0.2 [Revisi]

11.9K 1.3K 392
                                    

[0

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[0.2 : hari pertama.]

. . . . . . . .

Sorakan-sorakan heboh dan raut wajah terkejut, menyambut kedatangan Mark malam ini. Tidak heran dan bingung, sejak awal ia tahu bagaimana para adiknya akan bereaksi. Satpam di depan komplek saja terkejut melihatnya pulang dengan seorang bayi. Untungnya ia pintar, dengan alasan bahwa bayi itu adalah keponakannya dan tadi ia baru saja menjemputnya, satpam itu tidak lagi mencurigainya.

Kita urus bayi ini semalam, kasihan. Ruangan yang tadinya ramai, langsung hening setelah ia mengeluarkan keputusan itu. Tapi sesungguhnya Mark juga sudah kehabisan akal, akan lebih jahat jika ia membiarkan bayi itu kedinginan di luar sana.

Sekarang ia menaruh perhatian pada raut wajah keenam adiknya. Sedangkan mereka memandangi bayi yang tengah berbaring dengan tenang di atas meja, sudah tidur. Mark tahu mereka sedang memikirkan keputusannya, tidak mudah bagi seorang laki-laki mengurus bayi tiba-tiba.

"Ngurus bayi gak gampang, bang."

Ia akui, adik kandungnya memang berujar secara realistis. Tetapi tanpa Jeno perjelas sekalipun, Mark sudah memikirkan bahwa mengurus bayi bukanlah hal yang mudah. Tidak mungkin ia mau repot-repot berkeliling ke berbagai panti asuhan, jika ia menganggap mengurus bayi adalah suatu hal yang mudah.

"Abang tahu. Tapi setelah 3 panti asuhan yang abang kunjungi, salah satu dari mereka pun gak ada yang mau nerima," Ujar Mark, diakhiri dengan helaan putus asa, "Cuma semalem. Besok abang usahain cari tempat lain yang bersedia nampung bayi itu."

Suara-suara mulai terdengar. Tetapi bukan sebagai ucapan, melainkan helaan napas atau decakan singkat. Keputusan ini tidak mudah, sungguh. Bahkan sepasang suami istri pun perlu berbulan-bulan memikirkan keputusan tepat untuk mengangkat seorang anak. Dan mereka hanyalah pemuda remaja biasa, lebih parah dari sepasang suami-istri dalam urusan ini.

Terlebih mereka adalah seorang laki-laki yang masih remaja! Tidak mudah bagi mereka untuk mengurus seorang bayi. Jarang jiwa keibuan muncul dalam diri seorang pemuda dan jiwa remaja mereka masih liar.

Jean menggeleng, hal itu menarik perhatian Mark dan kelima orang lain di sekitarnya.

"Gak mungkin cuma sehari, bang. Lu bawa dia ke sini aja, udah untung bagi dia."

"Lagian kenapa harus dibawa?" Tanya Clay, tatapan matanya tajam ke arah Mark. Laki-laki itu sepertinya kesal.

Rendy menegur Clay dengan memanggil namanya, menyuruh laki-laki itu untuk diam atau menyesali pertanyaannya. Disaat seperti ini, mereka pun tahu bahwa hal-hal yang keluar dari bibir Clay akan menyinggung hati. Seperti, laki-laki itu tidak dapat hidup tanpa sarkasme.

"Terus, apa yang menurut kamu harus abang lakuin kalo lihat seorang bayi di dalam kardus?"

"Tinggalin--"

"Kamu manusia bukan, Clay?" Henan agak membentak. Tidak suka dengan satu kata yang keluar dari bibir yang lebih muda. Gila yah? Bagaimana bisa salah satu orang yang begitu ia sayangi dapat berpikir sependek itu?

Mark menghela napas. Waktu selarut ini bukanlah saat yang tepat untuk berdebat atau memulai pertengkaran serius. Ia mulai menyalakan diri sendiri, tetapi percuma saja lebih baik fokus mencari solusi.

"Manusia gak harus baik terus. Buat apa bawa pulang bayi ini, kalau akhirnya juga kita gak bisa ngurus? Lu mau buat bayi ini menderita gitu, bang?"

Walaupun menusuk, tetapi kebanyakan dari ucapan Clay adalah fakta. Maka dari itu kadang mereka tidak suka jika Clay mulai berucap, karena jujur saja hal itu dapat membuat mereka semakin tertekan.

"Abang minta maaf. Besok abang janji bakal cerita lebih jelas. Tapi tolong sekarang pada tidur yah, besok masih hari kerja," Ucap Mark, kedua matanya memandang adik-adiknya satu per satu. Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju bayi itu. Sejujurnya Mark sudah sangat mengantuk. Bahkan tidak dapat berpikir jernih untuk mencari solusi dari permasalahan ini.

"Bang, sama gua aja," Ucapan Jean menghentikan pergerakan Mark yang hendak membawa bayi itu pergi ke kamarnya. Agak merasa lega, mendengar Jean bersedia mengurus bayi itu semalam. Setidaknya ada sedikit rasa antusias.

Sejujurnya seperti yang ia perhatikan, Jean yang sejak awal tidak melepaskan pandangannya dari bayi itu. Tatapannya sendu, menyiratkan rasa iba begitu dalam. Mark paham, karena ia dan juga mereka tahu bagaimana rasanya dibuang.

"Ntar lu keganggu, Je."

"Engga, bang." Ucap Jean mutlak, "Udah biasa."

Jean membungkuk, lalu meraih bayi itu ke dalam gendongannya. Lalu tanpa pamit atau berucap sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan meninggalkan ruang tengah. Menaiki anak tangga demi anak tangga untuk mencapai lantai atas, tempat kamarnya berada.

Tak lama, Clay juga menyusul. Berjalan menuju kamarnya, meninggalkan mereka. Laki-laki itu sepertinya sudah muak. Mark tahu, Clay tidak bermaksud menyalakan siapa pun. Tetapi hanya khawatir atau muak dengan para manusia yang ia anggap terlalu baik dan bodoh.

"Gak ada catetan atau apa gitu loh, bang?" Dengan dialeg khas Jawa, Rendy bertanya pada Mark. Hanya ingin memastikan, mungkin saja ada berita penting tentang bayi itu.

Tetapi gelengan lemah itu, menjelaskan segalanya. Mereka tidak memiliki celah untuk mengetahui sedikit hal tentang bayi itu. Seterburu itukah orang tuanya, hingga meninggalkan secarik surat pun mereka enggan?

"Udah kalian tidur dulu. Besok kita bicarain lagi."

Walaupun lelah dan emosinya berkecamuk. Mark tetap mengawasi para adiknya yang tersisa, hingga mereka masuk ke dalam kamar. Ia tidak akan membiarkan dirinya masuk kamar terlebih dahulu.

Henan menepuk-nepuk bahu Mark dua kali, sebelum melangkah menjauh menuju kamarnya. Hanya berusaha menenangkan laki-laki itu, seakan-akan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetapi tentu saja kita semua tahu bahwa tepukan itu tidak mengubah suasana hati Mark yang tetap gundah.

"Bang."

"Masuk, Bran."

Si bungsu menatap yang lebih tua ragu-ragu. Ia tidak ingin berbicara dari awal, karena sebagai lelaki paling muda ia rasa tidak ada gunanya mengoceh atau memberikan saran yang menurutnya terdengar kekanakan. Gibran setidaknya belum sedewasa para abang-abangnya itu. Tetapi melihat Mark resah, membuat dirinya juga resah.

Gibran jelas tahu kalau semua ini bukan salah Mark. Ia percaya sejak dulu bahwa abang tertuanya ini tidak akan memilih keputusan secara gegabah. Sekali pun iya, mungkin karena terpaksa. Mark tidak akan membawa mereka ke dalam masalah berat.

"Abang gak apa apa. Ayo masuk, udah malem. Abang juga mau tidur."

Gibran memilih untuk patuh. Lagipula kata-katanya mungkin tidak dapat membuat Mark tenang. Setidaknya ada seulas senyuman tipis pada wajah Mark, membuatnya sedikit tenang.

"Ya udah. Malam, bang." Kalimat terakhir Gibran, sebelum akhirnya laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Mark dengan seluruh rasa resah.

. . . . . . .

Guavahen. 28/04/23

Terima kasih sudah membaca, maaf bila ada salah kata.

The Baby || NCT DREAM [DALAM TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang