Ular Berbulu Domba

476 7 2
                                    

Cerita random gak urut yaaa:)
Belum melalui proses revisi dari Admin
Insyaallah akan direvisi secepatnya:)
Terimaksih telah membaca, Next.

.

.

  Ruang berukuran 5 x 4 dengan cat abu-abu dan lampu temaram itu hening. Pintu kokoh yang ada di depanku tak menunjukkan tanda-tanda akan dibuka, membuatku yang duduk seorang diri di hadapan meja persegi menghela napas panjang. Tak ada jendela atau apapun untukku mengetahui waktu sekarang. Perlahan, ruangan itu terasa sesak. Napasku kian lama kian cepat.
  
"Permisi...."  Aku reflek mendongak untuk menatap sumber suara. Dia adalah seorang wanita yang mungkin masih berumur 25 tahun dengan netra coklat khas orang Asia dan rambut hitam sebahu. Tubuhnya yang ramping dibalut seragam berwarna coklat khas kepolisian. Suara langkah kakinya terdengar jelas dan baru berhenti saat dia duduk di kursi yang bersebrangan dariku.
    "Selamat sore, Tuan...," dia menotong kalimatnya dan menatapku.
    "Adrian, panggil saja begitu."
    "Baik. Selamat siang, Tuan Adrian. Saya Lana Anggraini. Untuk beberapa waktu ke depan, saya mohon kerja samanya," ucapnya formal.
    Aku menyandarkan bahu ke kursi. Mungkin dia orang ketiga yang akan menginterogasiku hari ini. Sungguh hari yang melelahkan.
    "Saya rasa, Anda sudah tahu untuk apa saya ada di sini," ucapnya tenang. "Karena itulah, bisakah Anda langsung menceritakan semua yang Anda alami dua hari yang lalu?"
    "Jika yang kau maksud adalah dugaan korupsi, penyuapan, pengancaman, dan tuduhan sembarangan yang lain, tentu saja aku tahu. Tapi Nona, apa yang kuceritakan pada orang-orang yang datang sebelum dirimu itu benar adanya."
    Wanita berparas cantik itu menatapku menuntut. "Tuan Adrian, tolong ceritakan semuanya kepada saya. Dengan begitu, saya yakin hukuman yang Anda terima akan lebih ringan dari yang seharusnya."
    "Apakah kau pikir aku takut akan hukuman? Aku bahkan pernah bermimpi untuk jadi tahanan seumur hidup dalam penjara khusus 'petinggi' itu. Kau tahu, mereka menikmati fasilitas yang memadai dan tak bertanggung jawab atas apapun kecuali dirinya sendiri," jawabku santai.
    Wajah Lana menunjukkan perasaan keberatan, namun dia tetap diam dan mendengarkan celotehanku selanjutnya.
    "Kau ingat anggota parlemen yang namanya tercetak besar-besar di koran nasional bulan kemarin? Dia menghubungiku beberapa minggu yang lalu, bilang kalau penjaga sel tahanan sangat mudah dipengaruhi.
    "Bukankah ini sedikit lucu? Kalian menangkap mereka karena korupsi, tapi kalian sendirilah yang termakan oleh iming-iming hartanya."
    "Cukup, Tuan Adrian. Bisakah Anda menceritakan apa saja yang Anda lakukan hari Selasa kemarin?"
    "Bagaimana jika aku tak ingin melakukannya? Kau mau menghajarku atau apa?"
    Lana menggigit bibir. Wanita itu menunjukkan keengganannya untuk menanyaiku lebih lanjut. _'Sudah menyerah, eh?'_ batinku dalam hati. Aku mengetuk meja dengan jariku dalam tempo yang lambat, mencoba meniru bunyi jarum jam.
    "Kalau begitu, bisakah Anda menceritakan hubungan Anda dengan pria ini?" tanya Lana tak bersemangat sambil mengarahkan selembar foto padaku.
    Aku menangguk singkat. "Orang yang membaca gosip murahan bahkan tahu siapa orang ini. Aku hanyalah kawan kerjanya, tak lebih dan tak kurang," jawabku setelah melihat foto ketua dewan.
    Pria tua itu memang dipenuhi oleh skandal. Tapi meski demikian, dia adalah orang yang mudah diajak bekerja sama, setidaknya begitulah pikirku. Hanya gelarnya saja yang ketua, tapi kepala besarnya itu tak lebih dari hiasan semata. Karena ulahnya, aku berada di ruangan yang menyesakkan ini.
    'Perbincangan' kami berlanjut dengan kalimat yang keluar beruntun dari mulutku, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan sepele polisi wanita di depanku. Bukannya aku tak sadar, tapi mungkin lebih baik untuk menjawabnya dengan jawaban sama yang kuberikan pada para penyelidik yang datang sebelum Lana.
    "Anda yakin?" tanya wanita itu sambil mengerutkan dahi. "Ketua dewan yang terkenal dan banyak disukai itu adalah dalang dari mega-korupsi yang diendus komisi?!"
    Aku tertawa kecil melihat keterkejutannya. "Yeah. Kenapa memang? Kau termasuk pendukungnya?"
    Lana berdehem untuk mengembalikan wajah tenangnya. Kurasa dia memang mendukung pria tua itu.
    "Lalu, kenapa Anda bisa yakin kalau beliau adalah orang dibalik mega korupsi itu?" tanyanya.
    "Dia gampang mempengaruhi orang. Menjadikan manusia-manusia haus kekuasaan sebagai bawahan akan mudah baginya," jawabku. "Dengan begitu, memanipulasi dana-dana 'kecil' akan mudah, 'kan."
    "Bagaimana Anda mengetahuinya?"
    Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Insting mungkin."
    Lana menghela napas. Aku yakin percakapan ini entah bagaimana akan direkam dan telah sampai di telinga para polisi terkait. Baiklah, saatnya bertaruh pada keadaan. Aku membuka mulutku, "Apakah dengan ini aku dihapuskan dari daftar tersangka?"
    "Maaf, kami belum bisa memastikannya. Kami butuh beberapa waktu lagi untuk memastikan dalang sesungguhnya. Tapi semakin banyak yang Tuan Adrian ceritakan, semakin cepat pula langkah kami selanjutnya."
    "Jawaban yang sungguh percaya diri," komentarku. "Lalu apa yang ingin kau tanyakan selanjutnya?"
    Wanita itu tampak berpikir sejenak. "Malau begitu... Apakah Anda bersedia menjawab pertanyaan lagi mengenai ketua dewan?"
    Aku menangguk dan menyilahkannya bertanya.
    "Apakah Anda tahu mengapa beliau mendaftarkan diri menjadi pejabat pemerintahan dulu?" tanyanya.
    "Untuk mendapatkan kekuasaan tentunya. Memang ada apa lagi? Kau pikir meski dia berkoar-koar menuntut kesejahteraan rakyat lima belas tahun lalu, dia akan melakukan hal yang sama setelah mendapat kursi tinggi penuh godaan?"
    Lagi-lagi, wajah Lana mengerut. Dia membuka mulutnya, namun aku menyuruhnya diam terlebih dulu dengan membuka telapak tanganku dan mengarahkannya pada wanita itu.
    "Biar kuberitahu, Nona. Mau sebagus apa nilai seseorang di mata kuliah politik, teori dan praktek pasti memiliki beberapa perbedaan. Kau boleh jadi menghafalkan definisi politik milik Aristoteles atau yang lain, tapi apakah kau bisa lakukan hal yang sama, yaitu mencari cara agar dirimu sendiri dan masyarakat mendapatkan kehidupan yang baik?
    "Para tikus berdasi itu tidak akan mendengarkan kata terakhir. Mereka hanya menyejahterakan dirinya sendiri, baru rakyat secara setengah-setengah setelah mereka lakukan demo besar-besaran."
    "Apa yang sebenarnya Anda coba sampaikan?" tanya Lana sambil menatapku langsung.
    Aku terkekeh pelan. "Tidakkah kau sedikit tak sabaran, Nona? Tapi biarlah, aku menyukai pembicaraan _to the point_." Aku menatapnya sejenak sebelum melanjutkan. "Jadi maksudku, 'dewan' adalah lembaga dengan warna abu-abu gelap, tak ada yang hitam sempurna atau putih sempurna. Bisa jadi kau temukan seorang pemuda yang sopan dan ramah perangainya di sana, tapi sebulan kemudian dikabarkan dalam berita penggelapan dana."
    Ruangan 5 x 4 meter itu hening sekali lagi. Meninggalkan suara ketukan jariku yang bergema mengusir kebosanan.
    "Saya rasa 'pembicaraan' kita cukup sampai di sini. Terima kasih atas kerja samanya, Tuan Adrian."
    Wanita itu beranjak. Lagi-lagi, suara langkahnya yang menjauh menggema dalam ruangan kecil ini. Lana menatapku dan sedikit menunduk sebelum meninggalkan ruangan.
     ***

    "Ya?" jawabku menerima panggilan telpon.
    Jalanan sedang sepi saat ini. Yah, toh siapa juga yang mau mengendarai mobilnya hanya untuk berkeliling di pada jam 2 pagi? Ah, lupakan, polisi sering melakukannya. Ngomong-ngomong, aku telah dibebaskan dari tuduhan-tuduhan itu beberapa jam lalu, jadi di sinilah aku sekarang, menikmati pemandangan malam dengan mobilku.
    Pembicaraan di telpon berlanjut dengan diriku yang banyak mendengarkan.
    "Ngomong-ngomong, kau sudah urus perempuannya?" tanyaku setelah orang di seberang selesai bicara.
    Hening sejenak. Tak lama kemudian, dia bilang jika dia tidak tahu siapa yang kumaksud.
    "Astaga.... Dia wanita yang kubimbing untuk pergi ke ruang ketua dewan berkali-kali untuk menciptakan gosip-gosip itu. Kita menemukannya di bar tiga minggu lalu, memberikannya pekerjaan. Nah, sudahkah kau berikan bayaran untuknya?" tanyaku setelah menjelaskan.
    "Oh, baguslah... Hm? Uangnya, kau bilang? Uang apa?"
    Aku membelokkan setir pelan. Suara dari seberang telpon menjelaskan beberapa hal panjang. Aku menguap atas penjelasan membosankannya.
    "Ah, dana perimbangan itu? Masukkan saja mereka ke rekeningku. Tenang saja, pembagiannya kuurus nanti. 'Bagaimana dengan polisi' katamu? Mereka takkan melacaknya. Aku mengarahkan mereka pada ketua dewan tadi, jadi mereka pasti sedang sibuk dengan berkas-berkas palsu tak bernilai."
    Aku terkekeh pelan. Setelah mendengar suara itu mengolok-olokku dengan sebutan ular berbulu domba. "Terima kasih pujiannya, Pak Bendahara."
   Pria itu masih saja mengomentari tindakanku sampai suara klakson menginterupsi perbicangan kami. Aku mengarahkan mobil ke kiri jalan, sedikit menepi. "Kau sedang di jalan?" tanya si bendahara dewan.
    "Aku memang sedang menyetir. Baiklah, kurasa sampai sini saja. Mari bertemu empat hari dari sekarang-- di hari penangkapan kambing hitam kita yang ceroboh."
    Aku menutup telpon. Udara malam menerpa wajahku lewat jendela mobil. Jalanan yang sepi membuatku lebih leluasa menatap pemandangan gedung-gedung yang tinggi menjulang. Bosan, aku mencoba memutar lagu dari tape mobil.
    Lagu yang sudah kuhafal di luar kepala mulai terdengar. Aku menyenandungkan nadanya yang khas, lantas mengikuti sang penyanyi kebanggaan bangsa, sekaligus sang penyampai suara rakyat.
    "Untukmu yang duduk sambil diskusi... Untukmu yang biasa bersafari... Di sana...
    "Wakil rakyat kumpulan orang hebat... Bukan kumpulan teman-teman dekat..."
    Aku tersenyum kecil, membiarkan diriku menyanyikan lagu penuh sindiran itu untuk diriku sendiri.
   

By WattPad : erumiii

Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang