Perasaan gue nggak enak, nih.
Biasanya, kalau gue melangkah masuk gerbang sekolah dengan gapura bertuliskan SMA MAHAKARYA ini, gue bakal merasa keren. Dagu terangkat, mata menyipit sombong, punggung tegak.
Tapi hari ini, ciut luar biasa.
Ada apa, ya? Apa roti yang gue makan tadi basi, ya?
"Han! Ngapain lo, njir, diem aja kayak nahan boker. Udah tau belum lo di kelas mana?"
Kayla dengan barbarnya mengalungkan lengannya ke leher gue, menarik gue masuk beriringan. Terasa mencekik.
"Belom. Lo udah?"
"Sama! Yuk, kita sama-sama liat ke mading!"
Gue tertawa kecil. Kelakuan Kayla memang suka kadang melontarkan kalimat ala-ala kompetisi bocah di televisi.
Tunggu. Apakah gue bakal pisah kelas dengan Kayla tahun ini, makanya perasaan gue nggak enak?
Di depan mading, puluhan murid lainnya juga bergerumul, mencari tahu ditempatkan di kelas mana mereka di tahun ajaran baru ini. Namun saat gue dan Kayla mendekat, kerumunan auto minggir, mempersilakan.
Ya, sesegan itu mereka sama gue.
"HAN! KITA NGGAK SEKELAS!"
Mata kami melotot pada satu sama lain. Benar saja. Untuk pertama dan terakhir kalinya selama sekolah di sini, kami pisah kelas. Gue di XII IPA 2, dia di XII IPA 3.
"Yah, Kay—"
"HAN! LO SEKELAS SAMA JULIO!"
APA?!
"Ciee~"
Serentak bagai paduan suara dadakan, kerumunan murid di sekeliling kami bersorak, senyam-senyum ke gue. Gue jadi salting.
"SHH! SSH!!" sahut gue, menyuruh mereka diam.
MALU, WOY!
"Kita sekelas, Han?"
Gue menjerit kaget, Kayla sampai memukul bahu gue. Kerumunan menarik napas kaget. Julio dan dua temannya, Deon dan Chiko, menghampiri kami, tersenyum manis.
"Kelas berapa?"
Terkesima dengan pesona Julio, mulut gue nganga sedetik, baru jawab, "XII IPA 2."
Julio mengangguk, lalu tersenyum lagi. "Duduknya jangan jauh-jauh dari gue, ya."
Gue matung. Saat Julio dan temen-temennya pergi, baru rasanya gue bisa napas. Kerumunan—yang nggak pernah ada kerjaan—masih berdiri di sekeliling kami, saling berbisik ketawa liat reaksi gue yang (emang) selalu aneh kalau di depan Julio.
"Cie—"
"DIEM!" bentak gue pada salah satu cewek, sebelum menarik Kayla dan pergi ke kantin.
"Haduh, haduh. Pagi-pagi, hari pertama pula, udah di-request sama Julio," goda Kayla yang mengancingkan lengannya ke lengan gue. "Kalau udah sekelas gini, kalian fix bakal jadian, Han."
"Halah."
Dua tahun, gue nunggu tuh cowok. Dua tahun, dia cuma ngode doang, bikin gue baper, tapi nggak pernah nembak.
Emang dasarnya cowok ganteng gitu semua, atau guenya yang emang nggak pacar-able, sih?
"Eh, bener, Han," kata Kayla sambil kami duduk di meja favorit kami. "Lo nggak dateng sih di pesta ultahnya dia kemaren. Dia nanyain lo mulu, njir. Sepanjang malem, mukanya ditekuk aja gitu kayak martabak."
Alis gue terangkat penasaran. "Jangan bikin gue GR mulu, Kay, ah. BANG! BATAGOR!"
"DUA!" Kayla ikut.
"SIAP!" jawab Bang Hanung.
"Udah, deh. Pertanyaannya tuh, ya," kata Kayla, mendekatkan wajahnya. "Lo siap nggak kalau ditembak?"
Gue nyengir bodoh, mendorong bahu Kayla. "Ah, elo."
Tapi-... perasaan gue kok masih nggak enak, ya.
Bukan karena gue pisah kelas sama Kayla. Apalagi gara-gara sekelas sama Julio. Ini beda. Jauh lebih ngeganggu.
Kayak ada kejadian luar biasa menyebalkan yang bakal gue hadapi.
Astaga, gue takut.
"Silakan, Neng Hana, Neng Kayla."
Gue tersenyum manis pada batagor di hadapan gue. Sarapan kedua favorit gue setelah Roti Srikaya Mang Dodol. Tanpa ba-bi-bu, langsung gue serang.
"Anjir, siapa tuh bawa masuk mobil keren banget!"
Gue mendongak ke arah pandang Kayla sambil mengunyah batagor. Di lapangan parkir, terlihat mobil sedan hitam baru aja terparkir rapi.
"BMW baru, cuy."
Kayla ngerti aja kalau urusan barang mewah. Kalau dari ekspresinya, Mercedes Benz-nya Julio rupanya tersingkirkan.
Gue terus mengunyah sambil menatap mobil tersebut.
"Siapa, ya?"
"Orangtua murid, kali," celetuk gue ngasal.
"Anjir! Murid, cuy! Liat!"
Benar. Seorang laki-laki berseragam sama dengan kami keluar dari kursi pengemudi, menyampirkan tas, lalu menutup pintu mobilnya. Murid-murid lain bahkan juga ikut menonton, seakan menyambut laki-laki itu.
Eh, sebentar—
"Gila, gue pikir Julio udah tajir mampus, terus tuh cowok apaan, Han?"
Dari posturnya yang tinggi, gaya berjalannya, kayaknya gue pernah liat. Gue mengunyah lebih cepat, berharap otak gue juga mikirnya cepat. Tapi malah jadi korslet.
"Gue coba panggil aja kali, ya Han? WOY, GANTENG!"
Cowok itu menoleh—ANJIR!
GUE KESELEK BATAGOR! SUMPAH!
"Han? Han, lo kenapa?! ASTAGA, HANA!"
Gue batuk-batuk, memukul-mukul meja, tapi batagornya nggak mau keluar dari kerongkongan.
"Aduh, gimana, nih! Han! TOLONG! TOL—"
Tiba-tiba seseorang nahan kedua tangan gue dari belakang, menekan punggung gue. Dia berhitung. Satu, dua, tiga.
Batagornya keluar!
Astaga. Astaga, sumpah gue mau mati rasanya tadi. Jantung gue berdebar, takut mati beneran.
"Lo nggak pa-pa, Han? Aduh, ada-ada aja sih lo keselek batagor. Malu tuh sama cowok ganteng!"
Mata gue melotot ke Kayla, mendadak merinding. Lalu gue berbalik.
Di situlah perasaan mau mati yang sesungguhnya gue rasakan. Perasaan nggak enak gue, terjawab.
Cowok itu tersenyum melihat gue, sambil berkata—
"Akhirnya ketemu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Junior Boyfriend
Romance"Gue mau lo jadi pacar gue, Han." "HEH! Lo tuh adek kelas! Kalo seisi sekolah tau gue pacaran sama lo, mau ditaro di mana muka gue?!" "Trus? Lo lebih milih seisi sekolah tau kalau lo jadi pelayan di tempat karaoke?" Kampret. "Inget, Han. Lo juga per...