1. Keluargaku

154 28 12
                                    

Tidak semua orang tua itu bisa menjadi Ibu yang baik. Tapi, setiap Ibu dapat menjadi orang tua yang baik

***

Dulu Ayah pernah mengatan bahwa, "kehidupan kamu tidak selamanya dilingkupi bahagia, akan ada masanya kamu merasa hancur dan benar-benar sedih. Jika saat itu tiba, diamlah. Jangan pernah ceritakan pada siapa pun perihal sedihmu. Kebanyakan dari mereka tidak peduli, hanya ingin tahu penyebab sedihmu." Tangan Ayah mengelus surai hitamku.

Aku yang saat itu masih berumur 8 tahun, hanya mengangguk paham, padahal aku tidak begitu mengerti tentang arah pembicaraan Ayah.

"Ayah gak akan biarin siapa pun jadi penyebab kamu sedih ataupun hancur. Senja itu ibaratnya bunga mawar, sedangkan ayah, adalah duri yang siap untuk melukai tangan-tangan nakal yang akan merusak Senja. Kalau suatu saat Senja sedih, bilang sama ayah, jangan sama orang lain. Paham?"

Lagi-lagi aku mengangguk paham, tapi tidak berselang lama, ke dua bibirku yang sedari tadi terkatup rapat mulai terbuka. Ada sebuah pertanyaan sederhana yang mengusik pikiranku kala itu.

"Gimana kalau ayah yang bikin Senja sedih dan jadi penyebab hancurnya Senja?" Ayah menatapku sembari tersenyum."Lalu, Senja harus bilang ke siapa?"

Tangan Ayah tak hentinya mengelus surai hitamku, bahkan sedetik pun Ayah tidak mengalihkan pandangannya dariku.

"Tetap diam dan jangan pernah ceritakan pada siapa pun!"


Aku tersenyum miris kala mengingatnya. Bagaimana mungkin waktu begitu cepat merubah sosok pria yang hangat itu menjadi seonggok bajingan?

Jika aku terlahir kembali, aku ingin menjadi awan. Melayang tanpa beban, berada diketinggian tanpa takut jatuh. Tidak perlu memikirkan perihal beban hidup yang rumit ini.

Bahkan, sedetik pun aku tak pernah membayangkan akan memiliki keluarga yang hancur berantakan.

Semua karena Ayah. Andai saja waktu itu dia tidak tergoda dengan salah satu pegawai wanitanya, mungkin hidup kelurgaku tidak akan sehancur ini. Ayah, tidak akan frustasi karena bangkrut dan ditinggal pergi wanita yang telah mengeruk habis hartanya.

Ibu tidak perlu kerja keras untuk membiayai hidup kami, juga tidak perlu menerima perlakuan kasar Ayah, atas kesalahan yang sama sekali tidak dibuatnya.

Karena sifat tamak dan keserakahan Ayah, akhirnya kami yang harus menanggung beban dan malu. Tetangga selalu saja membicarakan Ayah, Ibu, dan aku. Seakan tak ada pekerjaan selain membicaran keluargaku.

"Kalau saya jadi Bu Nuri, saya sudah minta cerai. Suami gak berguna dan kasar seperti itu kok dipertahankan,"

"Udah diselingkuhin, diperlakukan gak baik, gak dikasih uang belanja, masih aja dipertahanin. Kalau suami saya yang gitu, udah saya racunin,"

Kata-kata itu sudah biasa keluar-masuk telingaku setiap hari. Apa aku marah? Jelas saja aku marah. Siapa yang tidak marah jika keluarganya dibicarakan seperti itu? Namun, Ibu selalu melarangku untuk membalasnya. Kata Ibu, "tidak ada gunanya membalas kata-kata mereka, karena mereka sudah didoktrin oleh pemikiran buruknya sendiri. Lebih baik kita fokus memperbaiki keburukan yang sudah terlanjur didoktrin itu. Dari pada harus beradu argumen dengan mereka yang hanya tahu katanya, bukan faktanya. Bukannya ibu yang tahu kebenaran ayahmu? Jadi ibu jugalah yang lebih paham apa yang harus dilakukan." Dari situlah aku mulai bersikap tidak peduli dengan omongan para tetangga.

Tapi, tidak menutup kebenaran bahwa, aku pun masih bertanya selama ini kenapa Ibu tidak meceraikan Ayah, atau melaporkannya kepolisi atas tindakan KDRT? Entahlah, aku rasa itu privasi Ibu, yang seharusnya tidak boleh aku usik.

HAMPIR RAMPUNG [ OnGoing ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang