III

9 2 0
                                    

"Tahu tidak, apa julukan bagi mereka yang menghabiskan waktu di kampus saat libur semester?" Jane melipat tangan. "Menyedihkan."

Dulcie menutup laptopnya seketika. "Baiklah. Katakan apa maumu."

"Aku mau kencan," kata Jane.

Dulcie mendecak. Mereka duduk berdua di taman belajar kampus, yang tetap buka sekalipun sedang musim liburan. Kenyataannya banyak juga yang memilih keluar dari kamar masing-masing demi mendapat sedikit belas kasihan melalui wi-fi gratis.

"Masih yang kemarin?"

"Jangan membuatku terkesan seperti playgirl," Jane mendengus. "Dan omong-omong, namanya Johnny. J dan J. Romantis sekali, bukan?"

Sejujurnya Dulcie tidak terlalu peduli. Dia menyimpan laptop, mengancingkan tas, pada dasarnya bersiap untuk langsung pergi kapan pun diminta.

"Pukul berapa kalian akan pergi?"

Jane melirik arloji di tangannya. "Sekarang," katanya.

Mereka berjalan dari taman belajar menuju gerbang depan, karena pacar Jane yang membawa mobil hanya bisa menunggu di luar. Hari ini cuaca lumayan cerah meski salju masih menumpuk banyak—cocok sekali untuk berjalan-jalan. Jane memilih waktu yang tepat.

"Kau akan melanjutkan skripsi?" tanya Jane mendadak.

"Sudah semestinya."

"Tidak masalah kalau kau berambisi, tapi setidaknya cari hiburan sedikit. Pergilah berkencan."

Dulcie memutar bola mata. "Bareng siapa?"

"Ya makanya dicari!" balas Jane. "Kalau nggak sama si Alexander aja. Di pesta kemarin kalian menari berdua, kan? Cocok banget, lho."

"Kami nggak seakrab itu."

"Masa? Kalau bukan karena akrab, kenapa sampai diantarin pulang?"

"Hanya kebetulan. Dia membawa mobil dan tidak bisa meninggalkanku pulang sendiri naik bus," seakan belum cukup, Dulcie menambahkan, "Kami nggak punya hubungan apa pun."

Tepat di saat kaki mereka menginjak gerbang kampus, suara klakson mobil membahana. Asalnya dari mobil yang terparkir di tepi trotoar, hanya beberapa meter dari gerbang. Dulcie tidak mengingat plat—memang pada dasarnya tidak punya kemampuan untuk menghapal deretan angka—tapi dia mengenali mobil itu. Kaca jendelanya bergerak turun, sehingga wajah si pengemudi terlihat, membuktikan dugaan Dulcie.

Alex. Mengenakan kacamata hitam padahal sinar matahari tidak menyilaukan sama sekali. Dia memberi gestur pada Dulcie menggunakan jempolnya.

"Ayo naik."

Dulcie menarik napas sangat berat.

Di sampingnya, Jane bersedekap.

""Nggak seakrab itu,' ya?" sindirnya.

Kalau bukan karena Johnny yang datang, bisa dipastikan Jane bakal memulai sesi wawancara dadakan. Dulcie tidak yakin dia bakal tetap selamat. Paling tidak nanti malam Jane pasti akan menelepon dan memborbardirnya mengenai apa yang terjadi hari ini. Dia harus segera menyiapkan jawaban dari sekarang.

Tapi pertama-tama, dia akan menyerbu Alex.

"Apa yang kau lakukan?" Dulcie mengganti basa-basi dengan kalimat tersebut di detik dia duduk di kursi penumpang.

"Menjemputmu," Alex menyalakan mesin mobil dengan tenangnya.

"Kenapa kau tahu aku ada di sini?"

"Aku ke kosmu tadi. Pasang sabuk pengamanmu."

Masih banyak pertanyaan yang berkelebat di kepala Dulcie. Namun ketika Alex mulai memundurkan mobil, dia tahu pertanyaannya akan diabaikan begitu saja. Jadi Dulcie menunggu sampai mobil sudah berjalan dengan stabil di jalan utama sebelum mencecarnya lagi.

Pas de DeuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang