Ipul dan Mona adalah dua sosok yang sangat berbeda. Dari postur tubuh saja, sudah sangat mencolok perbedaannya.Mona bertubuh gemuk dengan berat hampir mencapai delapan puluh kilogram dan tinggi seratus lima puluh delapan senti meter. Sedangkan Ipul, mempunyai tubuh kurus dan jangkung, setinggi hampir seratus delapan puluh senti meter. Ipul berkulit sawo matang, berhidung mancung dan berambut agak bergelombang.
Mereka hampir setiap hari bertemu, walau sebentar. Dulu, saat masih satu sekolah dan masih berangkat dan pulang bersama, sudah barang tentu, mereka selalu bertemu. Tetapi sejak lulus, Mona-lah yang selalu menyempatkan diri mampir ke tempat kerja Ipul. Dia selalu mampir, untuk sekedar bercerita atau berceloteh mengenai berbagai hal.
Mona sendiri sudah bekerja di sebuah percetakan. Sedangkan Ipul, menyewa sebuah kios kecil di suatu kawasan yang ramai dekat pasar, dan membuka usaha bengkel motor di sana.
Kebetulan, kios yang disewa Ipul letaknya tidak jauh dari rumah Mona. Dia biasa naik angkot dan turun di halte dekat pasar, tak seberapa jauh dari bengkel Ipul. Karena itulah, setiap pulang kerja, Mona selalu mampir dan ngobrol dengan Ipul. Walaupun, Ipul selalu menanggapinya sambil mengerjakan pekerjaan bengkelnya, tapi Mona sudah cukup senang akan hal itu.
Mona selalu mengomeli Ipul, karena hal-hal kecil. Yang paling sering adalah, karena asbak di sebuah meja kecil, yang penuh dengan puntung rokok dan abunya berserakan. Juga karena kursi di samping meja itu, yang menjadi tempat duduk favorit Mona, kotor dan penuh debu dari abu rokok.
Tapi, Ipul sudah sangat terbiasa dengan hal itu. Dia hanya diam dan tidak pernah menanggapi omelan Mona. Dia hanya menganggapnya seperti kicauan burung kecil yang sedang lapar. Karena Mona akan segera berhenti bicara, ketika Ipul menawarinya untuk membeli cilok atau makanan kecil lainnya, yang biasa lewat di depan bengkel.
Sudah hampir sewindu, mereka berdua bersahabat. Seringkali, mereka keluar bersama untuk sekedar menikmati secangkir kopi sambil masing-masing merangkai cerita, menumpahkan segala beban pikiran.
Tak pernah sedikitpun, ada niatan untuk menjalin kedekatan sebagai sepasang kekasih, di antara keduanya. Karena mereka berdua, masing-masing punya kriteria pasangannya sendiri-sendiri.
Dan masing-masing dari mereka, tidaklah termasuk, pada kriteria pasangan yang diidamkan bagi keduanya. Karena itulah, mereka lebih nyaman menjalani hubungan sebagai sahabat, selama bertahun-tahun.
Suatu saat, Mona pernah bercerita, bahwa seorang teman, pernah menanyakan tentang status hubungannya dengan Ipul. Dan seperti biasa, Mona menjabarkan hubungan mereka, yang tak lebih dari seorang sahabat.
Ipul pun, pernah menaruh hati pada seorang gadis, begitu pula Mona. Dan semuanya, selalu mereka ceritakan satu sama lain.
Seperti juga Mona, kisah cinta Ipul pun tak berujung bahagia. Sang gadis idaman ternyata telah mempunyai tambatan hati. Namun, berbeda dengan Mona, yang segera bisa move on setelah makan es krim dan curhat pada Ipul, tidak begitu dengan Ipul. Ia sempat murung berhari-hari lamanya.
Selama hampir satu bulan, Mona uring-uringan, karena merasa, nasihatnya pada Ipul untuk melupakan kesedihannya, tidak jua berhasil.
Hingga suatu saat, Mona merasa jengkel dan tidak lagi datang menemui Ipul, selama hampir satu minggu. Karena merasa kesepian, Ipul pun mulai ikut touring yang diadakan oleh teman-teman komunitas motor kalong jadul, yang diikutinya.
Sehari dua hari, kesedihan pun berangsur hilang. Dan ketika dia sadar, dia merasa hari-harinya begitu sepi, tanpa ocehan Mona.
Akhirnya, Ipul pun mencari Mona ke rumahnya. Saat tiba di sana, langsung saja dirinya disambut dengan ceramah Mona yang panjang.
Begitulah, hubungan yang terjalin di antara mereka hingga hari ini. Pernah juga, orang tua Mona ataupun Ipul, menanyakan perihal hubungan mereka. Dan seperti biasa, mereka selalu menegaskan, bahwa meraka hanya sahabat.
“Pul! Nasib kita gini amat, ya. Kamu ditolak cewek. Dan aku sendiri, tidak pernah sekali pun dilirik oleh cowok. Nasib kita, benar-benar menyedihkan ya, Pul.” Suatu saat, Mona curhat, sambil memandangi langit malam, yang berhias bulan sabit, di depan bengkel Ipul yang sudah tutup.
“Ya, emang kenapa, Mon? Yang penting 'kan, kamu punya sahabat yang baik kaya aku.” Ipul menjawab datar, sambil ikut memandangi langit.
“Iya sih, Pul. Apa mungkin, kriteria jodoh idamanku terlalu ketinggian ya, Pul. Sehingga, sampai sekarang, aku belum juga ketemu orang yang tepat,” sambung Mona.
“Emang seperti apa sih, kriteria cowok idaman kamu, Mon?”
“Yang ganteng, Pul. Tinggi, hidung mancung. Baik, penyayang.”
“Lho … itu semua 'kan, ciri-cirinya ada padaku, Mon!” pekik Ipul.
“Hush! Ngaco, kamu! Cowok idamanku itu yang ganteng, Pul. Gan-teng. Lha … kamu … nggak ada ganteng-gantengnya, di pandang dari sisi mana pun!” protes Mona.
“Lha … 'kan, masih ada ciri-ciri yang lainnya, Mon. Tinggi, hidung mancung, baik hati, dan penyayang. Iya kan?” Ipul masih mendebat.
“Ah … percuma ngomong sama kamu, Pul! Nggak bakal ngerti, mau-ku seperti apa.”
Ipul hanya melirik Mona dengan wajah masam.
“Lagian, kamu ini suka halu. Mana ada, cowok guantengnya selangit, mau sama cewek tambun kaya gajah?!”
“Biarin! Suka-suka aku, dong! Mau berhalu macam apa, juga,” tukas Mona sengit.
Mereka terus saja berdebat setiap hari, hingga waktu-waktu berlalu. Hari berganti bulan, bulan beganti tahun. Kebersamaan mereka, tetap saja sama. Sebagai sahabat.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/247309160-288-k955193.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Mona
ChickLitPernikahan adalah salah satu impian dari para gadis. Begitu juga dengan Mona. Tapi selalu saja sulit untuk mendapatkan calon pendamping untuk gadis yang mempunyai tubuh tambun seperti Mona. Dia selalu menjadi orang yang tersisih dalam urusan cinta...