Sebuah Senyuman

22 6 1
                                    

Permintaan gila Reno tentu masih sesekali melintas di pikiranku. Bahkan sampai pulang kerja, kuputuskan untuk tak menjawab tawarannya sama sekali. Kehidupanku sudah cukup rumit, seperti sekarang contohnya. Berjalan masuk ke rumah, aku sama sekali tidak ingin bertemu ataupun bertegur sapa dengannya.

“Kak Keira!”

Ingin sekali aku mengabaikan panggilannya, jika saja tidak ada Mama dan Papa di ruang tengah. Wanita itu kemudian memeluk tubuhku sejenak, kemudian menjauh dan tersenyum manis.

“Aku kangen banget sama Kakak!”

“Baru juga tiga hari di Sydney,” balasku cuek sembari memijit leher belakangku, hanya ingin menunjukkan bahwa aku benar-benar lelah dan segera masuk ke kamar.

“Lihat Adik kamu, dong, Kei,” kata Mama menghampiri kami dan ia merangkul pundak perempuan itu, “Cindy makin cantik, ya! Mama sempat pangling waktu dia pulang.”

“C’mon, Mom,” celetukku usai menghela napas berat, “dia cuma pertemuan kerja tiga hari di sana, dan enggak ada yang berubah. Aku mau ke kamar.”

“Tunggu, Kak!” kata Cindy ketika aku hendak melangkah naik ke kamarku di lantai dua. Ia kemudian mengeluarkan beberapa hadiah dan menyerahkannya padaku.

“Apa ini?”

“Hadiah! Ini tas keluaran terbaru dari merek terkenal yang Kakak suka!” kata Cindy dengan mata yang berbinar-binar, sementara aku menatap malas hadiah yang dibungkus dengan rapi ini.

“Kenapa, Kak? Nggak suka sama hadiahnya?” tanya Cindy lagi karena aku hanya diam.

“Oke, oke. Terima kasih. Tapi lain kali, nggak usah beliin aku hadiah lagi,” jawabku kemudian menerima hadiah itu dan berjalan naik ke lantai atas. Belum sempat aku membuka pintu, aku mendengar beberapa percakapan antara kedua orang tuaku dan adikku.

“Keira, Keira, selalu, deh. Dia itu cuek banget sama adiknya sendiri,” kata Mama.

“Keira itu baru pulang kerja. Dia lelah tentu saja,” balas Papa yang membelaku.

“Ya, tapi, ‘kan, harusnya dia senang lihat Cindy sudah pulang dari Sydney. Ekspresinya datar banget,” kata Mama lagi.

“Sudah, Ma. Papa bener, Kak Kei mungkin lagi capek. Kak Kei nggak pernah cuek kok sama aku,” kata Cindy menutup percakapan. Aku menghela napas kemudian membuka pintu dan masuk ke kamarku setelahnya.

Inilah satu sisi hal yang tidak kusukai dalam hidupku. Lebih baik aku bekerja dengan pekerjaan yang berat sekalipun daripada harus bertemu dengan keluargaku di rumah.

Cindy Maudya Thompson. Dia adik perempuanku. Usia kami berbeda dua tahun, dan seharusnya kami adalah saudara yang bisa dikatakan dekat sekali. Hanya saja, yang membuatku lama-lama ingin menghindarinya adalah karena kami benar-benar bertolak belakang.

Dia kutub selatan, dan aku kutub utara. Aku seorang introvert, dan dia adalah ekstrovert. Singkatnya, semua orang menyukai Cindy daripada aku, bahkan termasuk Mama sendiri sering membandingkan antara aku dan dia. Adik perempuanku itu bekerja pada bagian Marketing Communication di PT. Tramp Corp.
Orang yang melihat kami tentu akan selalu membandingkan perbedaan yang ada di antara aku dan Cindy. Ayahku orang Perancis, dan ibuku asli Indonesia, tepatnya orang Jawa. Namun wajahku sama sekali tidak memiliki keturunan blasteran seperti Cindy.

Baiklah, akan kujelaskan sedikit perbedaanku dan Cindy. Dia punya rambut yang sedikit pirang, sedangkan rambutku hitam legam. Warna kulitnya putih, sementara aku sawo matang seperti ibuku. Satu hal lagi, mata Cindy itu sedikit berwarna biru, sedangkan aku … sudah bisa kalian tebak sendiri seperti apa.
Singkatnya, aku lebih mirip Mama daripada Papa. Kemiripanku dengan Papa hanya dilihat dari tinggi badan saja. Yah, aku memang cukup tinggi daripada gadis kebanyakan, sedangkan adikku, tidak lebih tinggi dariku. Kemenanganku, hanya itu. Malam ini, aku memutuskan untuk menyibukkan diriku bersama laptop di kamarku, tanpa ingin peduli apa yang sedang Cindy lakukan bersama kedua orang tuaku.

A Change to Fallin in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang