BAGIAN 2

226 11 1
                                    

Malam ini sebenarnya suasana tampak pekat Awan tampak menggumpal di angkasa, menghalangi cahaya bulan. Namun begitu di padang penuh rumput yang merupakan wilayah perbatasa Kerajaan Karang Setra kelihatan terang benderang. Dalam kilatan nyala obor-obor yang dibawa, tampak lebih dari tiga puluh penunggang kuda berbaris rapi.
Sementara dari kejauhan, tepat di hadapan tiga puluh penunggang kuda itu terlihat cahaya serupa. Perlahan-lahan cahaya itu bergerak mendekati. Dan pada jarak pandang, terlihat sejumlah pasukan berkuda yang cukup banyak dengan obor sebagai penerangan.
Pasukan berkuda yang baru datang itu berhenti pada jarak lima belas langkah. Kemudian dari barisan berkuda itu, seorang pemuda yang berada di barisan depan melangkahkan kudanya beberapa tindak ke depan. Matanya menatap ke depan, tepat ke sepasang mata seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
"Kaukah Rangga Pati Permadi, Raja Karang Setra?" tanya pemuda beralis kuning itu. Entah kenapa pemuda beralis kuning itu menduga demikian. Padahal orang yang diajaknya bicara berpakaian sebagaimana layaknya orang-orang persilatan.
Sementara pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dingin. Bahkan sorot matanya seperti berusaha menentang tatapan tajam pemuda beralis kuning itu. Memang setelah menjalani pengobatan sekian lama, Pendekar Rajawali Sakti telah sembuh kembali. Dan luka-lukanya didapat setelah diserang pasukan Alis Kuning itu, beberapa waktu lalu.
"Aku mewakili Raja Karang Setra!" sahut Rangga lantang.
"Kalau demikian, panggillah rajamu. Sebab, aku hanya berurusan dengannya!" ujar pemuda beralis kuning.
"Kaukah Brata Radana?" tanya Rangga, tanpa memperdulikan kata-kata lawan bicaranya.
"Benar. Aku Brata Radana, penguasa Kerajaan Alas Karang!"
"Kalau begitu, aku pun hanya berurusan dengan Brata Radana yang telah menawan seorang rakyat Karang Setra. Tiada kesalahan yang diperbuat dan tidak ada urusan dengan kalian. Lantas kenapa kalian menangkapnya?" balas Rangga, kalem.
Mendengar kata-kata lawan bicaranya, sadarlah pemuda beralis kuning yang ternyata Brata Radana bahwa yang dihadapi adalah Raja Karang Setra.
"Kisanak! Pertemuan ini atas undanganmu. Dan dengan maksud baik pula aku datang. Maka langsung saja pada tujuan semula," sahut Brata Radana, seraya memberi isyarat pada salah seorang prajuritnya.
Tidak berapa lama, dua prajurit beralis kuning maju kedepan, bersama seorang gadis berbaju biru yang kedua tangannya terikat ke belakang.
"Ini tawanan yang kau inginkan! Perlihatkan tawanan kalian...!" pinta Brata Radana agak keras.
Rangga kemudian memberi isyarat pula. Dan tidak berapa lama, lima prajurit maju kedepan bersama seorang gadis berbaju kuning yang berjalan bebas tanpa terikat di kedua tangannya.
"Kau lihat? Aku memperlakukan tawanan dengan cara lebih bijaksana!" kata Rangga menyindir.
Brata Radana betul-betul tersindir. Maka buru-buru prajuritnya disuruh melepas ikatan gadis berbaju biru yang tak lain Pandan Wangi.
"Mana tawanan yang lain?" tanya pemuda beralis kuning itu mengalihkan perhatian.
"Akan dibebaskan setelah gadis itu kau lepaskan!" sahut Rangga mantap.
"Hm.... Kau meragukan kepercayaanku...?!" desis Brata Radana sinis.
"Aku tidak pernah percaya pada orang yang tak kukenal. Apalagi telah memperlihatkan kelicikannya!" tandas Rangga.
"Kisanak! Melalui utusanmu, kau telah berjanji akan mengembalikan semua orangku yang kau tahan...!" Brata Radana mengingatkan.
"Bebaskan gadis itu. Dan gadis ini sebagai gantinya! Kemudian, baru kita bicarakan tentang tawanan berikutnya" sahut Rangga menegaskan.
Brata Radana berpikir beberapa saat, kemudian tersenyum.
"Hm.... Gadis ini amat berarti bagimu, bukan?"
"Apakah menurutmu gadis ini tidak berarti pula bagimu?" tunjuk Rangga pada gadis yang berada dekatnya.
"Huh! Aku tidak ada urusan apa-apa dengannya! Bila kau menghendaki gadis ini, maka bebaskan semua prajuritku yang kau tahan. Atau.., kita boleh kembali ketempat masing-masing tanpa membawa hasil!" ancam Brata Radana sambil menyeringai sinis.
Kali ini Rangga yang terdiam. Persoalan ini telah menyangkut masalah umum serta kepentingan rakyat. Dia telah menahan lebih dari lima puluh prajurit lawan. Ditambah, seorang tawanan yang amat berharga. Yaitu, adik perempuan Brata Radana. Dan itu harus diganti oleh seorang tawanan? Apakah kepentingan Pandan Wangi termasuk urusan kerajaan? Bukankah gadis itu hanya punya hubungan secara pribadi dengannya?
"Brata Radana. Jika demikian keputusanmu, maka hanya satu kata yang bisa kujawab. Yaitu, perang!"
Brata Radana terdiam. Demikian pula yang lainnya. Kata terakhir yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti menyentak perhatian. Bahkan membuat detak jantung mereka yang ada di tempat ini berdenyut kencang. Kedua belah pihak merasa tegang. Semua menunggu jawaban dari pemuda beralis kuning bernama Brata Radana yang masih diam seribu bahasa.
Mungkin saja Brata Radana punya banyak pasukan terlatih. Dan mungkin saja si Pendekar Rajawali Sakti yang menjadi lawannya nanti, tengah terluka. Sehingga mudah baginya untuk menundukkannya. Namun Brata Radana agaknya punya pikiran panjang dan tidak mau diburu nafsu amarah. Dia tahu, pertemuan yang diadakan sekarang juga, atas usul Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga hatinya merasa yakin kalau mereka telah merencanakan sebaik mungkin segala sesuatunya. Maka tak heran kalau pemuda berpakaian rompi putih itu berani mengambil keputusan untuk berperang.
"Baiklah, kukira itu harga yang pantas. Kita akan saling tukar-menukar tawanan," sahut Brata Radana seraya memberi isyarat kepada dua prajurit.
"Kakang! Kenapa tidak sekalian mereka dibebaskan saja? Huh! Orang-orang seperti mereka tidak bisa dibiarkan!" dengus Pandan Wangi setelah tukar-menukar tawanan berlangsung. Dan dia kini telah berada diatas punggung seekor kuda putih yang dibawa seorang prajurit.
"Tenanglah, Pandan. Aku akan mengurus persoalan ini sebaik-baiknya...," sahut Rangga kalem.
Pandan Wangi yang dikenal berjuluk si Kipas Maut hanya mendengus sinis. Sorot matanya tajam kedepan. Dan tampak sinar kebencian menyorot kearah Brata Radana.
"Sekarang, bagaimana nasib para prajuritku yang kalian tawan?" tanya Brata Radana.
"Mereka adalah penyusup yang masuk wilayah Karang Setra tanpa izin. Dan itu adalah pelanggaran. Karang Setra punya aturan sendiri bagi mereka!" sahut Rangga tegas. Brata Radana menarik napas panjang.
"Sebenarnya Kerajaan Alas Karang ingin hidup berdampingan dengan damai bersama dua kerajaan besar yang menjadi tetangganya...."
Nada bicara pemuda beralis kuning itu tampak lirih, seperti mengandung penyesalan atas apa yang telah terjadi. Namun begitu, Rangga masih belum memberi jawaban sambil mendengarkan dengan seksama.
"Kami bermaksud menjalin persahabatan. Namun ternyata kedua belah pihak telah salah paham, sehingga timbul percikan-percikan kecil. Itu amat kusesalkan. Sudah jelas para prajuritku hanya sekadar mempertahankan diri bila diusik...," lanjut Brata Radana.
"Kisanak! Bila seseorang punya maksud baik, maka dia akan menggunakan cara yang baik pula. Namun apa yang kau katakan jauh dari kenyataan. Aku tidak tahu, apa yang kau lakukan terhadap Kerajaan Swandana. Namun pada Karang Setra, aku tahu! Tidak usah bersandiwara lagi. Kau menghasut rakyat di perbatasan dengan bujuk rayu dan harta agar terpikat. Dan dengan liciknya, mereka digiring untuk mengakui kedaulatan kerajaanmu!"
"Sobat! Tuduhanmu tidak beralasan sama sekali. Tanyakan saja pada mereka, bahwa niat kami baik. Kami sama sekali tidak bermaksud merebut wilayah itu dari Karang Setra!" tangkis Brata Radana.
"Tidak perlu berpura-pura. Prajurit-prajuritmu sendiri telah mengakui, bahwa mereka mengumpulkan tiap laki-laki dari desa-desa untuk dijadikan prajuritmu dengan gaji besar. Apalagi kalau bukan menghasut?" cecar Rangga.
"Persoalan ini akan panjang tanpa titik temu diantara kita. Sebabnya hanya satu. Yaitu, kesalah pahaman. Namun sebagai orang yang berpandangan luas, aku bisa mengerti apa yang kau rasakan. Biarlah ini menjadi pelajaran baik untuk kita berdua. Kisanak, kami pamit mundur!" kata Brata Radana, berusaha menutupi kesalahannya dengan berdalih salah paham.
Tanpa banyak berkata-kata lagi, pemuda beralis kuning itu memberi isyarat pada pasukannya untuk segera mundur dari tempat itu.
Sementara, Rangga memperhatikan mereka dan belum memberi isyarat pada prajuritnya untuk meninggalkan tempat. Barulah setelah merasa yakin kalau prajurit-prajurit dari Kerajaan Alas Karang telah meninggalkan tempat ini, Pendekar Rajawali Sakti memerintahkan pasukannya untuk mundur. Sementara dia sendiri masih ditempat sambil mngawasi prajurit-prajurit dari belakang.
"Kakang! Kenapa kau diam saja? Mereka telah menawanku dan memperlakukanku tidak adil! Orang seperti mereka seharusnya diperangi!" gerutu Pandan Wangi. Si Kipas Maut kelihatan kesal sekali terhadap sikap Rangga. Yang dinilai lemah dan tidak segera bertindak.
"Apakah mereka menyiksamu..?" tanya Rangga.
"Tidak!"
"Berbuat tidak senonoh terhadap dirimu?"
"Tidak juga!"
"Kalau begitu, kita belum perlu memeranginya. Tidakkah kau sadari bahwa perang selalu merugikan banyak orang?"
"Lalu kenapa Kakang tadi menawarkan perang?"
"Aku tidak sudi dia menekanku!"
"Hm.... Jadi bila dia menyambut tantanganmu, maka kau rela membiarkan aku dibawa kembali? Kau rela membiarkan aku kembali ditawan mereka Kakang?"
Rangga tidak menjawab. Tidak juga menoleh Pandangannya lurus kedepan mengawasi para prajurit Karang Setra.
"Kakang, kau belum menjawab pertanyaanku...?" tagih Pandan Wangi.
Rangga memandang Pandan Wangi, lalu menarik napas panjang.
"Apakah kau kira aku akan mencampurkan urusan kerajaan dengan perasaan pribadi? Bila urusan ini menyangkut kerajaan, maka aku berbuat demi kepentingan negara. Tapi bila urusan menyangkut pribadi, maka aku tidak bisa menyertakan persoalan kerajaan didalamnya. Bisakah kau mengerti, Pandan?"
Pandan Wangi terdiam. Kepalanya langsung menoleh ke tempat lain, lalu menunduk. Dia seperti enggan menatap pemuda itu. Apalagi untuk menjawab pertanyaan tadi.
Rangga menghela napas pendek. Pandan Wangi memang agak keras kepala dan sedikit kekanak-kanakan. Dia selalu ingin diperhatikan dan ingin dinomor satukan, tanpa mempedulikan kalau Rangga pun mempunyai urusan lain yang lebih penting sebagai Raja Karang Setra.

159. Pendekar Rajawali Sakti : Neraka KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang