"Maningitis Tuberkulosa stadium tiga."
Wanita paruh baya itu tampak membulatkan kedua matanya, tangannya digunakan untuk menutup mulutnya yang menganga, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang dokter yang berada di hadapannya.
"Bukannya,, seminggu yang lalu masih stadium dua? Kok bisa tiba-tiba jadi stadium tiga?" tanya si wanita paruh baya setelah berada di dalam keheningan kurang lebih tiga menit lamanya.
Dokter di hadapannya tampak tengah menghela nafas prihatin, ia menggelengkan kepalanya pelan.
"Tuhan yang berkehendak Bu, sekuat apapun usaha kami sebagai tim medis, uji lab menyatakan Haruto Watanabe mengalami kenaikan stadium pada penyakitnya yang telah ia derita selama tiga tahun belakangan ini," jelas sang dokter."Kami akan tetap menerima Haruto Watanabe sebagai pasien kami, dan kamipun akan tetap memberikan perawatan khusus untuk para pengidap Maningitis seperti biasanya,"
"Tapi saya tidak bisa menjanjikan seratus persen kesembuhan untuk putra anda. Biasanya pengidap maningitis yang sudah mengalami fase stadium tiga hanya memiliki kemungkinan kecil untuk tetap bertahan."
•••••
Ah, kemungkinan kecil untuk tetap bertahan?
Haruto nggak mau.
Haruto nggak mau.
Haruto masih pengen hidup.
Haruto masih pengen pulang.
Haruto pengen ketemu Wony lagi.
Tapi Haruto capek.
Haruto capek sama semuanya.
•••••
.
"Kenapa sih ada orang yang gampang banget bilang ke semua orang kalo dia tuh lagi depresi?" sungut Wonyoung.
Haruto yang tengah berada di lantai kamar milik Junkyu menatap Wonyoung yang kini tengah duduk di ranjang milik laki-laki bermarga Kim tersebut.
"Emangnya kenapa?" tanya Junkyu yang baru saja membuka pintu kamarnya, di tangan laki-laki itu terdapat sebuah nampan yang berisi tiga gelas minuman yang telah ia siapkan di dapur tadi.
"Ya ngeselin aja gitu. Mereka itu sebenernya caper atau ngejelekin dirinya sendiri?"
"Tanpa sadar, dia nyeritain kelemahannya sendiri. Mereka nyeritain kalo mereka lagi depresi, mereka nggak kuat buat hidup. Nah kalo ada orang jahat yang jadiin itu buat jatohin mereka semua gimana? Aduh, nggak habis pikir gue," kata Wonyoung sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak juga kok," sahut Junkyu sambil menyodorkan segelas minuman yang telah ia buat untuk Wonyoung.
"Semua orang beda-beda, Won. Nggak semuanya punya pikiran kayak lo. Btw, bukannya lo nulis blog juga? Harusnya lo paham sama mereka yang ngungkapin apa yang ada di perasaan mereka lewat tulisannya," jelas Junkyu kemudian tersenyum tipis ke arah Wonyoung.
"Iya sih, tapi kan.."
"Hsttt.. Mungkin lo-nya aja yang belum ngertiin perasaan mereka. Omongan lo emang nggak salah, soalnya kan pake cara kek gitu tuh emang bener-bener nunjukin ke semua orang kalo kita lagi lemah. Tapi ya, nggak ada salahnya kelihatan lemah buat cari siapa yang bener-bener bisa kita percaya ke depannya."
Haruto yang sedari tadi terdiam dengan tangan yang memegang sebuah pena mulai menganggukkan kepalanya.
"Haruto setuju sama Junkyu, tapi Haruto juga setuju sama Wony!" seru Haruto, membuat kedua temannya menoleh ke arah pemuda keturunan Jepang tersebut."Plinplan lo, pilih satu dong!" balas Junkyu berniat untuk meledek Haruto.
Haruto menggelengkan kepalanya keras, "No, No. Haruto setuju sama semuanya.
Tadi kan Junkyu sendiri yang bilang, orang itu beda-beda. Mangkanya Haruto disini juga punya pernyataan yang beda sama kalian, hehe.""Wah apaan tuh?" tanya Wonyoung sembari menyunggingkan senyumannya.
Haruto memamerkan cengirannya.
"Orang yang kayak mereka itu, nggak keren!"
![](https://img.wattpad.com/cover/236096240-288-k66578.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mini Story; FAREWELL | Haruto
Teen Fiction"Haruto cuma nggak mau kalo selalu jadi penghalang, tapi Haruto juga nggak mau kehilangan Wony?" - Watanabe Haruto.