Dua hati yang terikat

11 2 0
                                    

"Goodluck." ucapnya acuh dan berjalan menjauhi Andre.

Sebuah mobil audy hitam membelah jalanan kota Jogja malam itu. Mesinnya berderu kencang, membuat kendaraan lainnya hilang kendali dan hampir bertabrakan. Smirk muncul di bibir kala pemuda itu hampir saja menabrak seekor kucing. Mobilnya terhenti, lalu ia keluar dan mengangkat kedua kaki depan si kucing. Seekor kucing dengan bulu berbelang tiga. Putih, abu-abu, dan hitam. Begitu pun dengan matanya yang bewarna biru-hijau. Dia mengamatinya dengan mata dingin.

"Bersyukurlah masih saya izinkan hidup. Ayo pulang." ucapnya dengan seringai ngeri. Afnan menidurkan kucing tadi di jok sebelahnya, kemudian kakinya menginjak pedal mobil sedalam mungkin.

"Pegangan, Xaza." Seakan mengerti panggilan barunya, kucing tadi mengeong setuju.

"Andre...Andre..Andre, harus saya apakan dia?" senandungnya.

"Xaza, kenapa saya merasa sangat marah?" monolognya seorang diri, Xaza membalasnya dengan eongan kedua. Afnan benar-benar gundah, dia ingin sekali melampiaskan amarahnya. Jika stir dan pedal mobil bisa berbicara, mungkin mereka sudah menangis memohon ampun akibat remasan dan tekanan dari tangan dan kaki Afnan.

Audinya ia parkirkan di basement apartement dengan bunyi decitan dari ban diakhir aksinya. Suara sol sepatu yang menabrak lantai menggema di antara dinding-dindinh basement, membuat orang awam bergidik ngeri. Afnan menggendong Xaza di kedua tangannya seraya menunggu pintu lift terbuka.

Ekspresi dingin tercetak jelas di wajahnya ketika seorang wanita datang dan menggodanya. Tengkuknya dielus lembut seolah-olah ia haus akan belaian. Matanya melirik sekilas wanita itu.

"Ah, tampan sekali, tapi sayang, sepertinya liar heum?" Perkataan itu sukses keluar dari sela bibir merah benderangnya. "Kamu kesepian?" melihat tidak ada respon yang diterimanya, tangannya mulai berani meraba pinggang Afnan.

"Enyahlah jalang."

"Hey!" Seru wanita itu tidak terima. Tangannya terangkat untuk menampar, tetapi berhasil dibungkam dan diremas sampai terdengar derak tulang oleh Afnan. Xaza cepat-cepat turun dari tubuh tuannya seolah mengizinkannya untuk menyiksa wanita itu lebih jauh. Afnan melihat sebuah kalung yang teruntai di leher wanita itu, kalung berbentuk segitiga keemasan. Detik berikutnya, ujung sisi segitiga itu menancap di mata sang wanita.

Tangisan dan teriakan kesakitan bergema jelas, wanita itu terduduk dengan tubuh gemetar memegangi sebelah matanya yang mulai meneteskan darah.

Pintu lift terbuka, Afnan kembali menggendong Xaza dan masuk kedalamnya. Dia masih memperhatikan wanita itu yang tengah memohon ampun dalam kesakitannya sampai pintu lift benar-benar tertutup. Tanpa ekspresi sedikitpun di wajahnya.

Tangannya menekan tombol 32, satu-satunya lantai dengan jejeran kamar VVIP. Kakinya melangkah menyurusi karpet berbulu hitam sampai akhirnya berhenti di depan pintu mahoni elegan lengkap dengan seorang bodyguard yang bertugas menjaga menjaga kamarnya.

"Konbanwa, wakai masutā*. Anda kedatangan seorang tamu." ucapnya dalam bahasa Jepang dan membungkuk seraya membukakan pintu untuk tuannya. Kaki Afnan langsung bergerak ke arah dapur, membuka kulkas, dan menuangkan semangkok susu untuk diberikan pada Xaza. Tidak diragukan, kucing itu langsung meminum susunya lahap.

*Konbanwa : Selamat malam
* Wakai masutā : tuan muda

"Ren...," alunan suara dayu milik seorang wanita. Jari lentiknya yang dihiasi kutex biru donker bergerak perlahan di bahunya, memeluknya. Afnan mendesis.

"Sejak kapan di sini." katanya tanpa intonasi. Hanya nada dingin terdengar bagai seruan untuk menjauh keluar dari bibirnya. Yurika terkikik dan menaruh dagunya di bahu Afnan, lengannya melingkar pas di pinggangnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Back To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang