[6] Akhirnya Datang Juga

745 182 44
                                    

Peduli setan.

Janna menyalakan suara musik dari laptopnya keras-keras. Dentum drum dari lagu <Welcome To The Black Parade> milik My Chemical Romance—band favorit Janna sebenarnya—mengalahkan suara bising lain di kantin Fakultas Ilmu Hukum. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mata memicing tidak kalah jeli dari elang kelaparan. Fokusnya kali ini satu; menulis bab lanjutan dari skripsi yang sudah dia jalani sejak dua bulan yang lalu.

Dunia di luar telinga tulinya penuh kekejaman. Ocehan tidak henti dari berita kemarin, segalanya tentang Janna. Mukanya terlalu tipis untuk menghadapi itu sekarang, apalagi ini baru hari setelah dia diperiksa polisi.

Benar, dia masih diintrogasi walau pembuktiannya sudah mengeluarkan tumbal. Pertanyaan tentang kebenaran yang bahkan tidak bisa Janna ungkap karena rasa takut terhadap jalur hukum yang tidak becus ambil andil nanti. Janna menjawab seadanya; dia suka lelaki, dan dia sudah membuktikan itu kemarin.

Maka dia dibiarkan pulang, setelah ditebus Ibunya untuk dikonfirmasi segala kenyataan anak itu. Demi keterkejutannya, Sunarwati tidak marah atas insiden yang harus mengambil keperawanan bibir anaknya. Dia pikir, pria bernama Raihan Jalakusuma terlalu bodoh untuk memikirkan hal sejauh itu, tapi dia bisa dibilang pahlawan dalam peristiwa ini. Janna benci mengakui, tapi Ibunya benar.

Satu masalah selesai, masalah lain tumbuh bagai bibit kecambah yang tersebar karena angin musim pancaroba Bogor yang adem-ayem. Namanya tambah dikaitkan bersama si pujangga, dan bagaimana asal-muasal manusia tersebut bisa di skors selama seminggu. Mereka tidak repot lagi berisik-bisik, semua gunjing mungkin bisa diteriakkan denga toa dan para dosen juga pasti akan ikut mendengarkan.

Janna tidak peduli, lebih baik mengurus skripsi dan bagaimana caranya menggulingkan presiden demi membebaskan negara dari pemerintahan otoriter.

Akan tetapi, Janna punya orang-orang yang peduli akan dirinya secara berlebihan pula.

"Jan, ayo dong. Ngomong sama gue!"

Kanaya Basundari, si perempuan dengan gigi kelinci itu masih menggeprak-geprak meja kantin sampai Janna memperhatikannya. 30 menit sudah terlewati sejak dia melakukan itu terus-menerus, dari rambutnya masih halus sampai jadi bau matahari oleh udara panas kantin.

"Jan."

Si punya nama tetap asik pada laptopnya. Mulut menggumam kata-kata yang dia ketik. Kanaya tetap memanggilnya sampai sekitar lima kali, sampai kesabarannya habis dan mendorong laptop itu sampai tertutup di hadapan mata Janna.

"Nay! Lo goblok, ya? Itu belom gue save!"

"Alah, nanti juga ke-save sendiri. Kalau gak kehapus juga lo bisa ngetik ulang, gue tau lo baru ngetik selembar doang, paling baru pembukaan. Gue lebih penting."

Janna mencabut kedua benda yang tercantol pada telinganya, mendengus kesal atas sifat kekanakannya dan siap untuk marah-marah. Sampai sesosok pria dengan jas almamater khaki bermakara serupa dengan si puan datang dan duduk disamping kirinyanya. Pria itu kurus, bahkan lebih kurus dari mereka berdua. Tas tenteng hitam—mirip koper—dibanting ke atas meja seraya dia memegang kedua pundak Janna agar menghadap padanya.

"Woi, lo apain temen gue sampe dia di skors gitu, hah?"

Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Janna, melainkan oleh Kanaya dengan nada naik pitam juga. "Sembarangan. Justru temen lo yang ngapa-ngapain temen gue, Josh. Lo gak tau kemaren dia sembarangan nyipok Janna? Di depan semua orang lagi. Pacar bukan, temen bukan. Gila."

Mata Joshua membulat, dia menatap Janna erat. "Lo dicipok sama Raihan?"

Janna ingin sekali kabur dari dua manusia itu. Membuka telinga memang pilihan salah kalau teman dekatmu adalah dua orang paling nyaring. Meski teriak Joshua teknisnya setara dengan naad bicara Kanaya, tapi tetap saja kencang keduanya. Pemakaian bahasa mereka juga membuat kejadian kemarin terdengar tidak berkelas. Nyipok... apa itu nyipok? Terdengar seperti Janna baru saja bercumbu dengan ikan koi.

Roman Rakyat RepublikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang