Banyak hal datang silih berganti. Keputusan-keputusan yang harus segera dieksekusi juga terus menerus mengetuk pintu. Hal-hal seperti berhenti merokok karena cukai naik atau pergi ke Bandung untuk bekerja adalah salah satunya.
Juga seperti sekarang ini ketika aku memilih untuk mengabaikan sejenak kasus-kasus baru--padahal yang lama baru saja selesai--untuk menerima telepon dari seseorang. Ya betul. Telepon dari tokoh utama dalam hidupku beberapa tahun yang lalu, Calvin Antares.
Aku teringat saat-saat aku bertengkar dengannya. Saat itu aku yang mengalah. Kuturunkan egoku, aku meminta maaf.
"Maaf," ujarku ketika ia menanyakan alasanku ingin menemuinya di rooftop.
"Maaf kenapa?" tanyanya, seakan-akan lupa pertengkaranku dengannya sekitar seminggu yang lalu. Atau bisa jadi ia sedang berusaha memancingku bicara.
"Karena marah," jawabku singkat. Aku sendiri bingung, gengsi juga memakan setengah nuraniku saat itu.
"Marah kenapa?"
Helaan napas panjang terdengar dariku. Aku sangat membenci momen-momen ketika aku harus mengakui kesalahanku.
"Aku... takut sama perasaanku sendiri, Vin. Aku takut suka sama kamu,"
Calvin terdiam. Aku berusaha untuk tidak menunduk. Menunduk ketika meminta maaf hanya akan terjadi ketika aku salah dan kalah. Takut menyukai sahabatmu sendiri bukan suatu kekalahan. Aku... hanya membatasi diri.
"Kenapa lo suka sama gue?" tanyanya, menohokku.
"Aku gak bilang--"
"Gue ngerti lo suka gue. Kasih gue alesan lo." tegasnya.
Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu. Alasan-alasan yang pasti, yang jelas, yang konkrit. Jatuh cinta... bukan hal yang begitu aku pahami.
Lalu, apa? Uang? Tidak juga. Aku merenungkan alasan itu berhari-hari, dan bukan. Aku selalu merogoh kocekku sendiri ketika sedang nongkrong bersamanya. Pun aku tidak pernah menumpang mobilnya atau dibelikan ini itu olehnya. Pertemuan kami hampir selalu malam hari ketika semua orang sudah tertidur, di rooftop kafe kapitalis tempat aku bekerja, sekadar ngobrol dan berbagi tawa.
Aku menggeleng. "Aku gak tahu. Dan aku gak kenapa-kenapa, Vin,"
"Gue juga gak akan gegabah mutusin Anisa karena lo confess suka sama gue,"
Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Ah, mungkin aku saja yang sedang terbawa perasaan. Aku mengerjapkan mata, menahan tangisku. Di saat-saat genting seperti ini, rasional dalam membuat keputusan lebih dipentingkan daripada perasaan. Dan aku harus segera memutuskan: tetap menjadi kawan atau menjauh darinya sebagai konsekuensi mempertahankan kasih sayang.
"Exactly. Itulah kenapa aku bilang aku gak kenapa-kenapa," ujarku, menengok memperhatikan gemerlap lampu kota dari atas.
Sepersekian detik keheningan menyerobot. Keputusanku sudah bulat. Toh kasih sayang tidak harus diwujudkan dalam bentuk saling memiliki. Menjadi sahabat tidaklah buruk. Pun harga yang harus dibayar tidak semahal yang kupikirkan selama ini.
Kemudian, suasana cair sendiri. Membicarakan soal rencana masa depan, cerita-cerita masa lalu, struggle masa kini.
Calvin Antares, kamu benar soal kita mirip. Bahkan tentang menurunkan ego, kita punya cara yang sama.
"Halo?" suara seseorang di seberang telepon menarikku kembali ke dunia nyata.
"Oh, gimana Vin? Udah sampai?"
"Iya nih. Tapi gue sama anak-anak,"
"Ya santai aja kali. Nanti malem ketemuan?"
"Yoi. Gue juga ajak Anisa,"
Aku mengucapkan oke dan menutup telepon. Tadinya aku sudah mengirim lokasi kafe nyaman di dekat kosku, biar gampang.
Semoga, pertemuan pertama setelah sekian lama tidak berjumpa berakhir dengan baik.
─────
Kakiku menaiki undakan bangunan kafe yang cukup luas itu. Bentuknya joglo, sehingga udara dingin berhasil memeluk leherku yang bebas karena rambutku masih terikat rapi. Aku melepaskan ikatan rambutku karena ternyata udaranya tak kunjung menghangat bahkan ketika aku sudah memasuki area berbangku.
Di situlah aku menemukannya. Ia terlihat sedang bercanda dengan kawan-kawannya. Beberapa bersama perempuan, termasuk dirinya. Mungkin pacar, mungkin istri, mungkin teman sendiri. Aku melambaikan tanganku.
"Fanya! Akhirnya lo dateng juga," Calvin mengangkat tangannya hendak menepuk pundakku. Dengan sigap aku meng-highfive tangannya. Tonjokannya tidak pernah tidak sakit, sekedar info. Itulah mengapa aku menghindarinya. Ia terkekeh.
"Oh ya, Fan. Ini Eska. Eska, ini Fanya, temen gue waktu di Jogja. Temen satu-satunya nih yang bertahan sampai gue wisuda,"
"Idiih pede," sewotku. "Dia yang maksa, ya gak, Nis? Yang waktu itu,"
Anisa tertawa. Lengkungan yang terlampau manis itu terpatri di matanya. Hah, aku yang perempuan saja bisa-bisa jatuh cinta dengan tawanya. Masa Calvin tidak sih?
"Halo, Mbak. Saya Abimayu Jinendra Adsy," seseorang yang memperkenalkan diri sebagai siapa itu tadi tiba-tiba mengulurkan tangan di depanku. Calvin tertawa.
"Lo masih aja suka ganjen begini, Ji. Gak ada trauma-traumanya lo habis putus," komentar salah satu dari teman Calvin. Ganteng sih, tapi sudah ada yang jagain.
"Putus gak menghalangi jalan gue buat berteman, Bang," jawab laki-laki itu. "Eh, nama Mbaknya siapa ini?"
Aku menautkan alisku. Oh. Aku menjabat tangannya, mengikutinya menyebut nama lengkap. "Fanya Cahyaningrum Setiaji,"
"Wah... nama kita sama-sama ada Ajinya, Mbak," celetuknya membuatku heran.
"Oh, oke..." timpalku canggung.
Calvin hanya tertawa-tawa, Eska juga. Satu persatu dari mereka mulai mengenalkan diri, tapi sebagian aku sudah lupa bahkan sedetik setelah mereka menyebut nama. Fokusku saat itu hanya Calvin yang menceritakan ia akan melanjutkan hubungan lebih serius dengan kekasihnya itu. Aku sih mengangguk-angguk saja, mencoba merelakan.
Seperti yang pernah aku dapat dari Mama, aku sepantasnya melepas apa yang perlu aku lepas, melakukan apa yang harus aku lakukan. Untuk saat ini, merelakan.
Semoga kamu terus bahagia, Calvin Antares. Seberapa miripnya kita, kalau memang tidak ditakdirkan bersama, aku bisa apa? Semoga kamu terus berbahagia.
─────
notes :
di penghujung tahun ini aku betulan gak tahu harus seneng atau sedih. jujur, 2020 bukan tahun yang begitu baik buat aku, ditambah pandemi jadi semakin menjadi-jadi. tapi, di akhir tahun ini aku kenalan sama banyak orang keren-keren parah dan juga jadi tahun aku kembali menulis di wattpad setelah sekian lama. (akunku yang lama lupa passwordㅠㅠ). jadi, aku bingung tahun ini tuh sebenarnya apa siapa dan maunya apa. dahlah, malah curcol.
oh ya, karena aku double update, selamat menikmati ya! semoga 2021 jadi tahun yang lebih baik lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
i. get back to
Fanfictionsemua manusia yang melangkahkan kedua kaki, merasakan jiwa yang hidup di dalam raganya. aku manusia yang melangkahkan kedua kaki tapi aku tidak merasakan jiwaku sendiri. premis yang manakah yang aku lupakan? atau, penarikan kesimpulan sebelah manaka...