I

42 4 0
                                    

Dulcie melirik jam di atas pintu. Pukul dua belas kurang lima menit.

Kamarnya hanya diterangi lampu belajar, kapnya menghadap laptop dan setumpuk buku tebal. Sudah empat jam sejak dia menempel di meja, enggan bergerak bukan karena memang senang tapi karena terpaksa. Pekerjaannya tidak bisa dikatakan selesai, tapi Dulcie ingin mengakhirinya di sini. Tidak ada gunanya melanjutkan melampaui larut malam. Sebentar lagi pukul dua belas, yang berarti dia mesti bergegas.

Laptop dimatikan, lampu dipadamkan. Satu-satunya penerangan hanyalah sinar lampu jalan yang merasuk samar menembus tirai merah muda tipis. Dulcie duduk bersandar, diam menunggu, kedua mata terpejam.

Pendar cahaya temaram. Suara bisikan nyaring seperti desis soda. Jam di dinding tiba-tiba terdengar lebih kencang, tiap detiknya bagaikan sebuah detak jantung manusia raksasa. Momen itu hanya berlangsung sebentar—semenit pun tidak—sampai suasana kembali sepi dan kelamnya malam menembus kelopak matanya.

Ketika Dulcie membuka mata, yang terlihat olehnya bukanlah laptop di meja, atau tirai jendela di dinding, melainkan kolong meja yang besar. Kursi kayu yang didudukinya menjadi sebesar balkon. Dulcie menunduk menatap dirinya sendiri. Atasan ketat dengan tutu mengembang, semuanya berwarna merah muda pucat. Bagian dada dan pinggangnya penuh manik-manik putih, berkilauan bahkan di dalam gelap sekalipun. Tapi yang paling menarik perhatian dari semua itu adalah apa yang terpasang di kedua kakinya.

Pointe shoes berwarna senada dengan pakaiannya.

Dulcie tak henti-hentinya menatap kagum sepatu itu, mengusap tepiannya yang halus, merasakan bagaimana sepatu itu begitu familier sampai tampaknya akan menyatu dengan kedua kakinya. Menjadi bagian dari dirinya.

Dia melompat turun dari kursi. Jika diperkirakan dalam ukuran normal, jaraknya mungkin sekitar dua meter. Tetapi Dulcie bisa melompat dengan mudah dan mendarat di karpet dengan selamat. Dia masih berdiri di dalam kamarnya, namun semua yang berada di sana berpuluh kali lebih besar.

Atau lebih tepatnya, Dulcie yang mengecil.

Keheningan mendenging di telinga Dulcie. Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas tepat. Masih ada waktu—kian banyak kesempatan untuk menghabiskan momen.

Dengan sepatu baletnya, Dulcie pun mulai menari.


***



Perubahan ini mulai terjadi di awal Desember tahun itu.

Dulcie tidak melakukan apa-apa selain berbaring telentang di ranjangnya malam itu, dengan tatapan kosong menatapi langit-langit kamarnya yang remang. Tubuhnya lelah bukan main. Seharian itu dihabiskannya dengan mengikuti perkuliahan, mendengarkan dosen mengajar sementara dia sendiri terkantuk-kantuk. Tindakan ini agaknya dia sesali kemudian, karena dengan begitu dia tidak membawa pulang ilmu apa-apa. Tapi meski begitu, dia tetap saja meninggalkan buku-bukunya di meja belajar dan merenung tanpa arah.

Belakangan dia mudah sekali lelah. Padahal yang dilakukannya hanya duduk di kelas sepanjang hari, dan itu tidak cukup melelahkan dibandingkan dulu ketika dia masih aktif menari. Dulcie kadang berpikir apakah menarik diri dari Sugarplum membuatnya kehilangan tidak hanya waktu untuk bersantai tapi juga sebagian dari hidupnya.

Selagi berbaring, dia tertidur—atau itulah perkiraannya, sebab tidak ada orang yang bisa menyadari kapan persisnya dia jatuh tertidur. Yang jelas, Dulcie kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah sebuah kabin musim dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu yang dipernis berkilauan. Jendela dilapisi tirai merah, salah satunya tersibak sehingga dia bisa melihat malam yang gelap dan badai salju di luar. Sebuah pohon natal berdiri di sudut kabin, dihiasi ornamen merah dan kuning, ujung bintangnya menyentuh langit-langit. Api berderak di perapian, menjadi satu-satunya penerang. Di hadapannya, duduk di sofa merah memunggungi Dulcie, tampak sesosok pria dengan rambut tebal ikal.

Pas de DeuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang