07

117 25 2
                                    

Kadang-kadang, kaupikir, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang. Jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.

Mataku terpejam. Benar. Begitulah aku menemukan rasa takut. Aku takut jatuh cinta. Takut-takut perasaan itu melubangi tiap inci jantungku, atau jantung-jantung yang lain. Aku takut dengan alasan dibalik aku jatuh cinta. Takut semuanya masih terpusat di satu titik yang sama: uang.

Aku menjauh dari seorang Calvin Antares beberapa minggu ini. Sepulang kerja dari kafe aku akan langsung pulang. Sesekali ia menungguku di depan gerbang, menanyaiku apakah aku mau menemaninya merokok.

Biasanya aku akan menjawab,

"Aku berhenti. Cukainya naik,"

atau

"Mama jagain Mas Faiz. Aku harus di rumah,"

Begitu terus. Sampai akhirnya malam ini, ia mencegatku. Adit kebetulan sedang pulang kampung, jadi ia--entah bagaimana caraku meyakinkannya--menyerahkan kunci kafe ini kepadaku dan memberikan amanah menutup dan membuka kafe ini sesuai jadwalnya. Mungkin ini juga adalah alasan mengapa Calvin muncul--Adit memberinya amanah yang sama sebagai teman dekatnya.

"Kenapa lo ngehindarin gue?" selidiknya to the point ketika aku berusaha mengunci gembok gerbang kafe.

Aku diam, masih fokus ke gembok yang ternyata cukup sulit untuk dikancingkan. Tangan Calvin tiba-tiba merebut gembok itu.

"Kenapa sih?" tanyaku, tersulut emosi.

"Biar gue aja yang ngunci," ujarnya, agaknya lebih tenang dariku. "Gue tanya sekali lagi, kenapa lo ngehindarin gue?"

"Kita gak ada urusan, Calvin," jawabku malas.

"Gue pikir kita temen?!"

"Terus kalau temen harus banget aku nempel sama kamu terus gitu!?" aku tak bisa menahan emosiku. "Kamu yang kenapa? Biasanya juga kita gak ngobrol berhari-hari juga gak papa. Lagipula aku juga sibuk, skripsian. Sekarang mau sidang juga. Kamu, 'kan, juga sibuk? Tugas, makalah, paper, undang-undang, apalah itu aku gak paham!"

Itu aku, sedikit berteriak. Sepertinya aku membuat sedikit kegaduhan di pemukiman yang sudah senyap ini.

Calvin terdiam cukup lama, agak kesulitan memasang gembok yang sepertinya memang terlalu tua dan karatan. Atau, mungkin saja karena ia gusar, sedang berusaha mendinginkan kepalanya.

"Apa ini gara-gara Anisa?" tanyanya, pelan.

"Apasih, yang buat kamu selalu ngehubung-hubungin keabsenanku ini itu sama Anisa?"

"Karena lo perempuan, Fan,"

"Terus kenapa kalau aku perempuan? Otomatis banget gitu aku bakalan ngehindarin kamu karena kamu udah jadian sama Anisa?"

Calvin mengangguk, kentara sekali sedang mencoba meredakan emosinya. "Iya. Karena lo perempuan dan dia juga perempuan. Gue juga sadar ada kalanya dia cemburu sama lo,"

Aku mengerutkan dahi. Mau ke arah mana percakapan ini akan berakhir?

"Impresif. Tapi aku gak cemburu. Aku juga gak sedang menghargai perasaannya dengan ngehindarin kamu. Aku temenmu, dan dia harusnya tahu kita gak akan lebih dari itu. Gak ada yang perlu dicemburui dari aku, bilang sama dia," ucapku. Aku menuruni undakan menuju motorku. Ia mengikuti di belakangku.

"Terus kenapa lo ngehindarin gue?"

Aku memilih tidak menjawab pertanyaan itu. Langkah kakiku kupercepat.

"Fan!"

Aku berbalik. "Kita bukan anak kecil lagi, Vin. Harusnya kamu sendiri bisa menga--"

"Lo gak ngasih clue yang jelas!" bentaknya.

"Dan kita gak seharusnya bertengkar cuma gara-gara masalah sepele kayak gini!" balasku tajam, menenangkan napasku yang memburu. "Padahal kamu sama aku dulu juga biasa aja gak ngobrol berhari-hari. Kenapa tiba-tiba kamu sensi?"

"Karena lo emang ngehindarin gue!"

"Kesimpulan dari mana? Padahal tadi kamu bilang aku gak ngasih clue yang jelas. Terus apa? Aku harus jelasin apa?"

"Yang lo rasain, yang lo--" Calvin menghembuskan napasnya kasar. "Lo udah gue anggep temen deket, Fan. Gue pikir lo bisa ngungkapin apa yang lo rasain soal gue, gebetan gue, cerita--"

"Aku udah punya urusan yang lebih dari cukup untuk bikin aku pusing sendiri. Lusa aku sidang. Aku gak ada waktu buat mikirin kamu sama Anisa!" bentakku akhirnya. "Kalau kamu mau tanggapan aku, sehabis ini semua rampung, Vin. Aku bakalan dateng dan dengerin kamu. Sampai subuh kalau perlu,"

Rahang Calvin mengeras. Aku takut, sebetulnya. Takut ia marah. Tapi kalau memang ia pergi menjauh, biarlah. Aku tidak akan kenapa-kenapa.

Aku kembali berjalan menghampiri motorku. Kurasakan Calvin tidak mengikutiku, tapi eksistensinya masih terasa oleh sudut mataku. Aku berbalik--lagi.

"Congrats, anyway. Itu yang mau kamu denger dari aku, 'kan?"

Calvin beranjak, menjauh.

Kamu benar, Calvin Antares. Kita terlalu mirip dalam beberapa hal. Termasuk cara kita mempertahankan ego.

─────

notes :

hai. aku tahu aku gak ada hutang ke kalian soal kapan deadline book ini selesai atau gimana, tapi aku bener-bener mengusahakan akhir tahun udah selesai. minta doanya semoga dilancarkan ya. anyway, so sorry kalau ada typo aight.

selamat liburan (bagi yang libur), selamat beraktifitas, selamat tidur, pokoknya gitu. love you guys

i. get back toTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang