Sudah seminggu berlalu dari kejadian perpeloncoanku di sekolah dan selama itu aku tidak menampakkan diri di sana. Aku mengurung diri di kamar, sesekali keluar saat perutku terasa lapar. Di marahi orangtua ku, tentu saja. Mereka menggedor pintuku kuat agar aku keluar dan kembali bersekolah. Tetapi mereka tidak peduli denganku dan sibuk dengan aktivitas mereka. Berbeda lagi dengan kakak perempuanku, kali ini ia mungkin punya sedikit rasa empati padaku.
Kakakku Lee Eun myeong, menjadi lebih lembut kepadaku. Ia bahkan setiap pagi selalu mengetuk pintu kamar dan memintaku untuk makan, namun selalu tak pernah ku gubris. Entah oleh sebab apa kakak menjadi sangat perhatian padaku.
"Raya, keluarlah. Ayo kita bicarakan masalahmu dengan baik. Jika begini terus aku tidak tahu apa masalahmu sehingga tidak mau bersekolah."
Ini sudah kesekian kalinya kakak membujukku untuk bercerita. Ia benar-benar berkata lemah lembut dengan tak bosannya mengetuk pintu. Aku ragu untuk membukanya sebab mengingat bagaimana dahulu kakak selalu memakiku yang tidak pandai dalam akademik: saat di sekolah menengah pertama.
"Ayolah, Raya. Maafkan kakak. Kakak tidak menyangka ternyata kau seterluka ini. Tolong buka pintunya untuk kakak, Raya."
Aku beranggsur turun dari ranjang. Dengan langkah ragu aku menuju pintu kamar yang masih terdengar suara kakak yang terus membujukku agar membukakan pintu kamar. Saat aku dekat dengan pintu kamar, aku bertanya pada kakak. "Ada apa kak?" Ucapku lemah.
Sontak kakak dengan cepat menjawab, "Eun ra cepat buka pintunya, kakak ingin berbicara denganmu. Tolonglah, kakak sangat mengkhawatirkanmu."
Dengan perlahan aku memutar kunci kamarku lalu membuka pintu dengan perlahan. Kakak yang berada di depan pintu langsung membukanya lebar dan segera menerjangku dengan pelukan. "Maafkan kakak Eun ra. Kakak tidak tahu kau mengalami hal buruk di sekolah. Pasti itu menyakitkan, 'kan?".
Aku gelagapan dan sama sekali tidak membalas pelukan erat kakak. Kakak melepas pelukannya, mendorongku pelan sedikit menjauh untuk melihat wajahku. Sembari mengusap wajahku sayang kakak berkata, "Astaga, maafkan kakak. Kakak selalu kasar padamu dulu, tidak pernah mentolerir kesalahanmu dalam mengerjakan tugas, maafkan kakakmu ini Eun ra. Kakak menyesal."
"Kenapa kak? Kenapa baru sekarang kakak peduli padaku? Tidak biarkan saja adikmu yang tidak berguna ini mati di kamarnya?"
"Eun Ra! Apa yang kau katakan? Tolong, jangan tinggalkan kakak. Kakak hanya memilikimu. Kakak memiliki alasan tersendiri bersikap acuh padamu dulu."
Kakak kembali memelukku erat, sembari mengusap lembut kepalaku ia berkata "Aku sudah tahu apa yang terjadi di sekolah. Jooan— mengirimkan videomu mengenai kejadian seminggu yang lalu."
"J-jo..Jooan?" Tanyaku ragu. Kakak mengangguk pasti. "Dia adalah murid kakak dulu saat masih kuliah. Kakak tidak nenyangka jika Jooan tahu bahwa kita bersaudara."
Aku diam. Kakak masih mengusap lembut punggungku. Lalu kalimat kakak yang selanjutnya membuatku semakin terkejut sekaligus bingung harus mengekspresikannya seperti apa.
"Lusa kau ikut kakak ke Seoul. Kakak akan menyekolahkanmu di sana. Mengenai orangtua kita, jangan kau risaukan. Biar kakak yang bicara dengan mereka."
---
Seoul.
Ibu kota yang baru ku datangi, selama seumur hidup. Ternyata sangat berbeda jauh dengan Busan, di sini orang-orang banyak yang berpakaian modis. Meski Busan menjadi kota besar kedua di Korea Selatan, tetapi tetap saja suasana di Seoul sangat kentara berbeda.
Entah kak Eun myeong berbicara apa dengan orangtua kami, mereka berdua mengizinkan kakak membawaku ke Seoul. Sedangkan orangtua kami menetap di Busan dan tetap bekerja di sana. Meski usiaku masih belia, sedikitnya aku paham mengenai orangtua kami yang tidak baik-baik saja. Hampir setiap ada kesempatan di rumah mereka selalu bertengkar, walaupun kehidupanku dan kakak terpenuhi dengan sangat cukup tapi ada hal yang kami tidak dapatkan dari mereka.
"Nah Raya ... cepat bereskan pakaianmu di kamar. Kakak akan membereskan ruang tengah terlebih dulu. Hari ini kita akan sangat sibuk, belum lagi menyapa para tetangga karena kita baru di sini." Aku mengangguk patuh, masih sedikit canggung dengan kakak yang biasanya memberikan tatapan tajam padaku berubah menjadi lembut dan penyayang.
Kamarku di apartemen ini cukup luas, kakak bilang ia membeli apartemen ini dengan uangnya dan sedikit di bantu oleh orangtua kami. Aku merapihkan baju terlebih dulu ke dalam lemari, lalu mengangkut kardus‐kardus dan barang lain ke dalam kamar untuk di rapihkan, dan terakhir merapihkan kasur tidurku agar nyaman. Menghabiskan sekitar satu jam setengah untuk mengatur segala keperluanku di kamar ini.
Aku lelah.
Samar aku mendengar suara kakak yang mengetuk pintu kamar seraya memanggil namaku. Aku mengerjapkan netra pelan dan melakukan perenggangan. Ternyata ini sudah pukul 5.00 sore, aku tertidur selama 4 jam.
"Kakak masuk ya."
Aku berdehem, karena suaraku masih tercekat di tenggorokan. Butuh air untuk menetralkannya. "Kakak akan keluar sebentar ke minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan kita, juga memberikan cemilan untuk tetangga sebelah. Kau mandilah sehabis itu kita makan malam bersama." Aku mengangguk, kakak kembali menutup pintu kamar dan dari sini aku mendengar bahwa pintu depan tertutup menandakan kakak sudah pergi keluar.
Aku bangun dari tempat tidur baruku yang nyaman, menyiapkan pakaian dan berjalan menuju kamar mandi. Tidak membutuhkan waktu yang lama untukku membersihkan diri. Saat aku selesai mandi, kakak belum juga datang. Aku datang memasuki dapur, membuka kulkas— memeriksa apakah ada makanan kecil yang bisa ku makan.
Aku lapar.
Ketika aku sedang menonton televisi dan memakan cemilan yang ada di kulkas, suara pintu mengalihkan atensiku. Kakak pulang dengan tangan yang penuh oleh tas belanjaan juga beberapa kantung kecil. Segera aku menghampirinya membantu membawa belanjaan yanh menumpuk di tangan kecilnya. "Terima kasih Raya." Ucap kakak dengan senyuman manis di sertai lesung pipit miliknya.
Kakakku itu sangat cantik, tubuhnya ideal, juga cerdas. Tapi sampai sekarang aku tidak pernah mengetahui apakah kakak sudah punya kekasih atau belum. Aku memberanikan diri untuk bertanya, karena sedari kemarin kakak seperti sedang mendekatkan diri denganku. "Kenapa kakak belanja banyak sekali? Bukankah tadi bilangnya hanya beberapa?"
"Sebenarnya kantung belanjaan kakak hanya yang besar satu itu. Tapi saat di jalan menuju apartemen kita, di lorong banyak tetangga yang memberikan makanan juga beberapa cemilan. Jadilah seperti itu." Aku mengangguk paham. Wah, ternyata para tetangga kami baik hati.
---
Setelah menyelesaikan makan malam, kakak izin untuk menyiapkan pekerjaannya besok. Ia adalah seorang pengacara juga pebisnis di bidang fashion. Tentu, ia bisa membuka toko butik dari hasil kerja kerasnya juha hobinya dalam membuat sketsa gambar baju. Aku mengetahuinya sudah lama, ketika aku masih kecil dan hubungan kami tidak canggung.
Saat ini aku berada di balkon, sibuk memperhatikan keadaan sekitar juga pemandangan malam yang indah. Dari sini aku bertekad, akan merubah penampilanku.
Aku akan memulai hidup baru di ibu kota Korea Selatan. Di Seoul.
.
.
.To be Continue~
Yeayy, aku udh bikin 2 chapter nih dalam waktu dekat. Jadi, nanti bakalan balik lagi pas aku lagi liburan, ya! Cmn 9 hari kok aku ngga munculnya wkwkwk (semoga).
Terima kasih yang udah nunggu. I love you^^~
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at Me, Now!
FanfictionAh, apakah kau tahu bagaimana rasa terjatuh dari atas langit saat kau mencoba untuk mendarat dengan baik? Jika belum maka aku akan memberitahu rasa itu padamu. Aku akan membuatmu tidak bisa menatap kemana pun, selain diriku. Lalu selanjutnya.. apa k...