“Dunia akan menginjakmu ketika kau tak mampu berbuat apa-apa.” – Januar Arsenio Darrenic.
****
Awan yang awalnya cerah kini mulai menghitam. Udara yang awalnya menghangatkan kini mulai berhembus ke sana kemari melihatkan eksistensi nya. Seorang laki-laki berpenampilan ‘nerd’
kini melangkahkan kakinya menuju mansion yang berlantai dua.
Kacamata tebal, kemeja biru navy kedodoran, bahkan celana yang ugh, benar-benar tidak enak dipandang kini tengah melengkapi outfit laki-laki itu. Namun jangan salah, laki-laki itu tidak seperti yang kalian pikirkan.
“Tuan, bagaimana kampus hari ini?” tanya Tristan, tangan kanan laki-laki yang kini sedang melepaskan kacamata, kemeja, dan celananya di ruang tamu tanpa peduli orang lain melihatnya berganti baju.
“Not bad. Bagaimana dengan Melvin, apakah kau sudah membawanya?” tanya Januar sambil mengenakan kaos yang diberikan beberapa maid dan mengacak rambutnya hingga yang awalnya mirip sapu tak diganti beberapa bulan kini menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Tristan mengangguk. “Korban sudah siap.”
Januar tak membalas ucapan Tristan dan langsung melangkahkan kakinya menuju ruang bawah tanah.
Ceklek.
Seketika bau anyir mulai tercium. Tempat itu terlihat gelap dan sangat sunyi. Tidak ada cahaya yang menerangi seluruh ruangan itu selain lampu bohlam berwarna kekuningan berukuran kecil yang berada di atas. Namun cahaya lampu itu cukup untuk melihat seluruh isi ruangan meskipun terlihat sangat remang-remang.
Di ruangan ini, ada begitu banyak kurungan seperti penjara berukuran lebih kecil dan sempit yang memang di desain untuk menyiksa manusia, ah, bahkan layak untuk di sebut sebagai ujung ajal dan maut. Tidak, dirinya bukan psikopat berdarah dingin. Tempat ini hanya tempat sebagaimana Januar menyenangkan sebagian dari dirinya dengan membunuh manusia-manusia yang tak pantas ada di dunia ini.
Sebut saja Januar mempermudah pekerjaan Tuhan untuk tidak menghabiskan tenaga untuk menghabisi manusia hina yang tak layak untuk hidup bebas. Sangat berhati mulia, kan Januar?
Di ruangan ini hanya ada seseorang laki-laki yang seumuran dengannya yang sedang berdiri dengan posisi kedua kaki dan tangannya terikat di tiang. Orang itu yang merasakan kehadiran seseorang dengan cepat membuka matanya yang berwarna keunguan. Wajahnya sudah tak bisa untuk disebut wajah yang normal seperti biasanya, darah kering sana-sini. Lebam di pelipis dan di tulang pipi. Sayatan pun sudah banyak di sekujur tubuhnya.
Tubuh laki-laki itu menegang seketika saat melihat Januar sudah ada di depannya dengan penampilan yang sudah berubah tiga ratus enam puluh derajat sebelum dirinya bully seminggu yang lalu.
Tidak ada kacamata setebal pantat botol, baju kedodoran, celana back to 80 an, dan rambut yang mirip gembel kini sudah berubah menjadi laki-laki tampan dengan penampilan fresh. Bahkan, jika tampan adalah dosa, laki-laki ini sepertinya akan masuk neraka yang paling dalam.
Januar melewati orang itu dan melangkahkan kakinya ke arah lemari kaca yang penuh dengan alat-alat khusus. Alat yang Januar persiapkan dan digunakan untuk memberikan kenangan yang indah sebelum orang yang akan menjadi korbannya pergi dari dunia yang kejam baginya dan masuk ke dalam neraka tempat yang sebenarnya.
Januar berpikir sejenak sebelum mengambil sebilah pisau yang kecil dan tidak terlalu tajam. Memang tidak bisa membunuh manusia dengan sekali tusukan tapi jangan lupakan rasa sakit yang dihasilkan oleh pisau tumpul saat menyayat tubuh korbannya. Ia tidak ingin korbannya mati seketika dan tidak merasakan sakit yang dirinya inginkan.
Ia menginginkan seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa saat pisau itu dipaksakan untuk menembus dagingnya. Dan itulah kenikmatan nya, melihat korbannya tersiksa dan meminta untuk segera dibunuh ketimbang merasakan sedikit-sedikit rasa sakit yang diberikan oleh Januar.
Januar tersenyum manis yang memperlihatkan dua lesung pipinya di kanan dan kiri lalu membalikkan tubuhnya ke arah orang yang saat ini sedang terlihat begitu ketakutan menatap pisau yang kini berada di tangan kanannya.
“Hai, Vin. Masih mengenalku?” tanya Januar yang masih mempertahankan senyum manisnya yang bagi Melvin adalah senyum malaikat yang ingin mencabut nyawanya.
“Sorry banget, Sen. Gue gak akan ulangin lagi kesalahan gue,” ucap laki-laki itu memohon. Melvin menggelengkan kepalanya dengan raut wajah yang sangat memelas. Dia tidak sanggup mengingat kembali perlakuan Januar setiap kali menyiksanya. “Gue gak aka—“
“Udah terlambat, Melvin.” Januar tersenyum sinis sembari menyayat dada hingga perut orang itu dengan gerakan perlahan dan menekannya keras sehingga darah segar mengalir sangat deras.
“Akhhhh.” Melvin ingin rasanya meneteskan air mata nya, namun rasanya persediaan air matanya sudah habis setelah beberapa hari yang lalu. Januar begitu menyiksanya, bahkan jika dirinya memiliki pilihan untuk memilih mati atau di siksa seperti ini, dengan senang hati Melvin akan memilih mati saja.
“Seharusnya kau sejak awal memikirkan akibatnya,” desis Januar sembari terus menguliti orang itu tanpa membunuhnya. Tidak ada rasa kasihan sedikit pun mendengar rintihan dan permintaan tolong dari mulut Melvin.
Namun yang ada Januar begitu menikmatinya dan tidak memperdulikan teriakan orang itu yang terus memohon agar Januar menghentikan nya. Seperti ada kesenangan tersendiri yang tidak bisa dijelaskan bagi Januar saat melihat darah segar itu terus mengalir dari badan korbannya.
Yang salah di sini adalah Melvin, bukan Januar ya. Ingat, tidak ada asap kalau tidak ada api. Begitu pun Januar. Ia tidak akan membunuh korbannya kalau saja Melvin tidak membully nya hari itu, dan mungkin saja laki-laki yang kini sedang menahan rasa sakit itu tidak akan berakhir di sini.
“T-tolong, bunuh aku saja. Aku mohon—“ pinta Melvin dengan suara setengah parau. Melvin sudah memohon untuk ke sekian kalinya, dirinya sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit dan hidup menderita merasakan kematian yang perlahan-lahan menghampirinya.
Januar berpikir sejenak lalu mengangguk kan kepalanya setuju. “Oke-oke. Kau ingin mati dari mana?” tanya Januar sembari tertawa menggelegar melihat ketakutan di wajah Melvin.
“Tolong—jangan bunuh aku.”
“Terlambat.” Januar tersenyum ramah namun sedetik kemudian pisau tumpul kini telah menancap dalam tepat di jantung laki-laki itu.
Darah mengucur sangat deras ke tanah, kaosnya yang awalnya berwarnah latte cerah kini sudah berganti berwarna maroon, bau anyir darah seketika menyeruak di ruangan yang tanpa udara ini.
“Good bye, Melvin.” Januar tersenyum puas lalu meletakkan pisaunya di meja yang tak jauh darinya. Ia juga tak diributkan dengan bagaimana nanti keluarga Melvin mencari laki-laki itu. Yang ia tahu, akan ada berita segera yang menayangkan bagaimana Melvin membunuh dirinya sendiri dengan kejam karena frustasi.
Dunia tidak butuh orang lemah sepertimu, Vin. Berterimakasih lah kepadaku karena membunuhmu sebelum kau mengetahui kejamnya dunia ini. Batin Januar tersenyum.
****
Hai hai hai! Welcome di cerita terbaru aku, semoga suka yaaaa. Follow jika berkenan, dan jangan lupa tinggalkan jejak, luv <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, My Husband!
Ficção AdolescenteUntuk mencari siapa pembunuh adiknya, Januar menutupi identitasnya dari kejamnya dunia yang seakan-akan mempermainkan takdirnya. **** [Romance Story] Shireen, gadis yang memiliki paras cantik itu tidak akan menyangka takdir mempertemukan nya dengan...