7

115 18 0
                                    

Deru mesin mobil terdengar memasuki pekarangan rumah mewah dengan taman yang sangat luas didepannya.

Wanita paruh baya itu turun setelah supirnya membukakan pintu untuknya.

Langkahnya berdengung keras saat hak 5 cm yang ia kenakan berhentakan dengan lantai marmer rumah besarnya.

Tas bermerk ditangannya di taruh asal ke kursi ruang tamu yang berisikan dua pria tampan disana.
Yang satu teman hidupnya dan satu lagi putra tampannya.

"Ada apa dengan wajahmu ?" Sang kepala keluarga bertanya.

"Aku kesal dengan wanita ular itu" jawabnya acuh.

Singto menghela nafas berat, sudah sangat bosan ia mengatakan jika wanita yang dimaksud ibunya memiliki nama.

"Jauhi wanita itu" wanita itu berseru kearah Singto.

"Apa kau tidak menyayangi ibu ? Ibu melahirkanmu, membesarkanmu dan mendidikmu tidak untuk melawan ibu seperti ini Singto" tambahnya.

"Ibu, aku tau kau sangat menyayangiku tapi bukankah kita sudah sangat sering membahasnya sebelum ini ?" Suara Singto begitu lembut namun tegas.

"Singto, naik ke kamarmu" kepala keluarga berusaha melerai kalau tidak seperti malam yang sudah-sudah, akan ada cekcok antara ibu dan anak ini.

"Wanita itu tidak baik untukmu" ujar Ibu Singto berapi.

"Baik buruknya dia hanya aku yang bisa menilainya bu, ibu bahkan tidak mengenalnya dengan baik. Aku lelah aku ingin istirahat" Singto beranjak dari sana, langkahnya gontai menuju tangga yang akan membawanya ke lantai dua pada kamarnya.

"KAU SAMA KERAS KEPALANYA DENGAN ORANG ITU" teriakan ibunya membuat Singto mematung dipijakan kedua anak tangga.

Singto memutar tubuhnya hanya untuk memberikan sebuah senyuman pada ibunya.

"Tentu saja bu, orang itu kakakku" penuh tekanan pada kata yang menunjukkan kepemilikan itu.

Selepasnya Singto bergerak cepat menapaki sisa anak tangga untuk bergegas ke kamarnya.

"Dia bukan kakakmu, dia hanya anak yang tidak tau diri, jangan pernah menyebutnya sebagai kakakmu" kurang lebih seperti itu kata-kata yang Singto dengar sebelum ia menutup pintu kamarnya.

Sekali lagi ia menghela nafas.

Lelah sekali ia menghadapi drama di keluarganya ini.
Ibunya yang begitu ingin mengatur segalanya, termasuk pilihan anak-anaknya.

Luka dihatinya terbuka lagi karna perkataan ibunya.
Luka mendalam yang ditorehkan keluarganya sendiri.

Dulu sekali, Singto pernah memiliki seorang kakak laki-laki, memang tidak sedarah karna laki-laki itu hanyalah anak yang dipungut ayah Singto sebelum menikahi ibunya.

Anak yang tinggal dipanti karna orang tuanya yang sudah tiada, ayah Singto dulu sering mendonasikan uangnya untuk panti itu dan pertemuannya dengan bocah laki-laki yang saat itu sedang menjemur pakaian adik-adiknya dipanti itu menorehkan perasaan yang amat dalam.

Hingga entah bagaimana ceritanya bocah itu diangkat sebagai anak dan setahun setelahnya ibu menikah dengan ayah.

Jika pemikiran kalian tentang ibu yang membenci sosok kakak sedari dulu, maka kalian salah, justru ibu sangat menyayangi dan menjaganya selayaknya anak sendiri.

Dua tahun setelah pernikahan itu Singto lahir, kasih sayang ibu tetap sama.
Terbagi rata antara kakak dan Singto.

Singto juga begitu menyayangi kakaknya begitupun sebaliknya.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang