Tiga

7 0 0
                                    

Sesampainya di rumah, Ian langsung merebahkan badannya ke kasur. Ia memejamkan matanya seraya tak ingin memikirkan apapun lagi. Pikirannya sudah sangat lelah jika mengingat kejadian itu terus. Ia merasa malu, dan takut jika ekspetasi yang dia harapkan berbeda.
Namun tak sengaja, Ian malah mengingat kejadian setahun silam saat mereka sedang duduk di suatu cafe.

*Flashback satu tahun yang lalu

Ian dan Dina duduk di sebuah cafe yang tak jauh dari kampus mereka. Lalu saat mereka sedang bercengkrama, datang seorang pengamen yang menyanyi depan mereka.

"Ku yang dulu bukanlah yang sekarang..
Dulu ditendang, sekarang ku disayang...".

Lalu setelah selesai, pengamen itupun meminta bayarannya. Dina terlihat mencari uang kecil di dalam tasnya, sedangkan Ian hanya fokus memainkan handphonenya. Setelah di bayar, pengamen itupun langsung pergi.

"Lo kenapa ga kasih?", tanya dina pada Ian yang masih sibuk memainkan gadgetnya itu.

"Males", jawab Ian singkat. Lalu setelah jeda beberapa saat, Ian berbicara lagi.

"Kenapa mereka harus capek-capek ngamen kalo fisik mereka masih kuat untuk bekerja yang lain yang lebih layak?", timpal Ian yang menunjukkan kalau dia tidak suka dengan pengamen tadi.

"Yang lebih layak gimana?", Dina bertanya kembali karena masih belum paham apa yang diucapkan Ian.

"Iyaa mereka bisa kerja di toko orang kek, atau apa kek. Ngamen? Lo liat ga sih, ga semuanya dengerin nyanyian mereka"

"Hmmm...", Dina berpikir sejenak sebelum menjawab apa yang dikatakan Ian. Lalu ia pun menjawab, "gini ya.. apa lo mikirnya kalo ngamen itu  cara mereka untuk dapetin uang?"

"Iyaa"

"Iyaa bener mereka ngamen untuk cari uang. Tapi sekaligus menghibur mereka agar tetap semangat menjalani hidup ini. Mungkin itu satu-satunya cara agar mereka bisa bertahan hidup. Lo kira hidup kayak mereka tu gampang banget nyari kerjaan". Jawab Dina dengan nada sedikit kesal karena melihat Ian yang seperti kontra terhadap pengamen.

"Yaaa gimana ya Din.." belum sempat Ian menyelesaikan kalimatnya, Dina langsung memotongnya.

"Stop Yan. Gue males berdebat".
Setelah itu suasana mendadak jadi hening. Mereka pun jadi sedikit canggung. Lalu untuk menghilangkan suasana canggung tersebut, Dina pun membuka suara lagi.

"Kayaknya kita ga bakal pernah jodoh deh yan", ucapnya sambil tertawa.

"Kenapa?", tanya Ian yang sedikit terkejut ketika mendengar penuturan Dina itu.

"Banyak hal yang selalu kita perdebatkan, pikiran kita ga pernah sama"

"Yakan itu ga masalah. Namanya juga manusia, ga selalu harus satu pikiran", tegas Ian agar Dina tak menganggap mereka tak akan pernah bisa bersatu. Karena sejujurnya, Ian sedikit menyimpan rasa kepada Dina. Namun ia belum yakin atas perasaannya itu. Makanya setelah dengar penurutan Dina barusan, sedikit timbul rasa sakit di hatinya.

Terus tiba-tiba Dina menanyakan hal yang sukses membuat Ian membeku beberapa saat. "Emangnya lo mau jodoh sama gue?".

Belum sempat Ian menjawab, Dina menyambungnya lagi, "pasti engga kan".

Ian padahal hampir saja mengatakan mau, tetapi karena Dina langsung menjawab, Ian pun hanya bisa pura-pura tertawa.

*Flashback end.

MungkinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang