Satu - Sebuah Lamaran

14 1 0
                                    


"Aku mau dilamar, Pul."

Pemuda jangkung itu sejenak terdiam dan mengernyitkan dahi, lalu sekilas memandang ke arah teman perempuannya, sang pemilik suara.

"Ya baguslah, Mon."

Yang diajak bicara terlihat murung. Wajahnya yang berpipi bulat tampak ditekuk dan tertunduk.

"Bagus gimana, maksud kamu?"

Sekarang, giliran gadis bertubuh subur itu yang menoleh ke arah sang pemuda yang duduk di sebelahnya, sambil cemberut.

"Ya, bagus kan, Mon. Hidupku akan lebih tenang, bila kamu segera menikah.”

“Apa?! Maksud kamu apa,  Cungkring?!” Tangan gadis muda yang bernama Mona itu segera bergerak, untuk melayangkan cubitan pada lengan pemuda bertubuh kurus di sampingnya.

“Aduh! Sakit, Mon!” pekik pemuda yang biasa dipanggil Ipul itu sambil meringis.

“Kalau kamu menikah, 'kan kamu jadi lebih banyak ngomel pada suamimu. Jadi, hidupku bisa lebih tenang.” Ipul tersenyum jahil. Mona hanya memasang wajah jutek tanpa kata.

“Lagian, itu 'kan, memang sudah lama diinginkan oleh orang tua kamu?" lanjut Ipul, ia berkata tanpa menoleh pada Mona.

Entah mengapa, ada sedikit rasa sesak di dadanya, saat Mona bilang, dirinya ada yang melamar.

Rasanya, ia akan kehilangan sahabatnya yang paling cerewet. Dan itu dirasa sedikit berat bagi Ipul. Bukan apa-apa, tapi hari-harinya pasti sepi tanpa ocehan Mona.

Ipul kembali teringat, satu tahun yang lalu, saat Mona bercerita bahwa abahnya jatuh sakit. Semenjak sakit, abahnya selalu khawatir, kalau-kalau tidak bisa menjadi wali untuk Mona, dikarenakan beliau akan berpulang lebih dahulu.

Sebab itulah, sejak setahun yang lalu, orang tua Mona berkeinginan untuk segera menikahkan putri mereka satu-satunya. Berhubung Mona belum punya calon, maka mereka berkali-kali berusaha mencarikan jodoh untuk Mona.

"Tapi 'kan, kamu tahu sendiri, Pul. Aku tuh belum pengen nikah. Umurku juga masih 23 tahun. Aku masih ingin bekerja keras untuk memenuhi impianku," ujar Mona.

"Emang, apa impian kamu?"

"Aku ingin ngumpulin banyak uang. Terus, kalau aku sudah bertemu jodohku, aku ingin bulan madu keliling Indonesia dengan uang yang aku tabung." Mona berkata seraya netranya menerawang jauh.

"Haha ... ngapain susah-susah ngumpulin duit cuma buat bulan madu keliling Indonesia? Cari aja suami yang kaya, 'kan nanti dia yang akan membiayai bulan madu kalian keliling Indonesia." Ipul tergelak.

"Eh, kamu bener juga ya, Pul. Tumben, otak kamu encer." Mona tersenyum lebar sambil melemparkan pandangan pada sahabatnya.

"Ah, kamu Mon. Dari dulu kan, aku memang pintar. Sampai-sampai selalu ditempelin cewek gendut macam kamu." Ipul tertawa menyeringai.

Plak!

Tiba-tiba tangan besar Mona, sudah mendarat di lengan Ipul yang kurus. Ipul mendesis sambil meringis menahan sakit.

“Aduh … sakit, Mon!”

"Heh, Cungkring! Awas ya, sekali lagi ngatain aku gendut! Aku tabok sampai babak belur!" ancam Mona sambil bersungut-sungut.

"Emang kenyataannya gendut, kok! Ye ... Gendut ... Gendut!" Ipul sengaja menggoda sambil terkekeh.

"Hik ... hik ... hik ...!" Tiba-tiba, terdengar suara isak tangis tertahan dari Mona. Tubuh tambunnya terlihat berguncang-guncang seiring air mata yang tumpah.

Mona masih duduk di samping Ipul dengan wajah menunduk, tertutup tangan dan bertumpu pada dua lututnya.

Ipul terlihat bingung, karena Mona yang mendadak menangis. Tidak biasanya, gadis gemuk itu menangis, hanya gara-gara ejekan Ipul. Wajah Ipul pun, kini dipenuhi oleh perasaan bersalah.

"Mon ... maaf, Mon. Aku cuma bercanda. Maaf, ya. Udah, jangan nangis." Ipul berusaha membujuk Mona sambil memijit-mijit lengan besar gadis yang ada di sampingnya.

"Huaaa ... kamu jahat, Pul! Huaaa ... aku lagi sedih, malah dikatain gendut. Huaaa ...!" Tangis Mona bukannya berhenti, tapi malah bertambah keras. Ipul semakin kelimpungan dibuatnya.

"Mon, diem dong, Mon. Aku 'kan udah minta maaf. Aku traktir es krim yuk, Mon," bujuk Ipul.

"Huaaa ... iya deh, Pul. Boleh. Aku memaafkanmu demi semangkuk es krim," sahut Mona di antara isak tangis.

'Hah ... Mona! Tetap saja bakalan luluh dengan semangkuk es krim,’ gumam Ipul dalam hati.

Ipul sudah sangat hafal dengan kelemahan Mona yang satu itu. Dia tidak akan tahan berlama-lama marah pada Ipul, apalagi kalau ditawari atau disodori es krim.

*****

Jodoh Untuk MonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang