Prolog

38 3 2
                                    

Gemericik air itu masih sama. Dentingnya berjatuhan tepat pada atap yang menjadi tempatku berteduh. Sunyi, sepi dan sendirian. Ruangan gelap ini, merupakan semua saksi bisu bagaimana aku menjalani kehidupan.

Rumah besar ini selalu sepi tanpa penghuni, hanya ada aku sendirian. Dan selalu seperti itu.

Deru mobil memasuki area halaman rumahku, bunyi klaksonnya nyaring bersahutan menandakan aku harus segera membuka gerbangnya, senyumku merekah hebat, akhirnya orang yang aku tunggu pulang ke rumah ini. Entah biasanya menginap di mana.

Langkah kakiku beradu cepat. Kalau aku sudah melihat wajahnya, akan aku peluk dia dengan sejuta rasa rinduku. Akan aku tumpahkan semua dalam pelukannya.

Ya, memang harusnya begitu.

Aku benar-benar merindukannya.

"Lama sekali membuka pintu gerbangnya, dasar bodoh," ucapnya tanpa memandangku sama sekali.

Aku hanya bisa menundukkan kepalaku, merenungi kesalahan-kesalahanku. Kuyub tubuhku tidak aku perdulikan lagi, rasa dingin yang menyeruak itupun hanya ku anggap sebagai angin lalu.

Prakk!

Sebuah suara yang jelas dari sebuah perabotan kaca yang sengaja di jatuhkan oleh sang pemiliknya.

Jantungku berdetak kian hebat. Langkah ku tergesa memasuki rumahku sendiri. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Hanya dia satu-satunya yang ku punya di dunia yang kejam ini.

"BODOH!" bentaknya pada ku.

Yang aku bisa hanya menundukkan padanganku, aku takut melihat matanya yang sedang menatapku nyalang. Penuh dendam dan api amarah di dalam tatapan itu.

Bugh!

"Ahk!" Teriakku tertahan, suaraku tercekat di tenggorokan. Tubuhku terpelanting ke tembok yang tak jauh di belakangku.

Perutku dihantam keras dengan sebuah kepalan tangan. Hei, ini menyakitkan. Tapi aku tidak bisa melawan.

"DI MEJA MAKAN TIDAK ADA MAKANAN! MELAKUKAN APA KAU SEHARIAN INI, HAH!" Teriaknya kepadaku yang sedang meringkuk kesakitan.

Bugh!

Tubuhku terjerembab ke lantai, tendangannya begitu kuat mengenai bagian samping perutku.

Sakit, nyeri luar biasa.

"Ay … a-ak …" ucapku mencoba bangkit dari lantai sana.

Plakk!

Tamparan keras mengenai pipi kiriku, membuat sudut bibirku sedikit robek dan berdarah. Iya, ini sakit, tapi rasa sakitnya sudah biasa aku rasakan.

"Aakh!" Lagi, suara ku tercekat di tenggorokan.

Tangan dingin nan besar itu persis berada di leherku, yang ku rasakan di sana hanyalah sesak yang mengudara. Napasku tersengal, sakit di sekujur badan.

"Dasar pembawa sial! Harus nya mati saja kau!" Desisnya kasar.

Sial!

Napasku hampir habis, namun cengkeraman itu semakin mengetat terasa, apa ini akan menjadi akhirku, ahh … tidak apa kalau memang hari ini aku juga harus menyusul Bunda kesanyangan ku, setidaknya aku harus berterima kasih kepada sirius yang berpendar di hadapanku sekarang. Ya, ayahku. Orang yang aku sayangi, dan satu-satu nya orang yang aku punya di dunia sekejam ini.

"Ay … yah …" erangku yang bersusah payah mengeluarkan suara dari tenggorokanku.

Yang hanya di balas tatapan dingin nya tepat pada manik mataku, mata jernih itu yang menatap ku secara dalam-dalam, aku tersenyum getir, sedikit menahan tangisku. Aku terlalu lemah untuk ini, namun entah perasaan ku, atau memang kenyataan, cengkeraman di leherku yang sedari tadi mengetat, kini terasa mengendur, membiarkanku menghirup udara segar lebih banyak di sana.

Renjun||The Heartbreak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang