Dua - Sahabat

5 0 0
                                    


Ipul berjalan gontai memasuki kamar. Dia segera merebahkan tubuhnya di kasur busa berukuran kecil, yang diletakan di lantai, tanpa ranjang. Kedua tangannya ditekuk dan diletakan di bawah kepala sebagai bantal.

Dari tadi, pikirannya masih dipenuhi dengan perkataan Mona. Dia seperti bisa merasakan kesedihan sahabatnya, yang tadi sempat mengeluarkan air mata. Setahu Ipul, Mona bukanlah gadis cengeng yang mudah menangis.

Bahkan, Ipul masih ingat betul, dahulu, saat mereka masih duduk di SMK, Mona pernah patah hati gara-gara cowok yang diincarnya jadian dengan cewek lain. Kala itu, Mona terlihat sedih, tapi juga tidak sampai menitikan air mata di depannya.

“Pul, aku lagi galau, nih! Bayarin aku makan es krim ya, Pul.” Saat itu Mona hanya merengek untuk ditraktir makan es krim sambil curhat pada Ipul. Sesudahnya, gadis itu pun kembali ceria seperti hari-hari sebelumnya.

Hati Mona sangat polos, dia tidak pernah bisa menyembunyikan perasaan, sekecil apapun pada Ipul. Segalanya selalu diceritakannya pada Ipul. Karena itulah, Mona selalu mengoceh dan tidak pernah kehabisan kata-kata, saat bersama dengan Ipul.

Karakter Ipul yang sedikit pendiam, akhirnya membuat Mona nyaman, karena Ipul bisa menjadi pendengar yang baik, bagi semua cerita yang meluncur dari bibirnya. Yang terkadang adalah hal-hal yang tidak terlalu penting menurut Ipul. Namun, dia tetap saja diam dan mendengarkan celoteh Mona.

Ipul tiba-tiba merasa khawatir dengan Mona. Tapi, dia sendiri juga bingung, tidak tahu, apa yang dikhawatirkannya tentang sahabatnya itu.

Padahal, 'kan bagus, bila Mona bisa segera menikah dengan seseorang yang baik, pilihan keluarganya. Mona bisa membahagiakan kedua orangtuanya di hari tua mereka.

Yang Ipul tahu, dia khawatir tentang kebahagiaan Mona. Dia khawatir Mona tidak bahagia dengan pernikahannya. Baru dilamar saja, sudah sedih seperti itu. Apalagi nanti, ketika benar-benar menikah. Tapi dirinya bisa apa?

Yang bisa dilakukannya saat ini, hanyalah menghibur Mona dan menemaninya setiap saat dirinya dibutuhkan. Ya, itu saja yang saat ini bisa ia lakukan untuk Mona.

Setidaknya, sebelum gadis gembul itu menikah, Ipul ingin memberikan kenangan termanis untuknya.

Ipul dan Mona sudah lama bersahabat. Walaupun mereka adalah teman satu sekolah saat SMP, tapi persahabatan mereka baru terjalin saat mereka sama-sama diterima di SMK yang sama. Ipul mengambil jurusan Teknik Otomotif, sedangkan Mona mengambil Jurusan Multimedia.

Suatu hari, Mona berangkat kesiangan, sehingga dia ketinggalan angkot yang biasa tumpanginya. Nah, saat Mona sedang termenung di pinggir jalan, sambil meratapi nasib sialnya ketinggalan angkot, kebetulan Ipul lewat dengan motor kalong bututnya.

Karena Ipul adalah sosok yang ramah, secara spontan, dirinya langsung berhenti di dekat Mona dan menyapanya.

“Hei, Mon! Ngapain ngelamun di pinggir jalan pagi-pagi?”

“Eh, kamu, Pul! Aku ketinggalan angkot, nih! Aku barengan sama kamu aja, ya.” Tanpa ditawari, Mona langsung bergegas duduk di belakang punggung Ipul. Ipul tidak punya pilihan lain selain meng-iya-kan.

“Ah …, Pul. Untung saja ada kamu. Bisa-bisa aku disuruh squat jump gara-gara telat sampai sekolah. Kamu kok tahu sih, kalo aku lagi berdiri di sana, tadi?” Mona langsung nyerocos panjang lebar.

“Ya tahu dong, Mon. Orang kamu sebesar ga ….” Ipul urung meneruskan kata-katanya. Khawatir tangan besar Mona akan menimpuk punggung kurusnya dari belakang, bila dia menyebutnya seperti gajah.

Uh …, pasti sangat sakit! Ipul meringis membayangkannya.

“Pul, buruan dong, bawa motornya! Di gas yang kencang, gitu. Biar kita nggak telat, Pul. Hari ini, jam pertama gurunya galak, Pul. Aku nggak mau kena omel gara-gara telat masuk kelas.” Mona masih nyerocos sambil mengguncang-guncang pundak Ipul dari belakang.

“Iya, Mon. Iya. Ini motor tua, Mon. Nggak bisa kalau harus dipaksa ngebut macam Vario atau N-Max.” Ipul menjawab dengan perasaan kesal.

‘Ribet amat, nih cewek. Sudah numpang, masih cerewet lagi,’ runtuk Ipul dalam hati.

Pukul tujuh kurang sepuluh menit. Akhirnya, mereka berdua bisa sampai sekolah tanpa terlambat pagi itu. Mona tampak tersenyum lega, saat turun dari motor butut Ipul.

“Makasih baget ya, Pul. Nanti siang, pulang sekolah aku nebeng lagi, ya?” Mona berkata sambil mengembangkan senyuman.

“Apa?!”

‘Haduh … mimpi apa aku semalam. Pagi ini membonceng gadis segede gajah yang terus mengoceh sepanjang jalan, sudah cukup membuatku kesal. Pulangnya masih mau barengan, lagi!’ Ipul mengomel dalam hati sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

“Tapi … aku ….” belum selesai Ipul mengeluarkan alibi, Mona sudah lebih dulu membuat keputusan.

“Ok. Nanti siang aku tunggu di gerbang sekolah ya, Pul. Atau ..., aku susul ke kelas kamu, deh.” Mona masih mengembangkan seulas senyum.

“Eh, nggak usah, Mon. Iya deh, tunggu aja di gerbang sekolah.” Akhirnya, Ipul memberikan persetujuan walaupun dengan hati yang agak dongkol.

‘Huh …, apa kata teman-temanku nanti, kalau sampai Mona menyusul ke kelas. Bisa-bisa, mereka mengolokku jalan dengan gajah, lagi,’ bisik Ipul dalam hati.

Ipul segera berlalu dari hadapan Mona, sebelum ada salah satu teman sekelasnya yang melihat dia mengobrol dengan si gajah. Ipul terlihat berjalan dengan terburu-buru,  bahkan setengah berlari, sambil menuntun motor kalong kesayangannya menuju tempat parkir.

Siangnya, seperti yang sudah disepakati, Mona sudah menunggu di gerbang sekolah. Ipul sengaja keluar paling akhir. Menunggu teman-temannya pulang lebih dahulu, untuk menghindari olok-olok dari mereka, karena dirinya membonceng seorang Mona.

Setibanya di depan gerbang sekolah, Mona sudah menunggu dengan wajah jutek.

“Pul! Kok lama banget sih, keluarnya? Hampir saja aku susul ke kelas kamu tadi. Nggak kasihan apa, ngebiarin aku kepanasan di sini?” Mona sudah menyambutnya dengan omelan panjang.

“Ya nggak papa kan, Mon. Sekali-sekali berjemur.” Ipul menjawab dengan ekspresi datar.

‘Iya, siapa tahu dengan berjemur bisa sedikit kempes. Eh!’ Ipul berkata dalam hati sambil senyum-senyum.

“Eh, ngapain senyum-senyum sendiri? Seneng ya, pulang barengan sama aku?” tanya Mona setengah menyelidik.

“Ih … apaan, sih! Kege’eran kamu!” tukas Ipul.

“Ya, iya-lah. Emang seharusnya kamu seneng pulang bareng aku. Karena habis ini, aku akan mentraktir kamu makan bakso. Sebagai ucapan terima kasihku, karena tadi pagi sudah menyelamatkan aku dari bencana keterlambatan.” Mona berkata sambil duduk di sadel motor, di belakang punggung Ipul.

Motor kalong Ipul terlihat kecil ditumpangi tubuh Mona yang besar. Sebagian jok-nya hampir penuh diduduki Mona. Ipul hanya kebagian duduk sedikit, pada ujung sadel depan.

“Eh, yang bener, Mon!”

“Iya dong, Pul! Ayolah, langsung jalan, ke warung bakso di pojokan dekat lampu merah,” ajak Mona.

“Ok, deh Mon. Berangkat …!” Ipul melajukan motor dengan semangat. Semangkuk bakso dengan bola-bola dagingnya yang lezat, langsung terbayang di pelupuk mata.

‘Wah … ternyata si Mona baik juga,’ kata Ipul dalam hati.

Sejak hari itu, mereka berdua selalu berangkat dan pulang bareng. Hampir setiap hari pula, Ipul pun selalu pulang paling akhir.

Hingga suatu saat, setelah mereka menyelesaikan ujian akhir, Mona sempat beberapa hari pulang lebih dahulu naik angkot. Karena masa pelajaran sudah berakhir, mereka seringkali pulang awal. Sehingga Mona lebih memilih naik angkot, dari pada berlama-lama kepanasan menunggu Ipul di gerbang sekolah.

Beberapa hari, Ipul pulang sendirian tanpa Mona. Dan ternyata, pulang sendiri terasa sepi bagi Ipul. Tidak ada yang berceloteh sepanjang perjalanan. Tidak ada yang mengajaknya mampir makan bakso.

Ah …, ternyata, keberadaan Mona telah memberikan warna tersendiri di hari-hari Ipul. Yang jelas, nggak ada Mona nggak rame!

*****

Jodoh Untuk MonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang