Pentingnya Agama Islam

127 3 0
                                    

Hari Sabtu ini, hari dimana keluarga ku seharusnya dapat berkumpul tanpa halangan. Namun,
kata seharusnya tidak bermakna untuk waktu ini di hari ini. Ayah dan ibuku sibuk dengan urusan
mereka sebaga pengacara, kakakku sibuk dengan perusahaannya, adikku sibuk bermain bersama anak
tetangga. Jadi, siapa diriku? Apa yang kusibukkan sekarang? Aku sibuk merebahkan diri di sofa
keasayangn sambil mencari klarifikasi tentang teori-teori konspirasi. Hal yang berfaedah ketimbang
memikirkan 1+1 yang katanya hasilnya kita—aku dan gebetan, padahal dalam kenyataannya hasilnya
adalah mereka—gebetan dan perempuan lain.

Seketika setelah mencari-mencari pendapat mengenai bumi itu bulat atau datar, nada dering
dari _handphone_-ku berbunyi nyaring. Aku terkaget kemudian segera berlari mengambil handphone
yang berada di meja belajar yang masih sedang di- _charge_. Awalnya aku sangat gembira karena
mungkin salah seorang dari anggota keluargaku akan memberitahu bahwa mereka bisa berkumpul
bersama, ternyata bukan yang menelfonku adalah temanku, Kia—terlihat dari nama panggilan yang
tertera di layar _handphone_-ku.

Aku menerima paggilan tersebut dengan menggeser tombol berwarna hijau ke kanan.

“Assalamualaikum,” terdengar suara dari seberang sana.
“Waalaikumussalam, gua kira siapa ternyata lu, Ki.” Aku rebahkan diriku lagi ke tempat semula.
“Kenapa, lu?” ucap Kia bertanya-tanya, “nadanya suram banget.”
“G p p pake titik,” jawabku agak sinis.
“Ga suka ya gua nelfon? Padahal gua mau ngajak lu main.”
“Eh eh, astagfirullah! Bukan-bukan gitu maksud gua, zeyenk.”
“Ya udah, sorry ganggu.” Kia menutup panggilan telepon yang diikuti dengan bunyi bipbipbip yang
keluar dari handphone-ku.
Aku mengomel dalam batinku, “Duhh… pake baper tuh orang.” Aku memanggil ulang nomornya.

Ketika sudah tersambung aku langsung menjelaskan tentang apa yang terjadi dan meminta maaf.

“Sorry banget ya, Ki! Gua ga bermaksud jutekin, lu.” Tubuhku agak terkulai lemas.
“Hahahah, iya iya gua juga ga bermaksud marah sama lu. Tapi lu nya yang emang maunya bikin emosi
orang aja sih,” ujar Kia yang diiringi tawa renyah, kriuk, gurihnya, “Kila, jadi lu mau ikutan ga?”
Mataku melirik jam dinding, ternyata masih menunjukkan pukul 1 siang. Pikirku bahwa tidak
apa-apa pukul segini aku main keluar, toh tidak ada kesibukan yang benar-benar berfaedah yang ku
lakukan di rumah. Akhirnya, aku mengiyakan ajakannya. “Eh, iya-iya mau. Bentar gua siap-siap dulu.”
Aku buru-buru mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi.


Sekarang badanku sudah segar dan bersih, tapi tidak terlalu wangi. Jika kalian bertanya-tanya
kenapa aku tidak memakai parfum saja agar wangi, jawabanku adalah dalam Islam penggunaan
parfum/wewangian bagi wanita adalah haram hukumnya. Dalilnya?

_“Seorang perempuan yang mengenakan_ _wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka_ _mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah pelacur.”_ _(HR. An-Nasa’I, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad._ _Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no 323 mengatakan hadits ini sahih._

Tapi hanya berlaku haram jika wanita memakai parfum untuk keluar rumah kok, jadi untuk di
dalam rumah boleh-boleh saja. Tapi dalam hadist lain dikatakan boleh memakai wewangian asalkan
tidak terlalu jelas baunya/samar, yaitu dalam hadist:

_“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi tampak bau harumnya._ _Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.”_
_(HR. Baihaqi dalam Syu’abal Iman, no.7564; hadits hasan.)_

Maka dari itu berhati-hatilah dalam memakai parfum/wewangian.

Dengan berbalut gamis berwarna _lilac_ dan pashmina putih yang menjulur sampai ke dada, aku menunggu angkot di depan rumahku, yang searah dengan alamat café yang sudah dikirim Kia tadi
melalui aplikasi berbalas pesan—WhatSup. Aku tidak menggunakan kendaraan pribadi, seperti mobil
atau motor karena aku tidak bisa mengendarainya.

Tanganku melambai-lambai pada angkot yang melaju ke arah ku. Dari warna angkot tersebut yang berwarna merah menandakan angkot tersebut melewati daerah Jalan Mawar, yaitu daerah café
tempat kami bertemu. Lalu, aku masuk dan duduk disalah satu bangku di sana.

“Bang, kiri!” aku menyeru kepada sopir angkot itu, agar suara ku terdengar olehnya. Angkotpun berhenti mendadak, sampai-sampai semua penumpang yang ada di dalamnya terlonjak kaget. Decitan
suara gesekan rem mobil dengan cakram rem yang luar biasa nyaring, menambah ketidaknyamanan penumpang.

“Duh, Bang. Ini uangnya.” Aku memberikan selembar uang lima ribuan kepada sopir angkot tersebut.

Segera, aku masuk ke café yang sudah diinformasikan oleh Kia tadi. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan satu manusia itu. Sampai lirikanku melihat ke bagian belakang dari tempat-tempat pengunjung biasanya duduk, di sana terdapat manusia yang aku cari-cari—Kia, tapi anehnya ada seseorang lagi yang sedang bersenda gurau dengannya. Aku dekati tempat duduk Kia, kemudian menepuk pundaknya perlahan, yang ditepuk menoleh dan orang yang disamping yang ditepuk juga menoleh.

“Owalah, ada Aliya juga. Ku kira siapa, dari belakang keliatan beda dari biasanya sih.” Aku menyeret kursi yang berada berhadapan dengan kedua orang tersebut dan duduk.

“Haha, paling gara-gara lu gak pake kacamata, Kil,” balas Kia.
“Iya, mungkin gara-gara kamu nggak pake kacamata. Lagian kenapa nggak pake kacamata?” tanya Aliya sambil menyeruput minuman, yang entah bernama apa, tapi aku terka pasti itu jus strawberry, warna minumannya hampir mirip dengan buah strawberry.
“Iya-iya deh, aku pake kacamatanya.” Aku mengeluarkan kacamata dari mini ranselku dan langsung ku pakai.
“Idih, cuma nanya kenapa, yang jawab malah nyolot gitu. Gak nyambung,” keluh Kia. Aku tiba-tiba tersadar, dugaanku aku masih terbawa emosi yang dikarenakan keluarga ku sibuk dengan urusannya
masing-masing. Segera aku meminta maaf lagi kepada Kia dan Aliya.

Di sana, kami berbincang-bincang layaknya perempuan pada umumnya, yang rempong-rempong. Tetapi kami berusaha untuk tidak ada unsur ghibah di dalamnya, sebab mengartikan bahwa
kita seperti memakan daging orang yang dighibahi yang sudah mati, pula pahala-pahala yang susah
payah kita kumpulkan pasti akan beralih kepada orang yang dighibahi, yang kemudian mengakibatkan
pahala kita habis. Dalilnya adalah Surah Al-Hujurat ayat 12.

Waktu sudah menunjukkan pukul 3, kami segera bergegas pulang agar tidak melewatkan waktu Ashar. Tetapi kami main ke rumah Aliya terlebih dahulu, dan kemungkinan kami sholat Ashar di sana. Dalam perjalanan menuju rumah Aliya, dari belakang tiba-tiba ada seseorang yang menghantamku sampai aku terjunggal di dekat selokan jalan tersebut.

“Astagfirullah!” Amarahku seakan melonjak drastis, tapi untungnya mulutku tidak keceplosan mengatakan hal yang buruk.
“Jadi korban tabrak lari ini kayaknya.” Kia dan Aliya berusaha membantu ku berdiri.
Aku menahan amarah dengan diam. Lebih baik diam daripada berkata-kata buruk untuk meluapkan emosi.

Tapi dengan tiba-tiba lagi dari arah belakang terdapat segerombolan massa warga yang membawa barang-barang tajam dan juga membawa amarah mereka tengah terlihat mengejar orang yang menabrakku tadi. Kamipun buru-buru pergi dari tempat itu karena takut.


Alhamdulillah, kami sudah sampai di rumah Aliya dengan selamat. Aku dan Kia duduk di sofa depan TV, sedangkan Aliya membuat minuman untuk kami bertiga. Di layar TV-nya tersiar sebuah berita.

“Selamat sore, pemirsa! Kembali bersama saya, Anandatya dari Berita Teraktual Indonesia yang akan menemani sore Anda dengan berbagai berita yang masih fresh yang datang dari berbagai penjuru
Nusantara. Siang tadi, terdapat kerumunan massa yang menyebabkan kegaduhan di daerah Jalan Mawar, Kota Indah. Dari hasil wawancara kami, mereka sedang mengejar seorang laki-laki yang telah menyebabkan masalah besar di perumahan mereka. Lelaki tersebut dikatakann telah memperkosa beberapa wanita yang ada di perumahan tersebut. Di duga pelaku tersebut melakukannya
dikarenakan dia terpengaruh oleh novel yang ia baca yang mengandung unsur pembunuhan, pemerkosaan, dan sejenisnya. Secara jelas, mari kita lihat cuplikan berikut,” cakap pembawa berita
tersebut dengan panjang lebar yang kemudian diiringi dengan penanyangan video amatir.


“EH! Itu kita kan?” Kia memekik.
“Bener-bener, itu kita. Haduhh, kenapa muka gua di sana gak enak dipandang,” aku mengeluh, cemberut, dan malas melihat berita itu lagi.

Dari arah pintu dapur, Aliya sudah membawakan minuman yang terlihat segar untuk kami. Lalu dilanjutkan dengan sebuah nasehat dari Aliya. “Makanya seharusnya kita itu punya landasan agama Islam yang kuat terlebih dahulu sebelum membaca hal-hal yang bertentangan dengan agama kita. Setidaknya dengan mempunyai landasan agama Islam yang kuat, kita tidak akan mudah terpengaruh hal-hal semacam itu.”

Aku berpikir sejenak. Ku pikir memang ada benarnya, dalam hidup juga harus berlandasan pemahaman Islam yang kuat, sehingga lebih mudah untuk kita menanggapi kejadian yang ada di depan mata kita dengan cara yang benar. Misalnya, saat tadi aku terjungkal karena di tabrak seseorang dari belakang, aku langsung mengucapkan astagfirullah dan diam untuk meredakan emosi bukan
dengan berkata-kata yang tidak baik.

“Eh, udah adzan Ashar. Yuk, sholat dulu!” ajak Aliya kepada kami.


By wattpad : Gurasantinta_

Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang