingung atas perubahan perilaku itu, walau dalam hati merasa kasihan sebab ini pukul satu dan hujan turun deras. Laki-laki itu jelas tak punya tujuan, dilihat dari napas yang berulang kali dihelanya.
Syaima tahu ini keputusan gila. Tetapi, lahir sebagai manusia yang penuh belas kasihan, ia jelas tak akan membiarkan seseorang luntang-lantung di jalanan pukul satu malam, tanpa tempat tujuan, disertai hujan deras yang mengguyur diri.
Jadi, setelah beberapa langkah kepergian Klavaro, Syaima akhirnya angkat bicara. "Kau, tetap tinggal. Kau boleh menginap di rumahku malam ini."
❬ ⸙: ✰❛ ephemeral; ❀❜ ❭
KAMU SEDANG MEMBACA
ephemeral
FantasyMalam itu seharusnya berjalan seperti biasa. Klavaro turut memeriahkan pesta pernikahan sang adik, juga Syaima yang bersantai sembari menonton film horror. Semua akan berjalan sesuai rencana dan baik-baik saja, seandainya portal teleportasi bekerja...