"Gimana di Amerika? Kamu sehat-sehat aja?"
Seorang lelaki paruh baya berusaha membuka percakapan antara dirinya dengan sang anak yang saat ini tengah menyantap makan malamnya.
Haruto melirik sang papa yang baru saja mengatakan kalimat di atas tadi.
Tumben Papa berbicara ketika makan, pikirnya.
"Gitu-gitu aja Pa, nggak ada yang beda."
Sang papa menganggukkan kepalanya, "Kamu ada masalah selama di sana? Mama jaga kamunya bener, kan?" tanya sang papa secara beruntun.
Haruto menggelengkan kepalanya, "Nggak ada masalah yang penting-penting banget kok."
"Kamu jangan banyak pikiran ya Har, inget kamu masih jalanin terapi. Kata dokter kamu nggak boleh setres."
Haruto tersenyum kecil, kemudian menggeser mangkuknya yang masih terlihat penuh.
"Haruto udah kenyang Pa. Haruto pamit ke kamer dulu ya?"
Tanpa menunggu balasan, Haruto pergi menuju kamarnya yang berada di lantai dua, ia meninggalkan sang papa yang masih terdiam di meja makan.
Lelaki paruh baya tersebut menatap punggung anaknya yang perlahan menjauh dengan tatapan sedih.
Ia melihat banyak perubahan drastis yang berada di diri Haruto.
Dimulai dari porsi makannya yang berkurang, tubuhnya yang lebih kurus dari biasanya, serta raut wajah yang semula ceria, secara perlahan berubah menjadi sayu.
Ia hanya mampu berdoa, semoga Tuhan mengembalikkan kebahagiaan milik anak semata wayangnya tersebut.
.
Setibanya di kamar, Haruto meraih buku diary-nya yang terbengkalai di tempat tidur.Ia mengambil pena yang terletak di meja, kemudian mulai menuliskan catatan-catatan yang seharian ini ia simpan di hatinya.
Dia yang pergi, bukan untuk ditangisi.
Presepsi yang dibuat oleh Junkyu tiga tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mini Story; FAREWELL | Haruto
Fiksi Remaja"Haruto cuma nggak mau kalo selalu jadi penghalang, tapi Haruto juga nggak mau kehilangan Wony?" - Watanabe Haruto.