KEMARAHAN DEVIA

9 0 0
                                    

Semua barang habis tak bersisa. Terkena amukan emosi yang sudah memuncak di jantung. Tak bisa lagi menahan, menahun sudah tetap sama. Santai menggelora di wajahmu yang banyak dosa. Panjatan banyak-banyak permohonan maaf pada Yang Kuasa. Tapi beban ini terlalu penuh. Tak lagi sanggup menampung. Sudah kehabisan tempat.

Memandang dengan jengah. Tapi tetap datar. Seolah tak ada salah dan tak pernah merasa bersalah. Perabotan lagi-lagi jadi pelampiasan. Devia sampai pada batas kemarahan telak. Kita sudahi saja!

Diam. Lagi-lagi diam yang bisa diberi. Itu saja tak ada yang lain. Dipandanginya wajah-wajah tak berdosa di samping meja televisi. Pandangan yang begitu polos. Tak mengerti kesah. Yang penting bahagia. Perut terisi sampai begah. Anak-anaknya lagi tempat berhenti. Menata Kembali perabotan yang masih utuh, tetapi tidak dengan hatinya.

Sekarang apalagi yang tersisa. Semua dengan sengaja dibuat susah. Kapan kau buat aku Bahagia? Sedikit saja. Keluhan Devia akan tetap sama. Di ujung langit bersidekap. Menatap cinta yang mengeluh susah. Devia ingin Bahagia.

Adakah kau mengerti. Berbait sudah kutulis kesah ini. Kau hanya memandang biasa seolah tak ada apa-apa. Di mana rasamu selama ini. Aku begitu kacau dan kau diam saja. Diam adalah emas bagimu. Semua kau selesaikan dengan diammu. Adilkah untukku? Tak ada solusi darimu. Hanya hembusan nafsumu yang selalu bergelora. Setiap detik. Itukah hanya maumu? Memberi ruang siksa tak berujung dalam noktah ini? Baiklah jika ini maumu. Aku kan kabulkan dalam kesendirian yang menyiksa. Kau akan baik-baik saja tetapi tidak dengan sukmaku. Pahamkan itu. Kicau Devia dengan menghempas lalu belatinya.

"Mama...pisaunya jatuh." Andi memungut pisau yang dihempaskan Devia.

"Anakku." Devia langsung mengambil pisau dan menyembunyiknnya dibalik tangannya seraya memeluk Andi

"Kenapa pisaunya dilempat, Ma?" Tanya Andi dengan polosnya.

Devia hanya mampu mengelus rambut ikal Andi. Si ganteng nomor tiga. Selalu ingin tahu dengan apa yang dilakukan Devia. Padahal usinya baru lima tahun. Devia meminta Andi untuk Kembali bergabung dengan kedua Abangnya. Si kembar Alby dan Aldy. Tanpa menunggu perinta du kali. Andi langsung menuju sofa. Kedua abangnya tengah asyik memainkan gawai. Free fire menjadi menu hobby anak-anaknya.

Devia cukup memanjakan keempat buah hatinya. Gawai salah satu bentuk kasih sayang yang simple menurutnya. Berkali-kali Ibu mengingatkan agar tak perlu memberikan cucu-cucnya gawai. Apalagi dengan harga yang mahal. Devia tak peduli dengan semua itu. kesibukannya di kantor dan ketidakpedulian suaminya menjadi alasan mengapa Devia begitu memanjakan anak-anaknya yang masih begitu kecil.

Devia menuju box Almaya. Si bungsu perempuan satu-satunya. Masih enam bulan usianya. Sangat miskin belaian orang tua. Netra Devia mengembang. Bulir-bulir tersusun luruh membasuh pipi putihnya. Diangkatnya Almaya. Perlahan dibuainya dengan menimang-nimang. Lelah dan emosinya terkurung perlahan. Melihat senyum Almaya yang mengembang dalam pelukannya. Sejenak melupakan amarahnya yang telah membuncah.

Dilihatnya Dandi, suaminya tengah tertidur santai. Seolah tak terjadi apa-apa. Kemarahannya seperti sampah. Selalu begitu. Tak ada perubahan. Devia merasa lelah. Bosan dengan hal yang itu-itu saja. Semua jalan di tempat. Sampai semuanya berjalan menahun. Tak ada perubahan signifikan yang ditunjukkan suaminya, Dandi.

DI UJUNG HATI MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang