Chapter 1

27 8 23
                                    


Aku lapar. Aku sudah mengitari beberapa blok tapi belum juga menemukan target yang bagus. Sebetulnya aku menemukan beberapa taverna yang dipenuhi oleh orang-orang. Kupikir sekarang memang waktunya makan siang. Tetapi setiap kali aku mendekati salah satu meja dan menyiapkan wajahku, aku selalu berbalik arah dan meninggalkannya. Aku tak kuat dengan bau makanan orang-orang ini. Selera makan orang-orang di sini payah. Mungkin sebaiknya aku berpindah blok, untuk kesekian kalinya.

Matahari benar-benar bersinar menyengat hari ini, membuatku semakin lapar dan gusar. Seharusnya aku masih tertidur lelap di bawah kereta kuda, tetapi kereta kuda itu tiba-tiba pergi dan sinar matahari membuatku terbangun. Aku tak tahan dengan hawa panas. Tidak lama aku juga merasa lapar. Kau tahu, panas dan lapar bukanlah hal yang menyenangkan bagi kucing. Jadi aku harus mencari target untuk mencari makanan agar aku bisa berteduh dan makan. Dan kurasa tidur lagi.

Aku baru saja melewati sebuah toko yang memamerkan manusia-manusia aneh di balik kaca ketika aku mencium bau itu. Bau yang lezat. Aku mengenduskan hidungku, mencari tahu dari mana arah bau ini. Baunya sepeti daging panggang. Kakiku melangkah, ekorku menegang ke atas. Aku mengendus lagi. Kakiku semakin cepat melangkah. Sepertinya daging domba. Aku suka daging domba, favoritku. Sepertinya takdir mulai berpihak ke arahku.

Kakiku membawaku ke sebuah taverna kecil di dekat sungai. Tidak banyak orang yang duduk dan makan di sana. Tapi hidungku mengendus bau yang nikmat, membuat perutku semakin berkelit. Aku segera mencari target. Sepasang manusia sedang heboh bergurau selagi menenggak cairan dari gelas besar mereka. Piringnya penuh oleh bau yang kuyakini itu daging domba panggang. Aku mulai mendekati meja mereka dan mempersiapkan wajahku.

"Oi, kucing sialan lagi." ujar salah satu manusia yang bertubuh gemuk. Wajahnya benar-benar bulat, hidungnya pesek, pipinya tembam, matanya sayu, giginya hilang satu. Aku tak mengerti bagaimana aku bisa selalu bertemu dengan manusia jelek. Tapi demi makanan, aku tetap harus menampilkan wajahku yang rupawan.

"Hush! Hush!" seru seorang lagi di hadapan si gendut. Manusia ini tidak tampak begitu jelek sepertinya. Tapi suaranya seperti tikus. Aku suka tikus, hanya jika aku harus membunuhnya.

Aku mencoba memasang wajah memelasku sekali lagi namun orang-orang ini mulai melepas sepatu mereka. Aku terpaksa kabur sebelum aku berbau seperti sepatu mereka. Aku yakin bahkan lebih busuk dari cairan yang mereka minum. Memuakkan.

Aku mencoba mendekati sebuah meja lain ketika aku menemukan dua ekor mencuat di balik tong sampah di samping taverna. Satu hitam, satu putih bercampur abu-abu. Suara gemerisik cakaran mereka di dalam tong sampah sampai terdengar di tempatku berdiri. Aku tak kenal mereka, tapi rasa maluku mendarah daging. Menyedihkan.

Tiba-tiba sebuah batu terbang ke arah mereka dan mengenai tong sampah kosong di sebelahnya. Kedua kucing itu langsung kabur seketika.

"Bagus, kawan! Beri mereka pelajaran!" seru si gendut dari mejanya. Kawannya tertawa terbahak hingga hampir jatuh dari kursinya. Suaranya bak tikus tergencet barel anggur. Memekikkan telinga.

"Aku hanya butuh waktu sendiri, aku tak butuh suara kucing mengais-ngais sampah." ujar seseorang yang tadi ingin kudekati. Jadi orang ini yang melempar batu itu. Dia menenggak gelas penuh anggur dan bersendawa dengan keras. Menjijikkan.

"Oi, kucing jelek itu masih di sini. Pergi sana!" seru si tikus yang kulihat sedang mencoba berdiri. Sudah tikus, mabuk pula. Aku tak bisa berada dekat orang-orang memuakkan ini.

"Aku yakin majikannya membuangnya karena warnanya yang jelek! Siapa yang memelihara kucing berwarna coklat seperti itu?" seru si tikus diikuti tawanya yang menjengkelkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Red StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang