5. Punggung dan Langkah Kaki

8.6K 509 19
                                    

Sepuluh hari lagi acara pernikahan kakakku. Tapi aku sedang sibuk-sibuk nya karena memasuki semester enam. Belum lagi aku bergabung dengan KSR sehingga semakin padat pula kegiatan ku.

Seperti saat ini, aku sedang mengikuti kegiatan Jumbara PMR tingkat Banyumas. Kami tim KSR Unsoed sedang membantu pihak PMI menjadi panitia penyelenggara.

"Na, gimana persiapan untuk upacara penutupan besok." Ajeng sahabatku bertanya.

"Insya Alloh fix, piala, piagam sudah dipersiapakan semua." jawabku.

"Syukurlah, akhirnya mau selesai. Capek aku."

"Iya, akhirnya. Aku udah kangen sama kasurku."

"Hahaha, eh Na. Kakakmu katanya mau merit?"

"Iya ini. Kurang dari seminggu. Akhirnya aku bisa ikutan bantu-bantu juga."

"Emang kamu bisa bantu apa? Paling bantu habisin makanan doang khan?"

"Hahaha, kamu tahu aja Jeng."

"Surprise." teriak beberapa orang padaku.

"Ya Alloh kalian dateng." aku berseru senang.

"Iya lah, kangen kita sama kamu." ucap Leo.

"Kenalin temen-temen aku. Guys kenalin ini Ajeng." Aku memperkenalkan Ajeng ke gengku.

"Lah, kok Rosi gak ikut?" tanyaku.

"Sibuk kali dia. Udah antar kita keliling aja yuks." ajak Dino.

"Iya Na, percuma kita jauh-jauh kemari kalau gak di ajak berkeliling. Ayuk ah." sambung Lusi

Entah kenapa aku merasa mereka seperti menyembunyikan sesuatu padaku. Raut wajah mereka seperti menahan kesal, entahlah.

Aku pun mengajak mereka berkeliling area Jumbara. Bukan Dino dan Leo kalau tidak bikin gaduh. Saat ini mereka tengah di panggung ikut menghibur. Ya Allah entah tarian apa yang sedang mereka peragakan. Sedang Gita, Jeni dan Lusi sedang hunting jajanan. Mereka semua hobi jajan tapi gak tahu kenapa badan gak melar-melar gak kayak aku. Makan sedikit banyak aja nih pipi makin tembem.

Aku mengambil ponselku mengetik nama Feri dan menghubunginya. Tapi tak tersambung. Akhirnya aku chat dia.

❤Feri❤

Lagi dimana?

Aku mengirim pesan WA. Masih centang satu. Huh.. Apa aku terlalu sibuk ya. Belakangan ini Feri sulit aku hubungi. Mungkin dia protes.

Akhirnya aku memutuskan menelepon Rosi.

"Halo Ros... ?"

"Eh... Oh hai Na. Ada apa telepon?" kudengar nada sedikit panik dari Rosi.

"Gak ada apa-apa. Ros, kamu kok gak ikut nengok aku sih? Temen-temen yang lain datang loh?"

"Oh maaf, aku sibuk."

"Sibuk ngapain? Bukannya masih libur semester ya?"

"Sayang.... Sekali lagi yuk?" aku mendengar suara seseorang di seberang sana. Tapi, suara itu kok sepertinya tidak asing.

"Siapa Ros?" tanyaku.

"B..bukan siapa-siapa. Udah dulu ya. Aku sibuk. Dah Nasha."

"Eh.. Ros. Tunggu." dia mematikan teleponnya. Kucoba hubungi lagi tapi tidak aktif.

Ah sudahlah. Besok pas ketemu Rosi, aku tanyakan lagi.

🌷🌷🌷🌷

Akhirnya semua acara selesai waktunya pulang. Aku menghubungi sepupuku Huda untuk menjemput ku.

Dari kejauhan kulihat mas Rayyan berjalan ke arahku.

"Udah siap Na, yuk pulang."

"Loh kok mas Rayyan yang jemput."

"Huda lagi sibuk. Aku anter kamu sampai Patikraja. Nanti Huda jemput kamu disana."

"Ckckck repot bener. Kenapa gak sampai Jatilawang mas?"

"Maunya mas gitu tapi katanya pamali." Kulihat senyumnya ish... Manisnya.

"Haduh.... Perasaan ya setiap hari ketemu di Rumah sakit khan mas. Sok-sokan pamali."

"Hahaha... Iya yah. Udah yuk jalan." titah mas Rayyan.

Mas Rayyan langsung berjalan sambil menenteng tas besar milikku. Aku berada di belakangnya karena tak bisa mengimbangi jalan mas Rayyan yang cepat. Apalagi dilihat dari postur tubuhnya yang tinggi besar. Kalau lagi tidak capek mungkin aku bisa mengimbanginya.

"Aduh." Aku meringis karena menabrak punggungnya.

"Mas ih. Sakit tahu. Kenapa berhenti mendadak."

"Lah mas nyariin kamu. Takut hilang." dia hanya cengengesan.

"Lagian mas jalannya cepet banget deh. Gak usah cepet-cepet kenapa. Aku lagi capek mas, gak bisa aku mengimbangi langkah kakimu. Bagaimana mas mau membangun masa depan bahagia kalau langkahmu saja tak bisa kuimbangi. Hem." ujarku lebay.

"Astaga Na. Hahaha." lihatlah dia tertawa, kemudian ikut larut dalam kekonyolanku.

"Kenapa dengan langkah kakiku? Bukankah aku imam. Langkahku menentukan segalanya dalam keluarga kita." ya akhirnya calon kakak iparku ikutan ngedrama. Oh baiklah. Mari aku ladeni.

"Lalu aku siapa? Babu atau istrimu. Ingat mas, aku ini makmum kamu. Aku memang akan selalu melangkah di belakangmu. Tapi tak bisakah sekali saja kita berbagi pikiran dengan menyamakan langkah kita?" ucapku lebay.

"Tapi aku harus melangkah terlebih dahulu untuk mencari tahu seberapa besar kesempatan yang bisa kugapai. Lagi pula lihat nih masih ada punggung mas. Tempat bersandar yang nyaman dan tempat berlindung paling aman. Punggungku ini mampu membawa beban beratmu. Dan dengan ini mas bisa membawamu melangkah menuju masa depan."

Kami akhirnya tergelak sendiri melihat akting kami yang amburadul. Bahkan beberapa pasang mata melihat kami. Mungkin menganggap kami pasangan suami istri. Hahaha.

3. Bukan Calon Kakak Ipar ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang