Aldan menarik napas panjang saat untuk kesekian kalinya menemui kebuntuan tentang pencarian Atha. Perempuan itu sungguhan menghilang tanpa jejak. Sama sekali tidak memikirkan dampak buruk apa yang akan terjadi pada pertumbuhan putri mereka. Padahal, jika memang Atha membenci keputusannya, seharusnya perempuan itu tidak mengorbankan Ara demi sakit di hati.
Sialan.
Itulah rutukan yang terus Aldan ucapkan dalam hati tiap kali mengingat sosok Atha yang menghilang. Tidak ada kabar apa pun yang bisa Aldan dapatkan, dan semua itu selalu membuatnya merasa frustasi. Apalagi Ara semakin sering menanyakan keberadaan sang mama padanya.
Ya Tuhan.
Kalau kamu mikirin tentang perkembangan Ara, harusnya kamu nggak egois dengan meminta perceraian, Aldan.
Tarikan napas Aldan memberat saat teringat kalimat mamanya setahun yang lalu—ketika Ara demam setelah menangis semalaman karena merindukan Atha. Mamanya benar, semua mungkin berawal dari kesalahannya. Tetapi, jika Atha memang seorang ibu yang baik, perempuan itu tidak menghilang begitu saja tanpa memberi kabar apa pun. Sehancur dan serusak apa pun hubungan mereka, ada Ara yang harus diperhatikan.
Kamu pernah cinta sama Atha?
Atha jatuh cinta sama kamu.
Aldan sudah tahu itu. Sejak awal menikah dengan Atha, perempuan itu memang selalu memperlakukannya bak seorang raja. Atha tidak pernah menuntut banyak hal, hanya meminta diijinkan tetap bekerja sekalipun mereka sudah menikah. Atha juga menuruti tiap permintaannya selama mereka menikah. Intinya, tidak ada yang kurang dari tingkah laku Atha selama menjadi istrinya. Perempuan itu adalah gambaran istri dan ibu yang baik. Hanya saja, Aldan tidak ingin tersiksa dengan mengurung Atha dalam sebuah pernikahan di mana dirinya tidak mampu memberikan cinta.
Salahkah?
Seharusnya, mereka masih bisa bahagia sekalipun tidak lagi menjadi sepasang suami-istri, kan? Bukankah itu yang menjadi kesepakatan mereka sebelum bercerai dulu?
Ah, sial!
Berkali-kali merenung dan merutuk pun tidak akan pernah mengubah apa pun. Aldan tahu itu, hanya saja rasa frustasinya benar-benar menyebalkan!
"Papa!"
Aldan menoleh ke arah pintu terbuka dan tersenyum saat melihat langkah-langkah kecil dari putri mungilnya. Tubuh Aldan bangkit berdiri dan menghampiri Ara, lalu langsung mengangkat sang putri ke dalam gendongannya. "Kok, pulang nggak kasih tahu papa, sih?" tanyanya, sambil mencium keseluruhan wajah putri cantiknya.
"Omgan yang bawa Ara, Papa," jawab Ara riang, karena ciuman-ciuman yang diberikan sang papa.
Omgan adalah sebutan yang Regan sematkan sejak Ara mulai bisa berceloteh.
"Oh, terus mana Omgan?"
"Itu masih sama Tante Ra, katanya mau masak dulu."
Aldan mengulas senyum, lalu melangkah keluar ruang kerjanya bersama Ara yang memeluk erat lehernya.
"Duh, iya deh, yang udah ketemu papanya jadi lupa sama Omgan." Regan sengaja memberikan cibiran pada Ara yang sudah terkikik, karena tangannya menggelitiki leher bocah itu.
"Regan, itu nanti Ara bisa jatuh kalau kamu candain kayak gitu," tegur Raira, yang langsung dilanjut oleh raut sebal dari Aldan kepada Regan.
"Tahu nih, Ra. Omelin, dong."
Regan mencebik, lalu menarik Ara ke dalam gendongannya—dan keponakan kecilnya itu justru menurut dan mengeratkan pelukan di lehernya. Membuat Regan tertawa kecil melihat raut masam Aldan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Hati [Completed] ✔️
Ficção GeralAldan dan Agatha menjalani pernikahan yang melelahkan. Membuat keduanya berada pada persimpangan yang tak sama, dan selalu berakhir saling menyakiti. Agatha lelah. Namun memilih tetap bertahan demi putri kecilnya yang baru berusia dua tahun. Aldan...