IV

11 3 0
                                    

Begitu menarik pintu apartemennya, Alex langsung mengembuskan napas panjang. Seharian ini dia tidak melakukan apa-apa, tapi rasanya melelahkan sekali. Dia melempar sepatu ke sudut kamar sembarangan, kemudian merebahkan tubuhnya di ranjang. Hanya lampu tidur yang menyala di sana, menyinari kamarnya temaram. Berapa pun kerasnya dia berusaha tidur, Alex tidak bisa. Dia tidak bisa memejamkan mata tanpa membayangkan wajah Dulcie.

Sialan.

Alex tidak paham. Dari awal, hubungan mereka memang terikat oleh kutukan. Alex telah memikirkan salah satu cara yang bisa ditempuh untuk memunahkannya. Kenapa Dulcie harus semarah itu? Itu hanyalah ciuman. Haruskah dia melebih-lebihkannya?

Selagi memikirkannya, tanpa sadar tangan Alex bergerak menyentuh bibirnya. Dia pernah mencium bibir seorang gadis. Hal semacam ini bukan masalah buatnya.

Tetapi Dulcie mengungkit-ungkit sesuatu tentang cinta.

Lantas Alex berpikir, apa maknanya?

Dia mencoba mereka kembali pikirannya, perasaannya ketika dia mengecup bibir Dulcie. Hanya sekilas. Sentuhan lembut yang selalu menjadi alasan di setiap kisah-kisah romansa. Katanya akan mengirim getar ke seluruh tubuh.

Alex tidak merasakan hal demikian.

Dia juga tidak kehilangan apa-apa dari ciuman tersebut.

Apakah cara tersebut sedari awal sudah tidak tepat? Mungkinkah jawaban dari kutukan ini bukanlah cinta, seperti yang di dongeng-dongeng?

Lalu, apa sebenarnya yang telah menghilang dari diri Alex?

Pertanyaan itu membubung di dalam pikirannya, hingga tanpa sadar dia telah jatuh tertidur. Alex sendiri tidak ingat detailnya. Seperti ada jeda kosong dalam memorinya, berwarna gelap yang tidak jelas, dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri di dalam sebuah kabin. Kabin yang sama dengan yang didatanginya di awal Desember silam. Pria itu juga ada di sana, duduk membelakangi Alex menghadap perapian.

"Kita berjumpa lagi," katanya.

Kali ini Alex tidak gentar. Lebih dulu dia berjalan mendekati pria itu, berhenti di belakang sofa.

"Apa tujuanmu?" tanya Alex. "Kenapa kau mengutukku?"

"Sudah kukatakan padamu bahwa itu bukan kutukan."

"Siapa kau sebenarnya?"

"Apakah itu penting?" pria itu membalas dengan tenang. "Ini bukan tentang diriku, tapi tentang dirimu."

"Aku sudah melakukan semua yang kubisa. Tapi kutukan itu masih saja ada."

"Begitukah?" ada sirat geli dalam nada suaranya. "Coba katakan padaku, kenapa aku mempertemukanmu dengannya?"

"Agar kami saling jatuh cinta?"

"Sedari awal sudah kukatakan, kalian harus mencari apa yang telah menghilang dalam diri kalian. Apakah kau telah menemukannya dengan ciuman itu?"

"Aku ...." Alex hendak menyangkal, tapi tidak ada yang bisa dikatakannya. "Kalau bukan cinta, lantas apa?"

Kekehan pria itu terdengar dalam dan menenangkan, seperti air laut namun terkesan hangat. "Yang lebih menyedihkan daripada kehilangan sesuatu adalah ketika sesuatu tersebut menghilang tanpa ada yang menyadarinya."

"Bisakah kau langsung memberi jawaban saja?" Alex mulai dongkol.

"Ingatlah kembali tiap momen yang kauhabiskan dengan gadis itu. Apa yang kalian lakukan? Bagaimana perasaanmu? Terlebih, apa yang menghubungkan kalian berdua?"

Alex berpikir. Apa yang menghubungkannya dengan Dulcie, selain kutukan itu? Universitas yang sama? Tapi Alex sudah lulus. Hobi yang sama? Tidak. Dulcie mencintai balet sepenuh hati dan hidupnya, sementara Alex ....

Pas de DeuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang