Durhaka

35 6 3
                                    

Seorang lelaki bertubuh tinggi sedang memandangi empang lele yang membentang di depannya. Sesekali ikan lele berkumpul di sebuah spot karena makanan yang jatuh dari jamban yang berada di atasnya.

Lelaki yang bernama Seokjin itu menghela napasnya sambil memutar bola matanya. “Menjijikkan.” Ia bergumam kemudian membalikkan badan.

“Seokjin!!!” Matanya melebar, mendengar suara melengking dari ayahnya yang tengah mengacungkan sebuah jaring bergagang bambu kepadanya.

“Gak, gue gak mau kalo disuruh nangkep lele.” Ia bergumam sambil berpura-pura tidak mendengar teriakan dari ayahnya yang kebetulan adalah seorang juragan lele.

Karena ayahnya memiliki empang yang banyak. Seokjin anak satu-satunya yang sudah dewasa dan menganggur saat ini adalah pilihan yang tepat untuk menjaring ikan lele yang ada di Empang.

Namun lelaki berpundak lebar itu akan bergidik geli jika ayahnya itu sudah menyuruhnya melakukan pekerjaan tersebut.

Seokjin geli dengan lele, atau lebih tepatnya jijik. Apalagi ketika melihat ikan lele yang memakan tai-tai yang berasal dari jamban yang sengaja dibuat oleh ayahnya itu agar lele bisa memakan makanan yang katanya bervitamin itu.

Lebih baik dia disuruh untuk menyapu halaman rumah yang lebarnya melebihi luasnya lapangan golf.

Seokjin akan melakukan apa saja, asalkan tidak menangkap ikan lele yang licinnya minta ampun.

Sebetulnya Seokjin trauma dengan ikan lele saat dia masih kecil.

Dulu waktu dia ikut membantu ayahnya menangkap ikan-ikan berkumis tersebut dengan ayahnya. Seokjin dikejutkan dengan lele yang besarnya seukuran paha kakinya terlempar ke pangkuannya dengan kumisnya yang menggoda.

Bentuk kepala yang aneh dengan mata hitam bulat. Itu benar-benar membuatnya takut.

Lantaran kejadian itu, Seokjin menjadi malas jika harus berhubungan dengan ikan yang sudah membuat keluarganya hidup bergelimang harta sampai saat ini.

“Heh! Mau ke mana lo! Kalo pergi jangan harap dapet warisan gue!” teriak ayahnya lagi.

Mendadak Jin mengerem kakinya, berhenti kemudian menatap ayahnya yang napasnya sudah ngos-ngosan.

“Apalagi sekarang, Be?” tanya Seokjin malas. Sebenarnya dia sudah tahu kalau ayahnya itu pasti akan menyuruhnya untuk menjaring ikan-ikan lele yang akan dijual nanti siang.

“Lo jaring sono ikannya, lo kalo gak mau kerja di empang makanya nyari kerja kantoran kek. Demen amat jadi pengangguran.”

Sudah menganggur dua tahun, tentu saja membuat ayah Seokjin yang bernama Kim Hyo Won tersebut selalu uring-uringan. Selain kerjanya yang hanya nongkrong-nongkrong asik bersama dengan teman pengganguran lainnya. Seokjin rupanya jugauka suka ngapel di rumah janda kembang yang ada di desa sebelah.

“Apa lo mau kawin aja?” tanya Hyo Won pada Seokjin yang tentu saja dibalas dengan rekasi mencak-mencak. Karena meskipun sudah menjadi pengangguran yang professional. Jin tetap saja percaya jika suatu saat dia akan menjadi orang sukses.

"Apaan sih Be, ngancemnya kowan kawin mulu. Bosen tau gak dengernya?! Seokjin berdecak kesal, bibirnya mencebik menatap ayahnya yang tak akan gentar menyuruhnya untuk menangkap ikan lele.

"Ya udah makanya sono. Tangkepin ikan lelenya!"

"Suruh aja pegawai Babe! Apa gunanya pegawai kalo gak mau disuruh!"

Hyo Won sudah mulai naik darah. Jambang tipis sepanjang jalan kenangan bersama mantan itu mulai berkibar. Seokjin tahu kalau ayahnya akan murka padanya.

"Oke! Kalo lo gak mau. Babe gak bakalan kasih duit sepeserpun." Ancamannya kali ini membuat Seokjin berpikir. Dia tak bisa hidup tanpa uang. Bagaimana nasibnya nanti kalau ayahnya itu tak memberikannya uang.

Dia masih butuh buat nongkrong-nongkrong asik. Buat ngapel janda sebelah yang dia demenin lama tapi gak dinikah-nikahin.

"Ah! Ancamennya gak berkelas," gerutu Seokjin.

"Bodo amat!"

"Lagian kalo lo gak mau nerusin usaha ini, emang siape lagi yang mau urus?! Engkong lo?!"

"Dih! Engkong kan udah wasalam Be."

"Mangkanya, sono jaring lele tar gue kasih duit jajan lagi."

Seokjin mengambil jaring yang ada di tangan ayahnya dengan malas. Tak ada alasan lagi untuk menolak. Apalagi jika itu mengenai uang. Dia bisa gila kalau tak diberi uang jajan oleh ayahnya tersebut.

"Nih! Sama kasih makan bayi lele yang ada di Empang sebelah." Setali dua uang, Hyo Won memberikan satu kresek hitam jelek yang isinya pelet ikan yang baunya membuat Seokjin mabuk.

"Kenapa juga Seokjin si, Be? Kan ada emaknya lele?"

"Lo gak usah ngelawak. Udah sono kelarin kerjaan lo kalo mau gue kasih duit."

Begitu selesai memerintah anaknya. Hyo Won ngeloyor pergi dengan santai. Akhirnya anaknya mau disuruh juga untuk berbaur dengan ikan-ikan lele miliknya.

Hyo Won takut kalau sampai dirinya mati nanti. Anaknya itu tak bisa melawan rasa takut dan gelinya terhadap ikan lele.

**

Seokjin berjalan menuju Empang lele yang ada di sebelah. Khusus bayi lele yang menetas beberapa hari yang lalu.

Dengan wajah bersungut dan kusut. Dia melempari pelet yang ada di dalam plastik.

"Nih makan! Biar gemuk semua!" seru Seokjin sambil melempar pelet-pelet tersebut ke dalam Empang dengan tidak niat.

Kebanyakan pelet tersebut bahkan terlempar kembali ke arahnya gara-gara angin yang bertiup kencang tiba-tiba.

"Ish! Sialan!" makinya. Sambil memuntahkan pelet yang tak sengaja masuk ke dalam mulutnya.

"Kalo bukan karna duit, gue gak mau liat muka-muka kalian yang jelek!" Gerutunya sampai tak sadar pelet ikan di dalam plastiknya habis karena tak sengaja masuk ke dalam mulutnya sendiri.

Ia berjalan ke Empang satunya lagi. Tempat lele yang sudah dewasa dan waktunya untuk dijual kepada para pedagang pasar yang biasanya akan datang nanti siang.

Ia memandang Empang yang memiliki warna air begitu butek di depannya. Sesekali hidungnya berjengit jika melihat orang yang masuk ke dalam jamban dan mengeluarkan isi dalam perutnya.

"Bau," gediknya kesal.

"Dasar lele-lele jelek! Licin! Bau tai! Kumisan! Emangnya lo kucing segala pake kumisan?!" Seakan bermonolog di pinggir Empang, Seokjin terus memaki dan menghina lele yang sama sekali tidak tahu apa-apa tersebut.

Padahal yang masuk ke dalam pahanya waktu kecil dulu adalah nenek moyang mereka tapi kenapa cicitnya juga ikut disalahkan.

"Kalo gue jadi lele, gak bakalan gue mau idup di Empang yang banyak tainya!" makinya lagi kemudian sedikit turun mendekati Empang.

Namun tiba-tiba angin berhembus kencang. Sampai menyapu rambutnya. Bibirnya yang tebal sempat berkibar gara-gara tiupan angin yang tak seperti biasanya.

"Tuh kan alam aja gak bolehin gue nangkep lele," gerutunya. Namun dia masih mencoba turun ke Empang.

Jlegaaarrr!!!!

Petir menyambar. Seokjin terkejut sampai mengelus dadanya sendiri. Dia kaget bukan main, apalagi petir yang seakan dekat dari arahnya berdiri.

"Mampus! Gue kayaknya harus kabur! Gak bakal lucu kalo kena petir di Empang bau!" Seokjin ngacir meninggalkan Empang. Dia melemparkan jaring yang ada di tangannya entah ke mana jadinya.

Persetan dengan ancaman Hyo Won yang pasti safety adalah first!

Tetapi, sebuah petir menyambar lagi. Dan mengenai Seokjin. Dia tergeletak di samping Empang sampai tergulung nyemplung ke dalam Empang karena angin yang semakin kencang.

PLUNG!

Suara yang bukan seharusnya jika manusia yang tercebur.

Beauty and The CatfishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang