Alexander hanya ingin menghabiskan sepanjang musim dingin dengan bergelung di ranjang seperti seekor beruang hibernasi.
Tapi, itu pun tidak tercapai.
Akan ada perayaan natal besar-besaran di keluarga, sekaligus menjadi sebuah perayaan besar atas kelulusannya. Sungguh merepotkan. Alexander memilih lulus dari universitas dengan cepat justru karena dia tidak dingin direpotkan. Kepenatannya semakin bertambah sejak Liam datang dan mengajak—memaksanya—ikut pesta natal di rumahnya. Pesta natal di tengah bulan Desember. Liam punya segudang cara untuk memaksanya ikut, dan salah satunya adalah ketika dia memaparkan grand piano putih besar di rumahnya.
"Lantai dua paling ujung. Mainkanlah kapan pun kau menginginkannya," itulah kata-kata pamungkas Liam untuk mengajaknya ikut serta dalam pesta. Alexander merasa bodoh karena mengiakan bujuk rayu tersebut. Pesta itu begitu riuh, dan acara dansanya tidak nyambung dengan partisipan yang didominasi remaja masa kini.
Alexander akhirnya mengungsi ke ruang kerja lantai dua, dengan grand piano putih persis seperti yang diceritakan, memainkan satu lagu sebelum dia hari beranjak menuju tengah malam. Waktu-waktu yang genting.
Tetapi, ada suara langkah kaki di koridor.
Alexander menyembunyikan diri di kolong meja. Entah siapa orang itu, yang Alexander syukuri adalah dia tidak berpikiran untuk mengecek kolong meja. Alexander harus mencari tempat sendiri. Namun, sudah terlambat untuk pergi.
Pendar itu muncul persis di jam dua belas malam. Tubuhnya menyusut kemudian, menjadi sosok yang menghantuinya dua minggu belakangan.
Sebuah boneka pemecah kacang.
Alexander keluar dari tempat persembunyiannya. Dia tidak menemukan siapa pun di ruangan itu. Kegelapan begitu pekat terasa. Alexander mendekati garis cahaya yang muncul dari celah kecil di tirai.
Saat itulah dia melihatnya.
Bersembunyi di kaki sofa, adalah seorang gadis yang mengenakan tutu merah muda mengembang dan sepatu balet. Ukuran tubuhnya kurang lebih sama seperti Alexander, tapi bukan hanya itu yang membuatnya terkejut. Wajah gadis itu familier, baru saja ditemuinya tadi selagi mereka menarikan Pas de Deux.
"Kau ...." Alexander berhenti, seketika sadar bahwa dia tidak tahu siapa nama gadis itu.
"Alexander?" Dulcie memberanikan diri melangkah maju. Dia yakin sekali pandangannya tidak menipu. "Kaukah itu?"
"Ya," hanya itu yang bisa dijawab Alexander.
"Tidak mungkin," Dulcie bergumam. "Bagaimana bisa?"
Tapi itu jenis pertanyaan yang dia ketahui sekaligus tidak ketahui jawabannya. Mereka kini berhadapan dalam jarak yang dekat. Tubuh Alexander masih sama seperti tadi—lebih tinggi daripadanya beberapa sentimeter, semakin tinggi karena keberadaan topi itu. Dulcie memindai pemuda itu dari atas hingga bawah, sama sekali abai terhadap ketidaksukaannya.
Ini nyata. Tidak masuk akal, tapi nyata.
Dulcie berdehem, suaranya seakan sempat hilang saking kagetnya.
"Apa ini bermula dari mimpi?" tanyanya. "Apa kau juga bertemu pria misterius itu?"
Raut Alexander masih datar, tapi tatapannya bisa dengan mudah ditebak. Dulcie menggaruk tengkuk. Masih sulit rasanya mencerna semua yang terjadi. Dari sekian banyak pemuda yang dapat bertransformasi menjadi boneka pemecah kacang bersamanya, Dulcie tidak memikirkan nama Alexander dalam daftar.
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" gumam Dulcie.
Alexander tidak menjawab. Namun dalam hati dia menyimpulkan jawabannya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pas de Deux
Fantasi[ completed ] Desember tahun itu dimulai dengan sebuah kutukan. Setiap pukul dua belas malam, Dulcie akan berubah menjadi boneka balerina, sementara Alexander berubah menjadi boneka pemecah kacang. Kutukan itu membawa Dulcie bertemu dengan Alexande...