Part 1

7 0 0
                                    

“Maksud kamu apa minta putus? Sadarkah apa yang kamu ucapkan padahal kamu berjanji bahwa dua bulan lagi kamu akan menikahiku?”

“Apakah perlu aku jelaskan kepadamu bahwa pria mana pun menginginkan bersanding dengan wanita yang masih suci lagi menjaga diri!” ucap sang pria dengan nada tinggi.

“Aku kehilangan kesucianku karena dirimu, Farid!!!  Kamu yang merayu,  meminta dan berjanji akan menikahiku dua bulan lagi!!” sang wanita tidak kalah meninggi.

“Hey tuan putri yang sombong! Kau setiap hari memarkan tubuhmu dengan berpakaian semaumu padahal banyak mata laki-laki yang menginginkan tubuhmu. Apakah saat ini aku pantas disebut merayumu padahal sebenarnya dirimu yang memberikan umpan kepada mereka untuk menikmati tubuh indahmu.”

Sang wanita hanya menangis tergugu mendengar setiap ucapan yang dilontarkan oleh pria bernama Farid. Saat ini tidak ada yang bisa dilakukan olehnya selain menanggung rasa sakit hati karena diputuskan oleh pria yang berjanji akan menikahinya dua bulan lagi.

Diiming-iming dengan janji akan dinikahi dua bulan lagi membuatnya nekat melakukan hubungan terlarang yang berakhir penyesalan. Andai waktu bisa diputar mungkin dirinya enggan untuk memberikan segalanya dan memilih mendengarkan nasehat teman-teman kampusnya juga ibunya.

“Amira, bunda gak suka kamu terus-terusan berpakaian terbuka seperti itu. Cobalah untuk menutup aurat,” nasehat ibunda setiap hari yang selalu disampaikan pada putri semata wayangnya itu.

“Bun, badan aku bagus loh dan bagusnya lagi kalau badan aku itu banyak dilihat oleh orang lain.”

“Bunda adalah ibu kamu, Mira. Bunda yang saat ini bertanggung jawab atas diri kamu setelah ayah kamu meninggal. Bunda tidak ingin terjadi sesuatu dengan kamu.”

“Sekali pun aku berpakaian seperti ini, aku akan tetap menjaga kesucianku sampai aku menikah dan hanya suami aku yang berhak mendapatkannya.”

Amira menangis tersendu mengingat setiap nasehat ibunya yang kadang membuatnya kesal setiap hari. Bukan hanya ibunya Nuha juga membenci seorang teman kampusnya yang bernama Aisyah.

“Amira...”

“Apa?” jawabnya dengan sinis. “Lo mau ceramah lagi kan ke gua terkait pakaian gua? Lo urus aja urusan lo sih, Aisyah.”

Amira pergi begitu saja meninggalkan Aisyah yang hanya mengelus dada melihat teman sekelasnya yang senantiasa berpakaian semaunya. Kaos ketat yang membentuk lekuk tubuh juga celana jeans ketat kadang juga menggunakan yang sobek-sobek. Entahlah tidak dapat dibayangkan ke kampus menggunakan pakaian demikian.

Selama ini Amira senang ketika tubuhnya banyak yang memuji terutama kalangan pria.

“Wih cantik...”

“Badanya itu loh langsing dan juga putih...”

“Rambutnya bagus hitam dan lurus...”

Itulah pijian-pujian yang sering dilontarkan hingga membuat Amira tersenyum dan juga bangga memiliki tubuh yang begitu indah. Amira enggan menutup aurat karena merasa bahwa tidak akan ada lagi pujian untuk dirinya bila keindahan itu ditutupi.

Sekarang semua hanya tinggal penyesalan dan kesuciannya tidak akan bisa dikembalikan hanya tinggal bagaimana dirinya melanjutkan kehidupan.

Dua bulan setelah diputuskan oleh pria bernama Farid, Amira merasa tidak enak badan dan merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dirinya memutuskan untuk pergi ke klinik karena ibunya terus-terusan memaksa.

“Sudah menikah?” tanya seorang dokter yang sedang bertugas di klinik yang dikunjungi oleh Amira dan Ibunya.

“Anak saya belum menikah, dokter. Kalau boleh tau anak saya kenapa?”

Amira sudah merasa tidak nyaman ketika dokter menanyakan statusnya. Untuk apa dokter tersebut menanyakan tentang statusnya kalau bukan untuk persoalan diagnosa terkait sakitnya.

“Kemungkinan hamil dan baiknya di tespack saja dulu ya, bu.”

Setelah dokter memberikan testpack, Amira rasanya ingin mengakhiri hidupnya bila memang benar dirinya hamil. Bagaimana perasaan ibunya bila tahu dirinya hamil.

Apa? Garis dua

Bersambung

Bukan PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang