Bagi Aldan, kebahagiaan Ara adalah yang paling utama. Sayangnya, Aldan sudah menghancurkan semua itu saat memutuskan berpisah dengan Atha. Aldan mungkin menyesal, tapi sesal itu lebih sungguhan ketika untuk kesekian kalinya Ara demam hanya karena merindukan mantan istrinya itu—dan kali ini sampai harus dirawat ke rumah sakit.
"Sayang, makan sama Papa dulu, yuk." Aldan kembali membujuk sang putri.
Kepala Ara menggeleng dalam pelukan sang papa.
"Harus makan dulu, biar minum obat," bujuk Aldan lagi. Hatinya sakit sekali melihat tubuh kecil putrinya ini lemas tidak bertenaga. Pun dengan sisa isakan yang masih terdengar. "Ara mau apa? Nanti Papa beliin? Tapi tolong sembuh, ya. Papa sakit banget lihat Ara kayak gini."
"Mama kapan pulang, Papa?"
Ya Tuhan.
Aldan harus mengambil napas susah payah saat menatap wajah polos putri kecilnya itu. Setelah Atha menghilang, Aldan memang baru menyadari bahwa Ara yang akan paling menderita di antara mereka semua. Namun Aldan terus menyangkal dengan mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu, Ara akan menerima keadaan mereka yang hanya akan terus berdua tanpa Atha lagi. Bahkan ketika beberapa kali Ara demam karena merindukan Atha, Aldan masih mengeraskan hati walau sejak beberapa bulan lalu akhirnya mulai mencari Atha.
Hanya saja, serindu apa pun Ara pada Atha, putri kecilnya ini tidak pernah sampai masuk rumah sakit seperti hari ini. Rasanya ada sakit yang tidak mampu Aldan jelaskan melihat wajah riang putrinya ini berubah pucat tak bertenaga. "Nanti Mama pasti pulang."
Sebuah kalimat yang Aldan tahu hanyalah bualan semata. Karena Atha mungkin sudah memilih menghilang untuk selamanya.
"Kapan?" Kedua mata Ara kembali berair. "Tadi Grendi tanya kenapa Ara nggak pernah dijemput sama Mama, terus kata Hesa, Mama Ara udah pergi karena Ara nakal," adunya, dengan air mata yang kembali mengalir—dan selanjutnya terdengar tangisan keras, yang berhasil membuat kedua mata Aldan memerah.
Batin Aldan memaki bagaimana seorang bocah berusia hampir lima tahun, bisa mengatakan kalimat jahat seperti itu pada putrinya? Sialan! Akan Aldan pastikan bahwa bocah itu diurus dengan baik oleh sang orangtua.
"Siapa yang bilang Mama pergi karena Ara nakal? Anak Papa kan, anak baik. Tapi Mama emang lagi kerja." Aldan kembali merengkuh Ara, sambil menepuk-nepuk lembut punggung kecil sang putri, berusaha menenangkan. "Papa sama Mama sayang banget sama Ara."
"Kenapa Mama harus kerja?"
Lagi, pertanyaan itu yang akan terus Ara tanyakan jika Aldan menjawab dengan jawaban seperti tadi.
"Memangnya uang Papa nggak cukup?" tanya Ara, masih dengan mata berair. "Ara nggak apa-apa kok, nggak beli mainan lagi. Tapi Mama pulang aja. Jangan kerja lagi."
Sudah seharusnya Aldan memukul dirinya sendiri! Bagaimana bisa keputusan berpisah keluar dari bibirnya, tanpa pernah benar-benar memikirkan kemungkinan seperti ini akan terjadi? Bodoh!
Aldan tidak lagi mampu memberi jawaban. Jadi yang dilakukannya hanya terus mengelus punggung dan belakang kepala putrinya dengan sayang. Maafin Papa, Sayang.
"Ara mau sama Mama, Papa."
Sekali lagi, Aldan tidak mampu berkutik. Air matanya ikut mengalir saat kembali mendengar tangisan pilu dari putri kecilnya. Dalam tangisnya sambil memeluk erat sang putri, untuk kali pertama Aldan memohon ampun atas keegoisannya yang menghancurkan kebahagiaan keluaga kecilnya sendiri.
Cukup lama Aldan membiarkan Ara menangis dan hanya memeluk putrinya untuk menenangkan, sampai permata hatinya itu perlahan terlelap—walau masih terdengar sesenggukan, yang membuat Aldan meringis sedih. Dengan gerakan perlahan, Aldan melepaskan pelukannya untuk membaringkan Ara di sampingnya. Tangan Aldan mengelus pelan rambut halus sang putri. Berkali-kali bibirnya memberi kecupan lembut di kening kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Hati [Completed] ✔️
Ficción GeneralAldan dan Agatha menjalani pernikahan yang melelahkan. Membuat keduanya berada pada persimpangan yang tak sama, dan selalu berakhir saling menyakiti. Agatha lelah. Namun memilih tetap bertahan demi putri kecilnya yang baru berusia dua tahun. Aldan...