Episode 2

66 35 46
                                    

Elora mundur perlahan, setelah beberapa langkah dirinya melarikan diri masuk ke dalam mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi.

Saat ini nyawa tidak lagi dia pentingkan, yang terpikir olehnya hanya ingin meluapkan rasa sakit di hati.

"Arrgghh!" Sambil memukul setir dan menambah kecepatan.

Ciitt!!

Suara decitan rem begitu nyaring, mobil hitamnya dia hentikan di tepi jalan yang di bawahnya terdapat sungai. Dengan lunglai, Elora keluar, berdiri di atas trotoar dan menyandarkan punggungnya pada besi pembatas.

"Mengapa begini?" Lirih Elora terisak membalikkan tubuh menghadap sungai.

"Setelah rumah terasa seperti neraka, sekarang aku dihancurkan oleh orang yang ku cinta? Dia alasan dibalik ketegaranku selama ini, tapi... arrggh! Sulit ku percaya!" Raungannya terdengar sangat pilu.

"Ini teramat sakit. Aku tidak kuat menahannya." Kembali melirih memukuli dada yang terasa seperti ditusuk ribuan belati.

Sambil memejamkan mata, Elora merasakan semilir angin yang ikut menusuk tulang mengakukan persendian.

Tidak henti-hentinya air mata itu keluar walaupun berulang kali Elora menghapusnya.

"Lalu sekarang untuk apa aku hidup? Ya, untuk apa?" Teriaknya frustasi hingga tubuhnya lebih mencondong ke depan.

Belum sempat untuk kembali mengeluarkan suaranya, tiba-tiba sebelah tangan besar milik seseorang memeluk perut Elora dan menarik tubuhnya dari belakang dengan kasar.

Elora terpekik.

Saat matanya bertemu dengan tatapan tajam orang itu, keduanya terkejut.

"Kau!" Ucap mereka bersamaan, masing-masing mengambil satu langkah memberi jarak.

Elora menggeram. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku?" Tunjuknya tepat di depan wajah pria itu.

"Aku mengikutimu? Tidak berguna!" Sarkasnya menepis tangan Elora.

"Bukankah tadi kau berada di dekat restoran? Ku rasa tempat itu sangat jauh dari sini."

"Karena memang aku hendak pergi ke Club. Bukan mengikutimu."

"Jika benar tidak, bukankah seharusnya sekarang kau sudah di sana? Mengapa kau justru menarikku tiba-tiba dan lebih tepatnya mengapa kau berada di hadapanku?"

"Aku berada di tempat ini karena tadi melihat seorang wanita di tepi jalan yang sunyi, malam-malam seperti ini, meraung meneriaki nasibnya, bahkan berpikir mengakhiri hidup dan hampir melompat ke dalam sungai."

Elora melongo mendengar penjelasan panjang lebar pria di hadapannya.

"Apa kau bilang? Siapa yang kau maksud hampir melompat?"

"Siapa lagi memangnya wanita yang ku lihat di sini?" Jawab pria itu dengan pertanyaan.

Seketika Elora tertawa mengejek.
"Kau pikir aku sebodoh itu sampai mengira aku akan melompat ke bawah sana?"

Pria tersebut mengedipkan mata berkali-kali mencerna perkataan Elora. Setelah mengerti, dia mengusap tengkuknya terlihat bingung harus berkata apa.

Akhirnya, pria itu memilih pergi meninggalkan Elora tanpa bersuara.

Elora berdecak kesal melihat pria dengan mobil navy yang meninggalkannya. Suasa hatinya menjadi semakin buruk saja sekarang.

Terdiam sejenak, Elora masuk ke dalam mobil. Dia menghela nafas pelan, lalu menghidupkan mesin dan menancap gas.

Lima belas menit yang dia butuhkan untuk sampai di depan gedung bertuliskan Royal Club. Entah mengapa hatinya membawa Elora ke tempat ini. Padahal seburuk apapun masalahnya, dia tidak pernah mencoba masuk ke dalam tempat maksiat itu.

Hingar bingar dentuman musik yang memenuhi seisi ruangan dan sorak sorai orang-orang yang sedang menikmati kebebasannya, pikiran Elora menggelap.

Dia sudah menghabiskan enam gelas tequila kurang dari dua puluh menit. Sambil menopang dagunya dengan sebelah tangan, Elora terus menunduk menikmati minuman berwarna karamel dan terus menggumamkan rasa sakitnya di meja bar.

"Zen, berikan aku rum dua gelas!" Pinta seorang wanita berpakaian dress biru muda setengah paha dengan rambut tergerai sepinggang. Dia menoleh sebentar ke arah Elora, setelahnya mengangkat bahu sekilas.

Pria yang dipanggil Zen mengangguk segera memenuhi pesanan wanita tersebut.

"Pesanan anda, Nona." Zen menyodorkan dua gelas rum.

"Thank you." Ucapnya. Dia memasukkan serbuk berwarna putih dari plastik berukuran sangat kecil lalu mengaduknya sedikit menggunakan sedotan.

"Misya. Kau lama sekali. Yang lainnya sudah menunggumu sejak tadi." Ucap seorang pria kepada wanita bernama Misya itu.

"Ah, iya. Aku baru saja memesan minuman. Ini untukmu!" Tangannya terulur memberikan gelas yang berada di tangan kanannya.

"Hm.. Thank you." Pria tersebut menerimanya sambil tersenyum.

Saat dia minum, Misya terus memandangi dengan mata berbinar. Berharap obat yang dia masukkan tadi dalam minuman segera bereaksi.

"Awh!" Minuman Elora tertumpah pada pakaian Misya.

"Tidak bisakah kau berjalan dengan hati-hati?" Bentaknya sambil berusaha membersihkan baju menggunakan tisu.

"Maaf. Aku sedikit pusing dan tidak sengaja menabrakmu." Elora memijat pangkal hidungnya.

"Kau?" Pria tersebut terkejut melihat Elora.

"Kenapa? Kau kenal dia?" Tanya Misya.

"Kurasa tidak. Mungkin hanya mirip dengan teman kantorku." Kilahnya menutupi keterkejutannya.

"Sudahlah, Sya. Lebih baik kau ke toilet dulu." Sambungnya.

Menghela nafas kasar, wanita itu mengangguk lalu menatap sinis pada Elora sebelum beranjak pergi.

"Apa yang kau lakukan di sini? Apa sekarang kau yang justru mengikutiku?" Tanya pria tersebut mendekati Elora.

Elora mendongak, dengan setengah kesadarannya dia menjawab dengan balik bertanya. "Siapa yang mengikutimu, heh? Melihatmu saja baru kali ini."

Pria tersebut menarik pinggang Elora hingga tubuh mereka saling menempel. Dia tersenyum devil. "Jadi kau berpura-pura lupa? Baiklah sepertinya aku harus memberimu pelajaran karena sudah mempermalukanku.. "

Dia tidak bisa melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang menjalar pada tubuhnya. Suhu ruangan yang cukup dingin justru menjadi terasa sangat panas.

"Memberiku pelajaran? Oh ayolah, aku baru saja menyelesaikan gelar sarjana komunikasi dua hari yang lalu." Jawab Elora terkekeh kecil. Dia menarik tangan pria tersebut dan membawanya ke dance floor.

Elora meliuk-liukkan tubuh indahnya mengikuti irama musik, lalu menyimpan kedua tangan pria itu ke pinggangnya, sementara tangan kiri Elora bertengger nyaman di bahu kanan pria yang tidak dia ketahui namanya siapa.

"Lebih baik... " Elora membelai menyusuri setiap lekuk wajah pria itu. Dari mulai dahi, hidung, dan sampai di permukaan bibir dia mengusapnya pelan.

Dalam satu tarikan nafas, pria itu menerkam bibir ranum Elora. Sumpah demi apapun, sejak tadi perasaan aneh yang semakin terasa sudah ditahannya. Jadi jangan salahkan dia jika kini tidak bisa mengendalikan lagi tubuhnya untuk berhenti mencium bibir Elora yang terasa manis dan memabukkan.

Pada awalnya Elora sempat terkejut menerima serangan tiba-tiba. Namun itu tidak berlangsung lama karena setelahnya Elora membalas ciuman tersebut.

Ciuman berubah menjadi lumatan dan mereka saling mencecap. Tangan pria itu tidak diam saja, dia mengusap lembut punggung Elora.

"Enggh!"

Mendengar lenguhan Elora, pria itu melepas pagutannya karena mereka sudah terengah kehabisan nafas. Dia menggeram, tidak kuat karena sesuatu di bawah sana semakin terasa sesak.

Tanpa aba-aba dia mengangkat Elora, membopongnya keluar dari gedung itu. Elora tidak bersuara, dia hanya menatap pria itu dengan mata sayunya.

ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang