- chapter 2 -

15 3 2
                                    



Once month ago
" Naar lo duluan aja ya, osis di suruh ngumpul nih, katanya ada yang mau dibahas soal acara buat perpisahkan kita, kayanya kelas IX minta yang aneh aneh deh." Mintaku padanya karena mungkin rapat ini ngeluarin banyak waktu karena banyaknya permintaan teman seangkatan soal hari perpisahaan, kan kasihan kalau Naara harus nunggu sendiri.

" Gue tunggu lo di kantin aja ya, soalnya gue laper nih. Lagian gue juga gak mau kalau pulang sendiri, males gak ada temen."

" Yaudah maaf ya, ini gue udah ditunggu. Bye." Aku memeluknya sekilas dan lari menuju ruang osis.

Setelah perdebatan panjang antar panitia kelas dan anggota osis kelas IX, akirnya semua telah ditentukan dengan matang dengan merangkum ide satu dengan ide yang lain.

Aku mencari Naara di kantin sekolah, tapi saat aku berada di pintu masuk aku melihat Naara tak sendirian, dia ditemani sosok laki laki yang mungkin sangat aku kenal, untuk memastikannya aku menghampiri mereka dengan langkah perlahan,

BOOOMMMM.....!!!!

Semuanya hancur, dugaanku benar, penglihatanku masih normal, aku tak salah, dia adalah Dava. Dava yang sama yang membuatku berjuang untuk mendapatkan perhatiannya, dari kejauhan Dava sedang mengacak acak rambut Naara dan mencubit pipi Naara dengan gemas yang menimbulkan suasana romantis diantara mereka. Satu kata yang keluar dari mereka bagai petir yang menyambar untukku, dan dengan jelas aku mendengar Dava berkata, " Sayang,, gimana nanti malam jadi nggak, udah 364 hari kita bangun hubungan ini, dan nanti malam adalah hari anniversary ke 1 tahun kita."

" Emm.. aku ngerasa ini gak adil buat Rain, dia yang berjuang seharusnya dia yang diposisiku."

" Gak adil dimananya sayang, aku gak pernah suruh dia berjuang dan kamu, kamu juga udah memperingati dia agar tidak berharap lebih padaku. Aku memilihmu, bukan dia, ataupun orang lain." Dava memeluk Naara diakhir kalimatnya.

Aku tak sanggup untuk lihat ini lagi, aku tak sanggup untuk dengar lebih dari ini, aku tak sanggup harus menerima kenyataan bodoh seperti ini. Naara temanku, mengapa aku harus percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Ahh.. apa yang baru saja aku pikirkan, aku pasti telah berhalusinasi. Tapi kenapa itu seakan nyata, benar benar terjadi.

Aku mundur dengan langkah perlahan, setiap langkah yang kupijak kebelakang melipat gandakan rasa sakit yang tengah kurasakan. Setelah keluar dari pintu kantin aku berbalik, lari menuju kemanapun kakiku membawaku pergi dari kenyataan ini. Kenyataan yang membuatku hancur melebihi perjuanganku selama bertahun tahun. Kakiku membawaku pulang kerumah, dan melangkah dengan berat menuju ruang piano. Disetiap perjalanannya pun tanpa henti aku menangis dan berlari sekuat tenagaku, walau hanya 2,7 km dari sekolah tapi kenapa ini terasa lebih jauh dari hari biasanya.

Aku beruntung ketika sampai dirumah, papa dan mama sedang keluar jadi aku tak harus berpura pura seolah tidak terjadi apapun padaku dan membohongi mereka bahwa aku sedang baik baik saja. Tepat didepan pintu ruang piano, aku berhenti untuk mengatur nafas dan menetralkan perasaanku. Yang ku rasakan ketika masuk ruangan itu, dingin, senyap, sunyi, kosong, dan hanya piano yang berada ditengah ruangan yang dikelilingi oleh dinding bercat putih, sama seperti itu juga perasaanku saat ini, hampa.

Aku bermain piano dengan nada yang tak beraturan seperti persahabatan yang mereka anggap seperti mainan, persahabatan adalah sebuah pemikiran dan cinta adalah sebuah hati lalu bagaimana rasanya jika hati dan pikiran kalian berkhianat dan merapuhkan untuk membuat tubuh ini sakit.
Persahabatanku atau cinta yang selama ini aku jaga untuk dia yang belum percaya bahwa aku benar mencintainya. Beberapa detik kemudian, aku bingung mengapa aku disini, mengapa aku lebih terluka ketika berada disini. Pikiranku kacau, aku hanya bisa berteriak, menangis dan melukai tubuhku sendiri untuk meluapkan semua sakit hati ini.

Ruangan ini kedap akan suara jadi tak apa aku berteriak sekencang mungkin karena tak akan ada yang dapat mendengarnya dan mengerti rasa sakit yang ku derita.
Tanpa sadar aku tidur di ruangan ini sejak semalam. Saat aku keluar, seluruh ruangan dirumah ini gelap, bahkan masih pada posisi awal sebelum aku berangkat sekolah, jendela dan pintu belum dikunci. Sebenarnya aku ingin langsung kekamar dan tak ingin memedulikan yang lainnya dulu. Tapi tubuhku menolak perintah hatiku dan lebih memilih berjalan menuju saklar lampu dan menghidupkannya, tak lupa juga aku mengunci jendela dan pintu dirumah ini.

Saat menuju kamar tiba tiba aku mendengar nada dering handphoneku tapi tak tau ada dimana. Aku berjalan dengan malas kedepan ruang piano dan ternyata benar handphoneku berada dilantai depan pintu itu. Banyak sekali notifications dan panggilan tak terjawab yang masuk ke dalam benda ajaib itu, salah satunya dari mama yang mengabari bahwa beliau dan papa tidak bisa pulang karna deadline perkerjaan yang sangat banyak di Bandung, jadi akan kembali besok lusa. Dan juga ada pesan yang masuk dari Naara,

From, Naara baboyouu
14.30
Yhak... Rain, lo dimana? Rapatnya kurang lama!!!! ✓✓

15.07
Bahas apa aja sih... lama tauk. Gue tinggal nih'_' ✓✓

15.24
Rain lo rapat dimana sih sebenarnya. Diruang osis udah gak ada orang. Lo ninggalin gue? ✓✓

15.45
Gue tinggal ya, sorry gue takut nunggu sendiri. ✓✓

20.18
Sayang, lo kemana sih, kok rumah lo mati lampu? Nggak mungkinkan lo masih disekolah? ✓✓

23.49
Rain lo baik baik aja kan? Kok rumah lo sepi banget sih, lo tuh kemana?
Rain!! Jawab dong.. ✓✓

Dan masih banyak lagi panggilan Naara dan yang lainnya terabaikan olehku sejak kemarin pulang sekolah sampai hari ini pukul 03.34 pagi. Aku membalas pesan mereka semua dan mengatakan bahwa aku baik baik saja dan untuk Naara aku mengatakan agar dia mengizinkan ke sekolah bahwa aku tak dapat masuk karena acara keluarga, walau sebenarnya itu hanya kebohonganku agar mereka tidak melihat ketika aku rapuh.

Setelah semuanya selesai aku pergi ke kamar dan merapikan segalanya yang berhubungan dengan Dava. Fotonya yang ku ambil secara diam diam atau pun foto saat kami satu kelas dulu juga ada foto kalender yang aku gunting dan aku buat semenarik mungkin yang kutempelkan didinding pengumuman kamarku, namanya yang kuukir menggunakan kain flannel, serta beberapa buku yang kutulis yang menceritakan segalanya tentang Dava.

Dan yang terakhir ada satu bolpoin yang sengaja aku simpan dan menaruhnya dikotak kaca, bolpoin itu adalah pemberian Dava satu satunya untukku, yang saat itu kami selalu bersama setiap ujian untuk menanyakan apakah aku sudah selesai agar jawabanku bisa diconteknya. Tak hanya itu, setiap ujian tak ada lagi yang namanya aku kamu yang ada hanyalah nama RAIN dan DAVA.

Mengingat itu membuatku kembali merasakan rasa sakit yang masih basah dan tak tau apakah akan kering atau tidak, sudah satu hari aku menangis karnanya tapi kenapa ini belum pulih juga. Apa mau hati ini? Tak ingin terlukakan, tapi kenapa terasa sangat sakit. Aku tak ingin terluka terlalu lama, semakin cepat aku berusaha maka semakin cepat pula rasa sakit ini hilang. Aku mengemas segala benda yang berhubungan dengan Dava lalu meletakkan kedalam kardus dan menyimpan semuanya kedalam gudang.

Dan berharap rasa ini juga ikut pergi. Rasa ini akan menghilang. Rasa ini akan mati untuknya. Rasa ini tak akan pernah lagi merasa berharap padanya. Rasa ini tak lagi membuatku berfikir bahwa hidup ini lebih baik tanpa cinta. Karna itu, aku memohon pada-Nya. Tuhan bantu hati ini untuk bangkit, bantu hati ini agar tak pernah lagi merasakan patahnya jatuh cinta dan sakitnya mencintai seseorang. Berikan aku kekuatan Tuhan untuk melalui semuanya.

To Be Continued_

🌧️☔🌧️

Behind The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang