✉ 2 || Riga Nara Neonatha

72 20 1
                                    

Aku dan Vienna keluar dari markas pengurus Raja dan Ratu Sekolah. Kami baru saja menemui nenek lampir yang meski cantik tapi hobi memasang wajah masam. Setelah memberi tugas, nenek lampir itu tidak segan-segan mengusirku dan Vienna. Benar-benar cewek tidak berperasaan.

"Kita mau apa sekarang?" tanya Vienna lirih. Ia kelihatan menunggu komandoku.

Aku menelengkan kepala. Mataku menyipit seolah tengah berpikir. Tapi tak satu pun ide keluar dari otakku.

"Cari kelas dulu aja yuk," ajakku mengalihkan pertanyaan Vienna.

Vienna kelihatan akan protes, tapi ia urung melakukannya. Ia memang begitu. Vienna sering tidak jadi bersuara. Padahal aku tahu kalau dia ingin bicara.

Aku mulai berjalan keluar dari bagian belakang sekolah. Ya, markas pengurus Raja dan Ratu Sekolah memang ada di bawah tanah dan pintu masuknya ada di bagian belakang sekolah.

Vienna menoleh padaku sambil kembali bertanya, "Riga, kamu udah lihat pengumuman pembagian kelas?"

Jujur saja, mendengar Vienna menggunakan istilah aku-kamu membuatku berpikiran bahwa kami ini sedang pacaran. Padahal kenyataannya dia memang selalu menggunakan istilah itu.

"Gue udah tau masuk ke kelas mana," balasku membuatnya mengangguk-angguk. Aku menambahkan, "Kita sekelas."

Vienna kelihatan kaget. Tapi ia lalu hanya tersenyum dan kembali menghadap ke depan. Ia bertanya lirih, "Kita di kelas apa?"

"10 IPA 3," jawabku.

Tak terasa, kami telah tiba di depan kelas yang barusan kusebutkan itu. Kami masuk ke dalam kelas. Suasana kelas masih cukup sepi. Beberapa bangku bagian tengah sudah terisi. Yang tersisa hanyalah bangku di barisan paling belakang dan bangku di barisan paling depan.

"Duduk di mana?" Vienna meminta pendapatku.

Aku menunjuk ke bangku di pojok belakang, "Di sana."

Vienna langsung beranjak ke sana. Kupikir dia akan memilih bangku di barisan depan. Karena setahuku kebanyakan anak perempuan membenci bangku belakang yang identik dengan bangku-bangku milik pembuat onar di kelas.

oOo

Jam istirahat telah tiba. Aku baru saja akan keluar kelas dan pergi ke kantin bersama Vienna, tapi ternyata ada pengumuman dari pengeras suara. Aku memutuskan untuk mendengarkan pengumuman itu terlebih dulu.

"Anak-anak jurnalistik diminta berkumpul," gumam Vienna agak tidak bersemangat.

"Lo ikut club itu?" tanyaku agak terkejut. Aku tidak tahu kalau dia juga mendaftarkan diri di club itu. Sama sepertiku.

Vienna mengangguk lemah, "Ya."

Aku tersenyum lebar. Itu artinya aku akan punya waktu lebih banyak dengan Vienna. Kami sama-sama menjabat sebagai Raja dan Ratu Sekolah yang mengharuskan kami menyelesaikan misi bersama. Lalu kami juga masuk ke kelas yang sama. Belum lagi sekarang aku dan Vienna sama-sama mendaftarkan diri di club jurnalistik.

Aku menggandeng tangannya keluar dari kelas. Kalau begini, aku akan selalu semangat datang ke club itu. Ada Vienna yang akan jadi teman clubku.

Aku dan Vienna berjalan ke arah gedung ekstrakurikuler. Kami lalu cepat-cepat menuju ruang club jurnalistik. Sesampainya di ruangan itu, kami disambut beberapa kakak kelas yang merupakan pengurus ekstrakurikuler ini. Mereka menyambut kedatangan kami dengan ramah. Kami lalu diminta duduk dulu sembari menunggu anggota lain juga hadir di tempat ini.

Aku melihat-lihat sekitar. Club ini cukup nyentrik. Aku bisa melihat ada papan-papan yang berisi tempelan-tempelan materi. Seperti foto dan artikel. Semua itu mengingatkanku pada film detektif di mana sang detektif membuat gambaran soal kasus dengan mengumpulkan foto dan artikel terkait. Apa club jurnalistik memang seperti ini? Sungguh, aku tidak sabar untuk mengenal club ini lebih jauh.

Oh ya, aku juga teringat perkataan Kak Arthur, kenalanku. Ia pernah mengatakan kalau aku menginginkan informasi, maka aku bisa dengan mudah mendapatkannya melalui club ini.

Mungkin suatu saat nanti para anggota club ini akan diminta memata-matai objek dan meliput kegiatan mereka secara diam-diam? Haha, pikiranku terlalu liar. Itu pastilah melanggar kode etik.

Beberapa anggota baru telah bergabung bersama aku dan Vienna. Rupanya tidak terlalu banyak yang berminat dengan ekskul satu ini. Aku hanya mendapati lima orang yang hadir di sini selain aku dan Vienna.

Vienna menyenggol bahuku. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Kok anggotanya cuma sedikit?"

Aku mengedikkan bahu karena bingung juga. Kupikir akan banyak anggota baru di club ini. Tapi ternyata dugaanku salah. Apa aku juga salah telah mendaftarkan diri di sini?

"Hallo semua, terima kasih udah mau bergabung dengan club jurnalistik. Meski anggotanya sedikit, club ini dijamin asik." Seorang cewek dengan kacamata ditenggerkan di atas kepala membuka pertemuan anggota ini. Ia melanjutkan bicara, "Oh ya, perkenalkan gue Melodi. Gue ketua club ini. Jadi kalau butuh apa-apa, kalian bisa langsung hubungi gue. Jangan sungkan buat tanya-tanya. Oh ya, ini ada Tasya sama Rian. Mereka wakil gue."

Semua anggota baru termasuk aku mengangguk-anggukkan kepala. Suasana benar-benar secanggung itu karena jumlah orang di ruangan ini hanya sepuluh orang.

"Oh ya, kalian kenalan dulu dong," pinta seorang cewek yang berdiri di sebelah Kak Melodi. Dia pasti Kak Tasya.

Aku mengambil inisiatif untuk memperkenalkan diri pertama kali. Aku berdiri dari dudukku dan mulai memperkenalkan diri, "Hallo, gue Riga. Salam kenal semua."

"Salken Riga," balas seorang cewek dengan senyum ramahnya.

"Hallo Riga," sapa Kak Rian.

Aku melemparkan senyum ke semua orang yang hadir di tempat ini lalu kembali duduk di lantai.

Aku menyenggol bahu Vienna untuk memberi kode agar dia segera memperkenalkan diri. Vienna langsung mengerti kodeku dan ia bangkit berdiri.

"Salam kenal semua. Aku Vienna." Vienna memperkenalkan diri dengan suara dan raut wajah yang datar. Rambutnya yang panjang sedikit menutupi wajahnya. Ia sama sekali tidak menunjukkan sikap ramah.

"Hai, Vien," teriakku membalas perkenalan dirinya agar suasana tidak sesepi ini.

"Selamat datang Vienna," ujar Kak Tasya dengan ceria.

"Vienna, ternyata lo juga gabung di club ini?" tanya cewek yang tadi membalas perkenalan diriku dengan ramah.

Sepertinya cewek itu mengenal Vienna. Tapi diamnya Vienna membuat aku sadar kalau lagi-lagi Vienna tidak bisa mengenali orang. Andai aku kenal cewek itu, aku pasti akan membisikkan siapa namanya agar Vienna tidak kelihatan bego-bego amat. Tapi daripada bego, Vienna ini lebih ke aneh. Aku sadar kalau ia agak kesulitan mengenali wajah orang. Mungkinkah dia sepelupa itu?

Vienna hanya tersenyum pada cewek itu. Ia lalu kembali duduk di sebelahku.

Nah sekarang giliran cewek yang tadi menyapa Vienna. Ia berdiri untuk memperkenalkan diri.

"Hallo, guys. Gue Suri. Salam kenal ya teman-teman. Mohon bimbingannya kakak-kakak." Suri memperkenalkan diri dengan ramah dan cerita. Ia lalu kembali duduk.

Aku melirik Vienna dan berbisik pelan, "Lo kenal Suri?"

Vienna menggeleng dengan polosnya. Sementara aku hanya bisa menghela napas. Padahal kurasa Vienna pasti pernah berinteraksi dengan Suri.

oOo

Pagi oll, gimana ceritanya? Kalian suka? Mau lanjut? Jangan lupa voment-nya yaahh..

Thanks udah mampir.

Love you all ❤

INTERPOLASI (Pindah ke Innovel) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang