'Dari aku yang bisa mendengarmu,'
-The Milfe : HI Raeth-
Seluruh murid asrama Adhulpus dan para staff berkumpul menjadi satu di lapangan. Mereka kompak memakai pakaian bebas berwarna jingga dan hitam, beberapa dari mereka juga ada yang memakai kostum spesial untuk merayakan halloween.
Festival Labu Berdarah atau Festival Kematian diadakan di lapangan terbuka dengan berbagai sajian makanan, mulai dari makanan manis, asam ataupun asin. Salah satu yang menjadi favorit adalah permen tulang dan kue mata berdarah. Permen tulang dengan baluran sirup merah pekat memiliki cita rasa asam manis yang menyegarkan sedangkan kue mata berdarah terbuat dari labu dan selai stroberi dengan tekstur kue yang lembut.
Schone memilih duduk di bawah pohon rindang sendirian. Dirinya mengamati sekumpulan orang di lapangan. Berbeda dengan murid-murid yang berpakaian menyeramkan, Schone memilih memakai kaos jingga dengan rok kotak-kotak jingga hitam selutut dan outwear hitam. Rambutnya di kepang dua dengan pita merah hasil karya Sana. Ditangan Schone, sebuah permen rasa jeruk yang masih terbungkus langsung disimpannya ke dalam saku rok saat melihat Sana berjalan ke arahnya dengan dua roti sandwich.
Sana duduk disamping Schone, memberikan salah satu roti yang dibelinya.
"Terima kasih," ujar Schone, dia segera memakan roti isi sayuran dan potongan sosis.
"Apakah ini perayaan halloween pertamamu?" tanya Sana.
Schone mengangguk.
"Sudah kutebak. Dulu, disekolahku juga tidak ada perayaan halloween," timpal Sana.
"Lalu mengapa asrama Adhulpus merayakannya?" kini, Schone balik bertanya.
"Hmm." Sana berpikir seraya mengunyah potongan roti yang masuk ke mulutnya. "Mungkin tradisi, seperti cerita yang kuceritakan kemarin."
Schone menatap Sana bingung.
"Tentang rumor menganai sekte sesat. Mungkin ada hubungannya dengan perayaan halloween. Seperti halnya sebuah tradisi turun temurun yang jika tidak dilaksanakan akan memakan korban jiwa?"
"Aku tidak berpikir kesana. Tapi jika rumor itu benar..." Schone menggantung kalimatnya. Dia menatap lurus kedepan, imajinasinya berjalan membayangkan sesuatu.
"Pasti akan seru!" teriak Sana mengejutkan Schone. "Aka ada banyak kematian dan saingan untuk mendapat peringkat teratas berkurang!" lanjutnya dengan mata berbinar.
"Bukankah itu menyeramkan?" Schone menatap heran Sana.
"Tentu tapi pasti ada sisi serunya!" balas Sana, menandakan bahwa dia memang bermain bersama kematian.
"Ingin bertaruh siapa target pertamanya jika rumor itu benar?" tawar Sana.
Schone bergidik ngeri. Selain memiliki sifat ceria, rupanya Sana sedikit menakutkan. "Kita bahkan tidak tahu apakah itu benar atau tidak," ujar Schone.
"Aku tebak, anak dari kelas Phezulu I akan menjadi yang pertama. Si murid laki-laki bertubuh gempal dengan gigi yang tidak rata. Itu, dia disana!" Sana menunjuk seorang murid laki-laki yang memiliki ciri yang sama dengan deskripsinya, memakai kemeja coklat dengan celana pendek kain formal berwarna jingga dan sepotong es krim buah di tangan kanannya.
"Kenapa harus dia?"
Sana mengangkat bahu. "Aku hanya menebak."
Schone memperhatikan sosok yang dituju Sana.Dia pernah melihat anak itu saat makan siang kemarin. Porsi makannya cukupbanyak, mungkin dua kali lebih besar dari porsi makan siang Schone. Anak laki-lakiberdiri 7 meter dari tempat Schone dan Sana duduk, dengan es krim yang mulaimencair karena panas. Jika diperhatikan, sosoknya terlihat lucu menurut Schone.
♘♞♘
"Aku tidak menyangka akan menjadi tetangga!" seru Sana di ambang pintu kamar Schone.
Sana membuat Schone heran dengan tingkah lakunya hari ini. Dia tiba-tiba saja terus mengetuk pintu kamar Schone sembari berteriak minta dibukakan pintu hingga Schone membukanya pun, anak itu tetap berteriak.
Sana berdiri dengan dua koper miliknya yang diletakkannya di depan pintu kamar Schone. Schone mengira Sana akan pamit pulang, namun ternyata pemikirannya salah. Nyonya Redel memindahkan Sana mengikuti akselerasinya. Sebelumnya dia meninggali kamar di lantai 4 paling ujung.
"Jadi seperti ini kamarmu?" Sana menerobos masuk, dia melihat-melihat perabotan kamar Schone dengan meninggalkan koper-kopernya yang masih berada di luar. "Seharusnya kamu mendesainnya dengan bagus agar lebih nyaman." Sana berhenti di jendela, dia menatap ke luar. "Pemandangannya indah, berbeda dengan kamarku yang sebelumnya. Kamu tahu? Nyonya Redel dulu memberikan aku kamar di bagian paling ujung. Disana pemandangannya sangat jelek juga tidak ada cahaya matahari yang bisa masuk."
"Dilantai berapa kamarmu?"
"4."
"Bukankah itu untuk kelas lain selain Phezulu?" tanya Schone bingung.
Sana berbalik. "Saat itu aku tidak mendapat kamar di lantai 5. Dan biasanya anak-anak tertentu akan mendapat kamar paling ujung."
"Maksudmu?"
Sana duduk di tepian ranjang. "Maksudku, hanya anak-anak nakal yang mendapat kamar paling ujung. Tapi aku bukan anak nakal! Itu hanya karena aku tidak kebagian kamar saja," jelas Sana.
Gadis itu bangkit dan keluar kamar, dia meraih kopernya. "Kupikir kita bisa menghias kamarmu lain waktu. Aku ini ahli dalam mendesain," pamer Sana. Dia melambaikan tangannya kepada Schone yang hanya diam memperhatikan sikap Sana.
Kamar baru sana terletak persis disamping kamar Schone. Seharusnya Sana sudah menempati kamar itu sejak seminggu yang lalu, namun gadis itu terlalu sibuk untuk mengejar materi yang tertinggal. Sana adalah salah satu murid terpintar Asrama Adhulpus, dia selalu meraih peringkat 2 besar. Salah satu saingannya adalah Robert, murid laki-laki bertubuh gempal yang tadi siang menikmati sepotong es krim buah.
Schone menutup pintunya lalu mengamati kamarnya. Sepertinya Sana benar, dia harus mendesain kamarnya agar terlihat lebih menarik. Kamarnya saat ini terlalu sederhana dan tanpa hiasan apapun. Mungkin dia akan benar-benar membutuhkan bantuan Sana untuk menghias kamarnya meski Schone sendiri tidak pernah melihat isi kamar Sana.
♘♞♘
Sosok anak laki-laki itu berjalan dalam gelap. Seraya mengunyah permen karetnya, dia berjalan santai di koridor. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celana. Tidak ada raut ketakutan sama sekali meski keadaan koridor terlihat sepi dengan cahaya temaram. Seharusnya tidak boleh ada satu siswa pun yang berkeliaran mengingat jam malam masih di adakan. Namun hal ini tidak berlaku bagi anak yang akrab disapa Ber itu. seringkali, setiap seminggu sekali dia berkeliaran saat malam hanya untuk melepas stres dan beruntungnya tidak ada satu staf yang berhasil mengetahui aksinya.
Ber menghentikan langkahnya saat undakan pertama menuju lantai 3. Tubuhnya bergetar seketika melihat sosok lain di hadapannya. Cahaya yang gelap di tempat itu membuat Ber tidak bisa mengenali sosok yang berdiri di atasnya.
"Maaf, aku hanya ingin mencari udara segar," ujarnya dengan suara bergetar.
Sosok itu tidak membalas.
Ber berlutut, menautkan jari-jarinya. "Aku melakukan pengakuan, aku bersalah karena melanggar jam malam. Aku bersedia mendapat hukumannya, apapun itu!" serunya.
Sosok dalam kegelapan itu maju mendekat.
Bruk.
Tubuh besar Ber terjungkal ke lantai dari undakan pertama. Dia pingsan, atau mungkin juga mati akibat benturan di kepalanya.
Sosok itu melemparkan batudengan bercak darah ke sembarang tempat. bibirnya menyeringai dari balik topeng yang tertutup tudung.
♘♞♘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Seasons : HI Raeth
TerrorThe Seasons : HI Raeth "GELOMBANG SENDU PEMBAWA PENYESALAN," Schone Tocther gadis asal Jerman yang diikirim oleh kedua orang tuanya ke sebuah asrama tua di kota Heidelberg, Jerman. Bukan tanpa alasan mengapa gadis berusia 13 tahun itu dikirim kesana...