“Mas satu ya, biasa aja, yang sedang.” Suara manis Risa mengawali pembukaan kedaiku hari ini dengan pesanan nasi goreng kesukaannya.
Kode yang diucapkan Risa barusan umumnya sudah banyak yang mengetahui. Dia pesan satu porsi nasi goreng dengan racikan bumbu dan bahan yang biasa dipesan dengan tingkat kepedasan yang sedang. Sebuah kode yang tentunya gak muncul begitu saja saat dulu Risa menjadi pelanggan baruku, tapi kode itu muncul setelah melalui proses dan tahapan yang cukup lama, hingga dia menjadi pelanggan tetapku, istilah kerennya ‘member’ gitu deh.
“Oke nona manis” Dengan sigap mulut dan tanganku merespon pesanannya.
Sambil tanganku bergerak, mataku sejak tadi memperhatikan Risa yang entah kenapa berbeda sekali air mukanya malam ini. Tanpa menghiraukan gerak tangan yang mengolah bahan, mataku fokus melihat gurat-gurat cemas yang sepertinya masih membekas. Untungnya tangan-tanganku sudah hafal betul urutan-urutan meracik nasi goreng yang ku buat, jadi mataku bisa tetap asyik memaksa dan menerka apa yang terjadi dengan gadis di depanku ini.
Risa adalah salah satu pelangganku yang cantik, periang, dan mudah bergaul. Walau masih sekolah tingkat menengah, gaya bicaranya bisa mengimbangiku yang tentu dari umurnya saja terpaut jauh. Kekagumanku pada cantiknya bukan mengindikasikan bahwa aku diam-diam naksir. Saat itu aku menatap parasnya karena pelangganku ini tak pernah kulihat sebegitu cemasnya. Kalaupun ada masalah dia pasti lapor duluan tanpa kutanya ada apa. Tapi kali ini tidak begitu. Tidak seperti ketika dia jadian. Tidak juga seperti saat dia putus dengan pacarnya. Tidak pula seperti ketika dimarahi ibunya. Saat ini dia hanya terdiam dengan pandangan kosong.“Kamu kenapa Sa?” pertanyaan akhirnya keluar dari mulutku karena keingintahuan yang cukup kuat.
"Gapapa mas.”“Ciyuuuus?” iseng-iseng kugoda dia dengan bahasa alay seadanya.
“Haha. Apasih mas. Udaah ga usah godain Risa. Tuh nasi gorengnya ntar gosong loh.” Kilahnya dengan senyum dan tawa memaksa.
“Tenang aja tangan mas ada matanya, gak mungkin gosong.”
“Sebentar ya mas, ada telepon nih.” Tiba-tiba saja obrolan garingku terpotong oleh dering ponsel pintarnya.
Sejurus kemudian tampak basah di ujung kelopaknya. Tak menunggu menit, bibirnya mulai membentuk guratan sedih, dan isak mulai terdengar. Saat itu juga aku tahu memang ada yang gak normal dengan kehidupannya sekarang.
Nasi goreng pesanannya sudah jadi. Kumatikan kompor gas. Namun anehnya tanganku yang biasanya terprogram melayani pesanan tiba-tiba lupa untuk melanjutkan tugas membungkus nasi goreng yang telah matang. Entah karena ke’kepo’anku atau memang ini sangat serius sehingga Risa membutuhkan orang lain untuk membantunya. Kakiku tiba-tiba saja melangkah mendekat tanpa perintah.
"Ada apa Sa? Ada masalah?” pertanyaan apa ini? Menanyakan ada masalah, jelas-jelas si gadis berduka, apa namanya kalau bukan sedang ada masalah?
"Maaf mas, boleh Risa makan nasi gorengnya di sini aja?” jawabnya.
“Iya tentu boleh, sebentar mas taruh di piring dulu nasinya.” Langsung aku bergegas menempatkan bulir-bulir nasi ke atas piring putih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kedai Nasgor Mas Andi
Short StoryBercerita tentang Mas Andi, seorang tukang nasi goreng yang tiap malam dagang di rumahnya yang selalu saja mengalami hal-hal yang unik dalam kesehariannya berwirausaha menjadi tukang nasgor. Yuk ah, penasarin cerita-ceritanya Mas Andi.