1. karaoke dewasa

26 7 5
                                    

HAAANN!! Di mana, lo?! Nggak seru nggak ada lo di sini! Buruan!! BANYAK COWOK GANTENG!!

Gue menghela napas pada pesan yang dikirimkan Kayla. Sudah terbayang pesta ulang tahun Julio pasti seheboh apa. Rumahnya segede gedung putih Amerika. Siswa-siswi keren dari sekolah internasional kenalannya pasti datang semua. Cowok sepopuler dan seganteng itu sudah pasti mengadakan pesta terdahsyat seantero anak SMA.

Sementara gue harus shift malam di tempat karaoke orang-orang dewasa seperti ini.

"Hana! Kamu anter ini ke ruang VVIP, ya. Cepet-cepet!"

"I-iya, Pak."

Gue buru-buru menerima nampan berisi gelas es dan botol champagne dingin, juga semangkuk potongan-potongan buah, kemudian meluncur ke ruangan tersebut. Hanya ada satu ruangan VVIP di tempat karaoke ini, dan ruangan itu ada di lantai 3.

Lantai 1 dan 2 ada ruang biasa, dan jika melewati lorong-lorongnya, gue harus selalu tutup telinga.

Sumpah, orang-orang fales banget punya suara, tolong bunuh gue.

Sampai di depan ruang VVIP, gue terdiam. Kok, hening bener? Tapi gue ketuk juga pintunya.

"Masuk."

Suara cowok. Enak banget didengarnya, kayak penyiar radio. Padahal ngomong satu kata doang.

Oh, iya. Gue masuk.

Loh. Ini cowok sendirian.

Dia cuma duduk senderan di sofa. Kemeja hitam. Blazer hitamnya tersampir di sofa sampingnya dengan asal. Kayaknya mahal tuh. Wajahnya datar ngeliatin layar monitor yang sedang menayangkan video musik "Hollywood's Bleeding" dari Post Malone.

Tapi kata Pak Nico, kita sebagai karyawan nggak boleh nge-judge pelanggan. Pernah ada om-om ke sini bawa dua cewek sewaan. Ada juga tante-tante bawa empat cowok sewaan. Macem-macem pelanggan dengan cara hiburan mereka.

Tapi ini sendirian?! Cowok ganteng pula! Mukanya mirip banget idol Korea!

"Silakan," kata gue sopan, meletakkan gelas dan botol champagne ke meja dekat dia.

"Saya sisa berapa lama ya di sini?"

Gue menoleh, melongo. Tapi sebelum keluar kata bodoh 'hah', gue langsung mengecek jawaban pertanyaannya. Jari gue ketak ketuk layar kecil di sampingnya.

"Sisa sekitar 20 menit lagi, Mas."

"Tambah dua jam lagi."

"Eh, tapi... kami tutup satu jam lagi, Mas."

Lalu tiba-tiba dia menoleh ke gue. Tatapannya tajam banget, ngalahin golok yang buat sembeleh kurban. Tapi anehnya matanya kayak sedih gitu.

"Kalau saya bayar dua kali lipat?"

Anjir, kok gue deg-degan gini? Ekspresi sedihnya pas ngomong dan suara khas penyiar radionya bikin darah gue ngalir cepet banget. Udah mana lampu remang-remang gini.

Gue cengengesan. "Nggak bisa, Mas."

Lalu dia kembali ngeliat ke layar. Ekspresinya datar lagi.

Gue menggigit dalam bibir, canggung. Lagian ngapain juga nih cowok di sini sendirian, dua jam, ngeliatin layar doang pula.

"Ada yang bisa saya bantu lagi, Mas?" tanya gue, sesuai protokol.

Dia nggak jawab. Baik.

Gue bilang permisi, lalu keluar ruangan. Atmosfernya bener-bener beda pas gue udah di luar. Lega. Jantung kembali normal.

My Junior BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang