Sejak tadi Brata Radana mondar-mandir tak karuan. Wajahnya keruh dengan kedua tangan terkepal berkali-kali seraya menyumpah-nyumpah tidak karuan.
"Keparat! Kurang ajar...!"
"Sudah! Tak ada gunanya memaki segala. Sekarang yang lebih baik adalah, menyusun rencana secepatnya dan mempertahankan diri dari serangan mereka...," ujar Ayu Larasati datar.
"Kenapa bisa begini?! Aku telah menyusun rencana serapi mungkin!" kata Brata Radana, seperti berkata pada diri sendiri.
"Kakang kurang teliti dan tidak cepat tanggap. Cepat puas dengan hasil yang diperoleh, tanpa menyadari kalau lawan mampu membalas dengan perhitungan lebih baik..."
Brata Radana terdiam seraya menghempaskan diri di kursi.
"Bukankah aku telah memperingatkan? Raja Karang Setra itu tidak bisa dipandang enteng. Tapi kau tidak mengindahkannya. Dan... beginilah jadinya," kata Ayu Larasati, menyudutkan kakaknya.
"Tidak usah menyesali, Ayu Larasati! Yang kita butuhkan saat ini adalah siasat untuk memukul mereka!"
"Aku tidak tahu...," sahut gadis itu datar, lalu duduk di dekat kakaknya.
Brata Radana menghela napas panjang. Lalu tangannya menepuk. Tak lama, seorang pengawal muncul dan menyembah hormat.
"Ampun, Gusti Prabu...!"
"Sudahkah para panglima menyiapkan segala sesuatunya?"
"Sudah, Gusti Prabu. Pertahanan kita cukup kuat. Dan disetiap sudut kerajaan rasanya sulit ditembus musuh dari mana pun!"
"Bagus! Siapkan kuda. Aku akan berangkat sekarang juga!"
"Baik, Gusti Prabu!"
Pengawal itu menjura hormat, lalu tubuhnya berbalik. Sedang Brata Radana sendiri menghela napas kembali, seraya mondar-mandir di ruangan ini. Sementara Ayu Larasati hanya diam memperhatikan. Juga saat pemuda itu masuk ke dalam kamar dan keluar membawa pedang kebanggaannya.
"Aku berangkat sekarang...," pamit Brata Radana seraya memandang adik perempuannya sejenak.
"Aku akan menyusul secepatnya, Kakang.... ujar Ayu Larasati.
Brata Radana mengangguk, lalu melangkah lebar keluar ruangan.***
Di halaman depan istana telah menunggu beberapa prajurit Alas Karang bersenjata lengkap, tampak seekor kuda kebesaran persis berada di depan pintu. Brata Radana melompat, lalu menatap jauh ke depan. Matahari akan tenggelam. Dan sinarnya yang kemerahan menyapu seluruh permukaan bumi. Dihelanya napas panjang.
"Bagaimana laporanmu, Gandara...?" tanya Brata Radana datar.
Seorang bertubuh tegap seketika menjura hormat. "Semuanya baik, Gusti Prabu!"
"Menurutmu mereka akan menyerang malam ini?"
Gandara mengangguk.
"Mata-mata kita melaporkan, bahwa Karang Setra dan Swandana telah mempersiapkan pasukannya...."
"Hm.... Kau bisa menentukan atau menduga jalan mana yang mereka tempuh untuk menyerang kita?" tanya Brata Radana.
"Kemungkinan bila mereka melakukan serangan malam hari, maka dengan cara menyusup lewat celah-celah pebukitan...."
"Nah! Jagalah seketat mungkin daerah-daerah itu! Bunuh siapa saja orang asing yang tidak kenal!" ujar Brata Radana, mantap.
"Baik!"
"Bagaimana dengan penjagaan di tempat lain?"
"Kami bekerja sebaik mungkin, Gusti Prabu sahut Gandara.
"Bagus!"
"Gusti Prabu bisa memeriksanya sekarang juga!"
"Ya!"
Bersama para punggawa kerajaan, Brata Radana mengendarai kuda, memeriksa persiapan pasukannya. Setelah kejadian bersama prajurit-prajurit Karang Setra beberapa waktu lalu, maka saat itu dia diuji kembali. Pasukan yang ditempanya dengan keras, akan membuktikan ketangguhan mereka menghadapi dua gempuran sekaligus.
Baru saja mereka berjalan kurang lebih dua puluh tombak, mendadak terjadi keributan dari jalan utama menuju istana kerajaan. Orang-orang kelihatan kalang kabut. Sementara para prajurit Kerajaan Alas Karang dibuat bingung, karena tidak tahu harus berbuat apa. Sedang keributan terus terjadi.
"Kurang ajar! Ada apa...?!" bentak Brata Radana geram.
Baru saja Gandara hendak memeriksa apa yang terjadi, mendadak seorang prajurit menggebah kudanya dengan kencang menghampiri mereka dari arah berlawanan.
"Ampun, Gusti Prabu! Hamba membawa berita buruk...!" ujar prajurit yang baru datang setelah melompat dan seketika menjura hormat.
"Lekas katakana! Berita apa yang kau bawa?!"
"Sekawanan kerbau berbondong-bondong memasuki jalan utama, menuju istana kerajaan. Di belakang mereka, terlihat pasukan musuh!"
"Bedebah!" maki Brata Radana geram. Pemuda penguasa Alas Karang itu sama sekali tidak menduga kalau musuh mempunyai akal secerdik itu. Dengan bantuan kawanan kerbau, mereka menyerang lewat jalan utama untuk menghindari korban lebih banyak. Dengan begitu, semangat pasukan mereka akan tetap menyala-nyala.
"Siagakan pasukan! Dan hadapi mereka! Tarik sebagian pasukan yang menjaga di celah-celah bukit untuk membantu disini!" perintah Brata Radana.
"Baik, Paduka!"
Gandara segera memberi perintah pada anak buahnya. Dan untuk sesaat, mereka kelihatan sibuk membenahi pertahanan. Namun sebelum segala sesuatunya berjalan, kawanan kerbau dikatakan tadi telah memasuki wilayah Alas Karang.
"Heaaa...!"
Rangga yang memimpin pasukan berada di depan. Di belakangnya mengikuti sekitar seratus prajurit Karang Setra yang bercampur dengan ratusan prajurit Swandana.
"Suruh menyingkir para perempuan dan anak-anak. Juga penduduk yang tidak ikut berperang! Tapi bunuh saja mereka yang coba-coba melawan kita!" teriak Rangga ketika mulai memasuki perkampungan.
Sekitar dua puluh prajurit berpisah dari pasukan induknya untuk menjalankan perintah Raja Karang Setra. Sementara, Rangga dan yang lain meneruskan perjalanan memasuki ibukota kerajaan sambil menggiring kawanan kerbau di depan.
"Pasukan pemanah! Kalian boleh berpencar sekarang juga!" perintah Rangga kembali, ketika mulai mendekari sasaran.
"Siap!"
Seketika tiga puluh pasukan pemanah segera memisahkan diri, dan mencari tempat yang tepat untuk melancarkan serangan. Sedang saat itu, dari pasukan Kerajaan Alas Karang telah siap menghadang.
"Bunuh hewan-hewan celaka itu! Takut-takuti mereka agar berpencar...!" teriak Gandara yang berpangkat panglima.
Maka seketika itu juga, pasukan pemanah menghujani anak panah berapi ke arah kawanan kerbau. Dalam waktu singkat, kawanan kerbau itu terkejut dan lari cerai-berai. Dan ini membuat pasukan Rangga terkejut. Namun pemuda itu cepat bertindak.
"Berikan isyarat agar pasukan yang berada di celah-celah bukit segera turun!"
"Baik!"
Salah seorang prajurit Karang Setra mengeluarkan sebuah serunai dari rumah kerang laut berukuran besar. Lalu meniupnya. Suara yang keluar dari benda itu membuat pasukan musuh tersentak. Dan kembali mereka dibuat kaget, ketika dari arah belakang terdengar derap langkah pasukan yang berjumlah banyak mengepung istana Kerajaan Alas Karang. Bersamaan dengan itu, Rangga langsung memulai pertempuran dengan menyerang lebih dulu.
"Heaaa...!"
Pertempuran memang tidak dapat dihindarkan lagi. Jumlah pasukan Alas Karang memang lebih sedikit. Namun begitu, mereka terdiri dari prajurit-prajurit pilihan yang telah digembleng ilmu peperangan dengan keras, sehingga menghasilkan prajurit-prajurit tangguh. Dan agaknya, Rangga telah memperhitungkannya. Dan dia menggunakan siasat untuk menjatuhkan semangat mereka. Buktinya gebrakan itu sedikit membawa hasil.
Kini setelah mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti, Pendekar Rajawali Sakti mulai memporak-porandakan prajurit-prajurit Alas Karang. Dalam waktu singkat, belasan prajurit tewas di tangannya Dan itu membuat nyali prajurit musuh menjadi ciut. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak berhenti sampai di situ. Dia terus menyerang ganas. Tindakan Rangga membuat semangat prajurit-prajuritnya berkobar-kobar.
"Pendekar Rajawali Sakti! Akulah lawanmu!" Tiba-tiba terdengar satu teriakan menggelegar.
Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Dan tidak jauh dari situ tampak berdiri tegak orang yang tadi membentaknya. Dialah Brata Radana, dengan pedang di tangan! Batang pedangnya memancarkan warna merah, seperti nyala api. Bahkan begitu menyolok mata di malam hari begini.
Dengan langkah lebar Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Langkahnya berhenti setelah berjarak lima tombak di hadapan Brata Radana. Rangga kini berdiri tegak, menatap tajam kearah penguasa Alas Karang itu.
"Hari ini akan kita akhiri semuanya. Kau atau aku yang binasa!" desis Brata Radana dingin.
"Dan kaulah orangnya!" balas Rangga.
"Huh, banyak mulut! Aku sudah tak sabar ingin memotes lehermu!" dengus Brata Radana.
Bersamaan dengan itu, telapak kiri Brata Radana menghentak ke depan. Maka dari telapaknya yang terbuka, selarik sinar bercahaya merah melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun secepat kilat Rangga melenting ke atas, lalu berputaran beberapa kali.
"Hm.... Aji 'Cakar Langit! Kalau begitu kau murid Ki Satya Ning Wilwatika!" gumam Rangga, begitu kakinya mendarat di tanah.
"Bagus! Agaknya kau kenal juga guruku. Maka kau akan tahu bahwa Brata Radana akan membinasakanmu hari ini!"
Begitu melihat ajiannya luput, Brata Radana langsung berkelebat sambil mengayunkan pedangnya yang berkobar bagai api!
"Yeaaat!"
"Huh! Kau tidak pantas menjadi murid orang tua suci itu. Beliau welas asih dan bijaksana bagai dewa. Sedang kau berjiwa iblis!"
"Keparat! Mampus kau...!" bentak Brata Radana sambil mengebutkan pedangnya.
Wung!
"Uts!" Rangga cepat melompat mundur, menghindarinya.
Brata Radana betul-betul dikuasai nafsu amarahnya, sehingga langsung mengerahkan segenap kemampuan untuk membinasakan Pendekar Rajawali Sakti secepat mungkin. Namun sesungguhnya dia tidak menyadari bila hal itu amat merugikannya. Sebab lawan seperti Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan. Rangga akan mempelajari jurus-jurus lawan terlebih dulu dan terus menghindar meski kerepotan. Namun bila telah menemukan titik kelemahannya, maka saat itulah akan menyerang sehebat-hebatnya.
Dan yang terlihat saat ini memang demikian. Meski terdesak hebat saat menghindar serangan- serangan, namun Rangga terus bertahan dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Kemudian setelah dirasakannya cukup, dia mulai balas menyerang. Pedangnya berkelebat cepat menyambar-nyambar ke arah Brata Radana.
Trang! Trang!
Terdengar bunyi cukup keras, ketika kedua senjata itu berbenturan. Rangga tidak terlalu terkejut. Disadari, pedang yang digunakan Brata Radana bukanlah senjata sembarangan.
"Heaaat...!"
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Dan perlahan-lahan, terlihat Brata Radana mulai kerepotan. Dia merasakan kalau semangat bertarungnya mendadak lenyap. Jiwanya terasa seperti terpecah-pecah, tanpa mengerti harus berbuat apa. Sedikit demi sedikit, dia mulai terdesak hebat. Meski begitu, Brata Radana masih terus mengumbar aji 'Cakar Langit' untuk balas menyerang. Namun, Pendekar Rajawali Sakti selalu mampu menghindarinya.
"Hiyaaat!"
Mendadak Rangga mencelat keatas. Lalu ketika tubuhnya meluruk digunakannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Seketika tangan kanannya yang telah berubah merah membara dihentakkan ke arah Brata Radana. Maka seketika itu selarik sinar merah meluruk deras ke arah Brata Radana, Raja Alas Karang itu terkesiap, dan cepat melompat untuk menghindari. Tapi baru saja melompat, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah cepat menyambar punggung Brata Radana.
Cras...!
"Aaakh...!"
Pedang Pendekar Rajawali Sakti merobek punggung kanan Brata Radana yang kontan memekik kesakitan. Seketika rasa nyeri bercampur hawa panas menyengat sampai ke tulang sumsumnya.
Wut! Wut!
Sementara Rangga tak memberi kesempatan sedikit pun. Pedangnya bergerak amat cepat, membingungkan Brata Radana yang terus menghindar dengan bergulingan dan berusaha menangkis sebisanya. Namun, saat Brata Radana berusaha bangkit, satu tendangan keras menghantam perut.
Des!
"Augh!"
Kemudian disusul cepat dengan tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti yang menyambar jantung.
Bret!
"Aaa...!" Brata Radana memekik setinggi langit, ketika tubuhnya terhempas ke belakang sambil terhuyung-huyung.
"K... Kau... Ohhh!"
Brata Radana masih sempat menuding dengan tangan kanan, sementara tangan kiri mendekap jantungnya. Kemudian dia roboh bermandikan darah.
"Brata Radana telah mati! Raja Alas Karang itu telah mati..:!" teriak seorang prajurit Karang Setra.
"Heh?!"
Berita itu amat mengejutkan pasukan Alas Karang. Mereka yang tadi mati-matian mempertahankan diri, kini semangatnya kian kendor mendengar berita itu. Meski begitu, sebagian dari mereka ada yang tidak percaya dan meneruskan perlawanan.
"Brata Radana telah mati...!" teriak para prajurit Karang Setra dan para prajurit Swandana.
Bersamaan beberapa orang prajurit lain, mereka mengangkat mayat Brata Radana yang bersimbah darah tinggi-tinggi. Sehingga yang lainnya bisa melihat.
Setelah melihat bahwa berita itu benar, maka satu persatu pasukan Alas Karang melempar senjata tanda menyerah. Tak ada gunanya lagi melakukan perlawanan jika Raja Alas Karang itu binasa.
Namun begitu sebagian kecil prajurit musuh ada yang melarikan diri dengan menerobos pertahanan. Sementara pasukan yang dipimpin Rangga bermaksud mengejarnya. Namun, pemuda itu buru-buru mencegahnya.
"Biarkan saja. Tidak usah dikejar!"
"Tapi jumlah mereka cukup banyak juga, Gusti Prabu!" sahut salah seorang kepala pasukan.
"Berapa?"
"Sekitar dua puluh lima orang!"
"Dan mereka dipimpin adik perempuan Brata Radana!" sambung seorang prajurit yang lain.
"Tidak apa. Biarkan saja. Bereskan keadaan disini. Dan jaga tawanan baik-baik. Sebab, aku akan ke istana mereka!"
"Baik, Gusti Prabu!"
"Oya. Jangan lupa! Utus beberapa prajurit menemui Prabu Sri Rajagatna dan beritahu tentang kemenangan kita! Dan bila beliau berkenan, silakan datang kesini!"
"Baik...!"
Setelah prajurit itu menjalankan perintahnya, Rangga bergegas ke Istana Alas Karang yang telah tak berpenghuni lagi. Tampak beberapa prajurit mengikutinya dari belakang.***
Sementara tidak jauh di antara perbukitan yang mengelilingi Alas Karang, berdiri beberapa sosok tubuh memperhatikan dari kejauhan. Salah seorang bertubuh ramping berambut panjang. Dia berdiri tegak di atas sebongkah batu besar. Matanya seperti tak berkedip, memandang jauh ke bawah. Dan sesekali angin semilir mengibarkan helai-helai rambutnya.
"Sudahlah, Gusti Ayu. Kita masih punya kesempatan lain untuk meneruskan cita-cita Gusti Brata Radana...," ujar salah seorang seraya mendekati gadis yang tak lain Ayu Larasati.
Ayu Larasati menoleh. Tampak seorang laki- laki berusia lima puluh tahun bertubuh sedang berdiri di belakangnya. Dia kembali melengos dan memandang ke bawah, seraya mengusap beberapa tetes airmata yang mulai membasahi pipi.
"Bukan itu yang kusesali, Paman Widura...."
"Kita telah berusaha sekuat tenaga. Tapi, apa daya? Sebab lawan demikian kuat dan cerdik...."
"Kakang Brata Radana terlalu dibuai keberhasilannya, sehingga lupa kalau lawan mampu melihat sudut-sudut kecil kelemahannya..."
"Brata Radana memang cerdas. Tapi dia punya batas. Kita tidak bisa menyalahkannya...."
"Memang.... Tapi telah berkali-kali kuingatkan. Namun tidak di indahkannya. Dia selalu curiga dan marah, karena menganggap aku membesar-besarkan kemampuan lawan. Akibatnya, seperti ini...."
Mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang...?"
Ayu Larasati berbalik, lalu memandang Paman Widura lekat-lekat.
"Paman! Pergilah dan kembali ke tempat kalian masing-masing. Hiduplah dengan tenang, tanpa membawa persoalan-persoalan rumit!"
"Apakah kau tidak berniat meneruskan rencana Brata Radana?"
Gadis itu menggeleng disertai senyum kecil.
"Tidak. Selama ini, aku hanya mendukung rencananya. Kini dia telah tewas. Maka aku akan menentukan jalan hidupku sendiri. Aku akan pergi ke suatu tempat atau ke mana saja kakiku melangkah. Aku akan hidup tenang, tanpa persoalan-persoalan seperti dulu..." ucap gadis itu lirih. Paman Widura terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk lemah.
"Baiklah. Kalau begitu kemauanmu, kita berpisah di sini...."
Ayu Larasati mengangguk. "Katakan pada yang lainnya, Paman," tambah gadis itu.
"Baik!"
Ayu Larasati hanya memperhatikan langkah kaki Paman Widura menghampiri kawan-kawannya. Mereka berunding, dan terlihat terkejut. Dan tatkala memandang padanya, Ayu Larasati tersenyum sambil mengangguk. Pelan-pelan mereka menghampiri dan memberi penghormatan.
Ayu Larasati membalas hormat. Kemudian mereka satu persatu meninggalkannya. Itu adalah penghormatan terakhir dari mereka yang mungkin diterimanya. Dia mendesah pelan, dan masih tetap tegak berdiri di tempatnya semula. Pebukitan itu terasa sunyi. Dan saat angin bertiup, beberapa helai rambutnya berkibar-kibar.***
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
159. Pendekar Rajawali Sakti : Neraka Kematian
ActionSerial ke 159. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.