BAGIAN 1

380 16 0
                                    

(Serial ini adalah lanjutan dari serial sebelumnya yaitu Pasukan Alis Kuning)

Seorang pemuda berjalan mondar-mandir di sebuah ruangan yang tertata apik, tepat di depan kursi berukir indah. Wajahnya tampak kusut dengan dahi berkerut. Sesekali terdengar desahannya yang halus. Lalu matanya memandang ke pintu, kemudian kembali duduk di kursi kebesarannya setelah menghela napas panjang.
Tak lama pemuda itu bertepuk dua kali. Maka seorang laki-laki berpakaian kuning seperti seragam prajurit yang berjaga di dekat pintu, menghampiri dengan tergopoh-gopoh.
"Sendika, Gusti Prabu...!" ujar prajurit seraya berlutut memberi hormat.
"Apakah para prajurit yang menjemput Kanjeng Gusti Ayu Larasati telah kembali?" tanya pemuda yang ternyata seorang raja.
"Belum, Gusti Prabu...!" jawab prajurit itu singkat.
"Hm.... Lama sekali mereka. Laporkan segera padaku bila mereka tiba!" ujar pemuda itu.
"Baik, Gusti Prabu!"
"Kau boleh kembali ke tempatmu!"
"Oh, Iya. Ada yang hendak hamba sampaikan..."
"Katakanlah."
"Gusti Panglima Joko Denta telah berangkat bersama pasukannya, Gusti Prabu!" jelas prajurit ini.
"Hm, ya. Dia telah menghadap padaku tadi..."
"Adakah yang lain bisa hamba kerjakan, Gusti Prabu?"
"Tidak. Kau boleh kembali ketempatmu."
"Ampun, Gusti Prabu. Kalau demikian, hamba mohon diri!" sahut prajurit seraya memberi hormat. Lalu dia beringsut ke belakang dan menghilang di balik pintu.
Pemuda yang tak lain Brata Radana menghela napas berat. Hatinya kelihatan susah, dan wajahnya keruh memikirkan sesuatu. Ayu Larasati seharusnya sudah kembali bersama para prajurit yang menjemputnya. Jarak Alas Karang dengan Hutan Kembang Mekar bisa ditempuh setengah hari. Tapi kini telah lebih dari setengah hari. Bahkan sebentar lagi sore akan berganti malam. Namun Ayu Larasati dan para pengawalnya tidak kunjung tiba juga. Jelas ini membuat gelisah Brata Radana. Hatinya terus bertanya, apa gerangan yang telah terjadi...? Brata Radana buru-buru memperbaiki raut wajahnya, ketika prajurit tadi kembali masuk.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak bermaksud mengganggu...!" ucap sang prajurit setelah menyembah hormat.
"Ada apa?" tanya Brata Radana, langsung.
"Pasukan yang berangkat bersama Gusti Panglima Joko Denta telah kembali...."
"Telah kembali? Secepat itukah?!" Brata Radana terkesiap, nyaris bangkit dari duduknya.
"Kelihatannya ada yang tidak beres, Gusti Prabu..."
"Tidak beres bagaimana? Panggilkan Panglima Joko Denta. Dan suruh menghadapku?"
"Itulah, Gusti Prabu.... Gusti Panglima Joko Denta telah tewas...."
"Tewas? Apa maksudmu?!" Sepasang alis mata Brata Radana yang berwarna kuning terangkat ke atas.
Prajurit berseragam kuning itu tidak menjawab. Dan malah kepalanya menunduk.
"Panggil dua orang dari mereka. Dan suruh menghadapku!" perintah Brata Radana dengan suara keras dan bergetar. Ini jelas menandakan hatinya yang gemuruh. Bahkan detak jantungnya cepat serta tidak beraturan. Berita itu benar-benar mengejutkan. Bahkan rasanya sulit dipercaya.
Sementara prajurit tadi sudah menghilang di balik pintu. Tapi tak lama, dia telah kembali bersama dua prajurit. Wajah mereka tampak letih, pucat, serta sedikit ketakutan. Ketiganya kemudian berlutut, memberikan hormat yang dalam.
"Ampun, Gusti Prabu...!"
"Katakan, apa yang telah terjadi?! Apa benar Joko Denta tewas? Siapa pembunuhnya?!" bentak Brata Radana itu dengan wajah tegang dan suara bergetar keras.
"Benar, Gusti Prabu. Beliau tewas ditangan Pendekar Rajawali Sakti...," sahut seorang prajurit.
"Apa?! Tidak mungkin! Joko Denta orang hebat. Ilmu olah kanuragannya tak ada yang menandingi! Mustahil dia tewas di tangan orang itu!" teriak Brata Radana bernada garang.
Ketiga prajurit itu tersentak dengan kepala tetap tertunduk. Sedikit pun tidak ada yang berani mengangkat wajah, diam seribu bahasa.
"Katakan padaku kalau kalian berdusta! Katakan,..! Tidak mungkin hal itu terjadi!" lanjut Brata Radana garang.
Bola mata raja muda itu membulat besar, seperti hendak melompat keluar. Cuping hidungnya kembang-kempis mengikuti irama hela napasnya yang memburu. Mukanya berkerut dan agak tegang. Perasaannya kelihatan betul-betul terpukul dengan berita yang dibawa prajurit-prajurit itu. Tahu-tahu, Brata Radana melompat dari kursi. Lalu, langsung dijambaknya rambut salah seorang prajurit.
"Ayo katakan kalau kalian berdusta! Katakan kalau berita itu tidak benar! Joko Denta tidak mati! Dia masih hidup dan akan membawa kemenangan bagi kita...!" bentak Brata Radana, kalap.
"Aaah...!" keluh prajurit itu tertahan. Wajah prajurit berseragam kuning ini meringis menahan sakit. Namun begitu tidak sedikit pun keluh kesakitan keluar dari mulutnya. Kepalanya tetap menunduk, menerima amarah dan murka junjungannya.
Beberapa saat seperti menyadari kekeliruannya, Brata Radana buru-buru melepaskan cengkeramannya. Dipandanginya prajurit yang masih meringis namun tetap berlutut dan tertunduk. Tatapannya kosong. Dan perlahan-lahan, dia kembali duduk di kursinya semula. Tak seorang pun yang mulai bicara, sehingga untuk sesaat suasana jadi hening.
"Ceritakan padaku, bagaimana peristiwa itu bisa terjadi...?" tanya Brata Radana. Nada suaranya datar. Wajahnya kini tidak setegang tadi.
"Gusti Panglima tengah melakukan perjalanan menuju Kerajaan Swandana. Di tengah perjalanan, ternyata dua prajurit menghampiri dari arah Hutan Kembang Mekar. Kemudian dia dikejar dua penungang kuda yang tidak dikenal..."
Prajurit itu menghentikan ceritanya sejenak. Dipandanginya wajah sang raja muda itu.
"Kami telah sempat menanyakan, sebab Gusti Panglima memerintahkan untuk menangkap kedua orang itu...."
"Kalian tahu, siapa mereka?"
"Setelah berhasil menangkap dan menanyainya, Gusti Panglima membunuh mereka. Keduanya berasal dari Kerajaan Karang Setra...."
"Karang Setra? Lalu apa yang dibawa kedua prajurit yang dikejar?"
"Kanjeng Gusti Ayu Larasati tengah diserang dua puluh orang bersenjata. Salah seorang diantara mereka mengaku sebagai orang terdekat Raja Karang Setra sendiri..."
"Orang terdekat Raja Karang Setra? Kemudian, bagaimana terjadinya sehingga Panglima Joko Denta tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti?"
"Mendengar berita itu, Gusti Panglima membelokkan pasukan dan bermaksud membantu para prajurit yang tengah melindungi Kanjeng Gusti Ayu Larasati dari serangan musuh. Dalam pertempuran itulah Gusti Panglima tewas...."
"Lalu, dari mana datangnya Pendekar Rajawali Sakti itu?"
"Dia tidak lain dari orang terdekat Raja Karang Setra, Gusti Prabu."
"Hm, bagaimana kalian tahu?" tanya pemuda itu dengan wajah kaget.
"Semula kami tidak tahu. Namun beberapa prajurit yang pernah bertugas diperbatasan mengatakannya demikian," jelas prajurit.
Brata Radana terdiam. Wajahnya menengadah ke atas, lalu memandang gerah ke arah prajurit ini. Dadanya gemuruh oleh amarah dan dendam atas pembunuhan yang menimpa Joko Denta. (Untuk jelasnya tentang Panglima Joko Denta, Brata Radana, dan Ayu Larasati, baca episode Pasukan Alis Kuning)
"Hhh, kurang ajar! Dia akan membalas ini semua! Aku bersumpah, akan menuntut balas atas kematian Kakang Joko Denta!" desis Brata Radana dengan wajah geram.
Ketiga prajurit itu terdiam, menunggu perintah selanjutnya. Sementara Brata Radana memandang mereka. Sebenarnya tidak tepat benar kalau matanya tengah memandang mereka. Sebab, pikirannya sendiri tengah diliputi niat dan rencana balas dendam terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana cerita selanjutnya...?" tanya Brata Radana kemudian setelah ingat kalau cerita yang didengarnya belum tuntas.
"Gusti Panglima berhasil mendesak mereka. Namun Pendekar Rajawali Sakti memang cerdik dan tangkas. Meski beberapa panah berhasil melukainya, namun mampu menembus benteng pertahanan dan meloloskan diri setelah membunuh banyak prajurit kita...."
"Goblok...!" maki Brata Radana dengan tangan kanan terkepal dan menghantam meja di dekatnya.
Prakkk!
Meja kecil itu kontan hancur berantakan. Buah-buahan serta wadah yang berada diatasnya langsung bergulir dan berserakan. Sedangkan prajurit yang berada didekatnya buru-buru membereskannya.
"Kami telah berusaha dengan sekuat tenaga, Gusti Prabu..," lanjut prajurit yang menjadi lawan bicara Brata Radana. Suaranya lirih dan bergetar. Wajahnya sedikit pucat, dan kelihatan amat ketakutan melihat rajanya tengah murka.
Brata Radana sendiri terlihat menarik napas panjang dan berusaha meredam amarahnya. Dipandanginya kembali prajurit itu. "Kalian tidak berusaha mengejarnya?" cecar Brata Radana. Kali ini nada bicaranya ditekan sedemikian rupa, untuk menghilangkan nada amarahnya.
"Kami kira itu percuma saja, Gusti Prabu, Karena kami menduga mereka tengah menanti bala bantuan. Bila dikejar, dikhawatirkan mereka akan mengepung dan membinasakan semua pasukan."
"Hm, ya. Tidak kusalahkan keputusan kalian. Bagaimana dengan adikku?"
"Mereka berhasil menangkapnya, sebelum Gusti Panglima tiba ditempat itu."
"Hm...," Brata Radana hanya menggumam.
Kembali pemuda tampan ini menarik napas panjang untuk menekan hawa amarah yang menyesakkan dada. Setelah beberapa saat, dan amarahnya terasa tidak begitu menyesak lagi, kembali ditatapnya si prajurit.
"Berapa jumlah prajurit yang tewas?"
"Lebih dua puluh lima orang, Gusti Prabu!"
"Sudah kalian kebumikan?"
"Belum, Gusti Prabu. Kami menunggu perintah selanjutnya."
"Baiklah. Aku sendiri yang akan memimpin upacara pemakaman mereka. Siapkan segala sesuatunya. Dan kumpulkan para prajurit pilihan. Malam ini juga akan kita adakan upacara pemakaman. Dan setelah itu ikutlah denganku, karena banyak hal yang akan kubicarakan!"
"Baik, Gusti Prabu! Segala titah akan hamba laksanakan sebaik-baiknya!"
"Hm.... Kalau begitu, kalian boleh kerjakan sekarang juga!"
"Kami pamit mundur, Gusti Prabu!"
Brata Radana mengangguk. Ketiga prajurit itu membungkuk hormat, lalu beringsut kebelakang dan menghilang di balik pintu. Kini diruangan ini hanya ada Brata Radana yang kembali menghela napas panjang.
"Pendekar Rajawali Sakti...?" gumam pemuda itu pelan. Namun begitu terasa ada hawa dendam dari kata-kata Brata Radana. Sepasang matanya menatap kosong, namun penuh api amarah yang menyala-nyala!

***

Brata Radana menatap kelima prajuritnya lekat-lekat. Selama ini, mereka bisa dipercaya dan dapat diandalkan. Keberanian serta ketrampilan telah ter uji dimedan pertempuran.
"Kalian mengerti apa yang kukatakan?" tanya Brata Radana berusaha memastikan.
"Hamba mengerti, Gusti Prabu!" sahut salah seorang, dan diikuti yang lain.
"Panglima Joko Denta telah tewas. Maka kalian berlima akan menggantikannya. Aku percaya penuh pada kehebatan serta kesetiaan yang kalian miliki. Kerajaan ini akan tetap berdiri. Oleh sebab itu, kematian seseorang tidak akan menghalang niat kita. Kerjakanlah apa yang kukatakan tadi!"
"Segala titah Paduka akan kami junjung tinggi dan laksanakan sebaik mungkin!" sahut kelima prajurit itu cepat.
"Sekarang juga kalian boleh berangkat!"
"Baik, Gusti Prabu!"
Setelah memberi sembah hormat, kelima prajurit dari Pasukan Alis Kuning bergegas meninggalkan ruangan ini. Brata Radana menyeringai kecil. Masih terlihat senyum sinisnya, membayangkan selalu dengan wajah geram. Belum juga senyumnya hilang, seorang prajurit masuk. Dia segera menyembah hormat.
"Ampun, Gusti Prabu! Maafkan kelancangan hamba...!" ucap prajurit itu.
"Apa yang kau bawa?" tanya Brata Radana, langsung.
"Seorang utusan membawa surat ini untuk Paduka!" sahut prajurit bertubuh kurus, mengusungkan segulung kulit tipis.
"Utusan dari mana?" tanya Brata Radana setelah menerima surat itu.
"Dari Karang Setra...."
"Dari Karang Setra? Malam-malam begini...?" Brata Radana mengerutkan dahi.
"Benar, Gusti Prabu!" Pemuda itu terdiam barang sesaat.
"Suruh dia masuk!" lanjut Brata Radana.
"Baik, Paduka!"
Sementara prajurit itu berlalu, Brata Radana membaca isi surat. Wajahnya berkerut. Sepasang matanya tampak membesar, dengan napasnya terasa kasar. Hatinya betul-betul panas dan marah. Namun begitu, dia berusaha menenangkan diri.
"Gusti Prabu...!"
Prajurit bertubuh kurus tadi sudah kembali bersama seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan berpakaian biasa. Orang itu memberi hormat, lalu memperkenalkan diri.
"Nama hamba Sutaji. Hamba utusan Gusti Prabu Rangga Pati Permadi dari Kerajaan Karang Setra!"
"Aku telah baca surat rajamu. Dan rasanya permintaan itu wajar saja. Kami negeri yang cinta perdamaian. Oleh sebab itu katakan pada rajamu bahwa tuntutannya akan kupenuhi!"
"Kanjeng Gusti Prabu Rangga Pati Permadi pasti akan senang menerima berita ini, dan menghormati Paduka Yang Mulia. Lalu, kapan permintaan beliau dipenuhi?"
"Bila permintaan kami pun telah dipenuh pula."
"Apa gerangan permintaan Paduka?"
"Aku ingin pula adikku Ayu Larasati serta para prajurit lainnya yang baru saja ditangkap malam ini. Lepaskan mereka, dan pulangkan kembali ke Kerajaan Alas Karang!"
"Permintaan Paduka memang tidak setimpal. Namun hamba adalah utusan, sekaligus wakil Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Beliau mengizinkan hamba mengambil keputusan sendiri, bila dianggap tepat. Oleh sebab itu, hamba terima usul Paduka tadi. Sekarang juga, di perbatasan Kerajaan Karang Setra kita adakan tukar-menukar tawanan!"
"Sekarang juga? Apakah kalian membawa adikku Ayu Larasati serta para prajuritku?" tanya Brata Radana, agak terperanjat.
"Gusti Prabu Rangga Pati Permadi telah menyiapkannya. Beliau telah memperhitungan hal ini sebelumnya sehingga hamba tidak merasa kaget".
"Hm.... Rajamu orang yang pintar!"
"Hamba rasa tidak ada lagi yang hamba bawa, selain berita itu. Bila demikian, dan Paduka telah mencapai kata sepakat, maka hamba mohon diri!"
"Baiklah, Sutaji. Katakan pada rajamu. Aku menghargai keputusannya. Dan sampaikan pula salamku padanya, bahwa aku berhasrat menjalin persahabatan dengan Kerajaan Karang Setra!"
"Keinginan Paduka akan hamba sampaikan." Setelah berkata demikian, Sutaji segera mohon diri.
Sementara Brata Radana memberi isyarat dengan tepuk tangan dua kali, setelah utusan itu berlalu. Seorang prajurit masuk dan menyembah hormat.
"Hamba Kanjeng Gusti Prabu...!"
"Siapkan beberapa prajurit pilihan. Dan pergilah kalian mengawasi perbatasan wilayah kita dengan Karang Setra. Awasi tempat itu dari tempat persembunyian. Kemudian utus dua prajurit ke ruang tahanan dan bebaskan gadis bernama Pandan Wangi. Kawal dia dengan ketat!"
"Segala titah akan hamba kerjakan sebaik mungkin...!"
"Bagus! Ingat, jangan perlihatkan kehadiran kalian pada orang lain! Di sana ada prajurit Karang Setra!"
"Baik, Gusti Prabu."
"Nah, pergilah. Cepat laksanakan perintahku!"
Prajurit itu kembali menyembah hormat, lalu bergegas meninggalkan ruangan ini. Baru saja prajurit berlalu, Brata Radana bangkit menuju kamarnya. Pemuda itu tertegun memandang sebilah pedang yang tergantung di dinding ruangan kamarnya. Batangnya bagus dan berukir indah dengan warna keemasan. Demikian pula warangkanya yang agak melengkung.
Trap!
Sring!
Kedua tangan Brata Radana menggapai senjata itu. Tangan kanan mencengkeram gagang pedang, dan tangan kiri menggenggam warangkanya. Sejenak diamatinya dengan seksama. Lalu secepat kilat dicabutnya senjata itu. Seberkas cahaya merah menerpa mukanya yang terpancar dari batang pedang.
Brata Radana menyeringai. Dan bias wajahnya nampak menggiriskan. Kemudian pedang itu kembali disarungkan, lalu bergegas keluar kamar dengan langkah lebar. Pedangnya terus tergenggam ditangan kiri.

***

159. Pendekar Rajawali Sakti : Neraka KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang