[9] Romeo & Juliet

662 170 16
                                    

"Kepada: Raihan Jalakusuma.

Terima kasih telah membantu Janna, tapi peringatan saya tidak akan berakhir sampai kau benar-benar pergi. Sayangnya, saya rasa jalan apapun tidak akan membuatmu bungkam kecuali mengatakan kebenarannya. Datang ke paviliun hari ini, dan jangan pergi meski semua sudah pergi. Saya tahu sesuatu tentang ayahmu."

Dia memandang surat kali itu dengan aneh. Tidak hanya kini datang langsung ke depan kamar kosannya—biasanya selalu ditemukan di loker atau kotak pos, tapi karena penulis surat itu juga sudah menggunakan nama asli Raihan dibanding nama penulisnya. Entah intel mana yang telah dibayar, tapi intel itu sungguh bagus. Raihan tidak pernah merasakan diintai sama sekali.

Terlebih lagi di surat itu menyinggung perihal ayahnya, di mana hanya beberapa manusia yang tahu tentang betapa besar peranan sang dokter itu dalam hidupnya. Raihan berani bersumpah bila ini umpan belaka, dia akan mencari dan membunuh pengirim pesan tersebut.

Harinya tepat sehari sebelum sidang. Semua anak-anak BEM dan Pers mengecek segala hal untuk esok hari. Dua orang paling sibuk hari itu adalah Annisa dan Janna, selebihnya membantu hal kecil-kecil saja. Di hari ini Raihan akan bertemu pemuja obsesif yang telah mengiriminya surat selama dua minggu beturut-turut.

Kalau dipikir-pikir, sudah lama juga. Itu berarti sudah hampir tiga minggu setelah demo pertama. Tiga minggu sudah berlalu setelah Raihan melihat Janna dan orasinya di hadapan gedung. Banyak yang terjadi, dan akan semakin banyak lagi. Besok mereka akan benar-benar berusaha menggulingkan kabinet. Besok mereka akan mencoba menghapus undang-undang.

Mereka. Mahasiswa-mahasiswa bau tengik asal Universitas Sabda Palon.

Di hari itu mereka berdoa bersama. Membentuk lingkaran di depan paviliun meski harus mengorbankan kulit mereka digigiti nyamuk badak. Masing-masing memanjatkan harap yang sama; Indonesia benar-benar merdeka.

Setelahnya, mereka bersorak untuk diri mereka bersama, dan langsung pulang demi hari esok.

Janna merupakan salah satu yang pulang belakangan, di antar Joshua dengan motor vespa putihnya yang harus disela sebelum menyala. Besok perempuan itu akan duduk di kursi paling depan sebagai perwakilan, dan bohong kalau gugup serta khawatir tidak menghalau urat nadinya.

Belum sempat perempuan itu naik ke atas motor Joshua, Raihan sudah menarik lengannya.

"Bentar, ada yang mau gue kasih."

Beberapa saat kemudian, kalung perak itu menjuntai lagi di hadapan mata mereka. Ukiran nama Sang Ayah masih sama, serta karat di tepi platnya juga tidak bergeser. Raihan memberikan kalung itu, memakaikannya langsung ke kepala si puan.

"Simpen. Buat keberuntungan."

Untuk mengejutkannya, Janna justru melepas kalung itu dan langsung mengembalikan ke tangan Raihan. Dikatup jari jemari miliknya sambil menggeleng.

"No. I'm not worth of this."

Janna pun pergi begitu saja, tidak memikirkan rasa kecewa yang ada di hati Raihan. Tidak perlu repot menengok ke belakang dan langsung menghampiri Joshua yang menunggunya dengan helm juga jaket boomber hitam.

Mereka berdua pulang, dan Raihan benar-benar sendiri.

Atau setidaknya itu yang dia pikirkan.

Setelah kembali ke dalam paviliun tua itu, dia menemukan seseorang tidak diduga. Annisa Dewiradya, sosok pengacara yang masih sibuk dengan beberapa map dokumen untuk sidang. Netranya tajam sekali, seperti malaikat membaca laporan dosa-dosa. Untuk membuatnya sadar bahwa masih ada orang lain di sana, Raihan berdehem sekali. Tentu, dia akhirnya menoleh.

Roman Rakyat RepublikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang