2

12 2 0
                                    

Lelah, tentu saja iya. Tapi yang lebih membuatku muak adalah rasa bosan. Bosan berada ditempat yang sama setiap saat dengan suasana yang tentu sama saja. Sesekali aku ingin berontak dan kabur, tapi aku juga tahu itu akan membuatku semakin sakit.

****

Ira terbangun, matanya memerhatikan sekeliling,

rupanya aku kembali keruangan ini lagi, bau yang sama setiap kali aku kesini, yah namanya juga rumah sakit.

Ira melihat jam dinding disebelah kanan tempat tidurnya, rupanya sudah jam delapan malam. Berarti dia pingsan selama itu, kakaknya sangat khawatir hingga dia tertidur disamping ranjang Ira. Perlahan air mata Ira mengalir, membayangkan bagaimana jika seandainya dia harus pergi untuk selamanya. Apakah kakaknya akan baik-baik saja disini. Sebenarnya Ira sudah lelah seperti ini, akan tetapi dia juga tidak siap pergi. Dia kadang merasa bahwa dirinya begitu egois. Ira menghapus air matanya lalu mencoba membangunkan kakaknya.

"Kak, kakak, bangun",Ira mengelus lembut kepalanya dengan suara yang masih serak, khas bangun tidur.

"Eh, dek, udah bangun?, gimana?, apanya yang sakit?", Dimas melontarkan beberapa pertanyaan.

"Aku nggak apa-apa kak", Kakaknya mulai menangis, begitu pula dengan Ira, memang agak lucu, setiap kali salah satu dari mereka menangis, yang lain juga akan terbawa.

"Kak, inikan bukan pertama kalinya, aku gak apa-apa kok, kakak jangan nangis lagi dong. Akukan jadi ikut sedih", Kakaknya memeluknya dengan erat, dengan tangis yang mulai terisak.

"Kamu punya kakak satu-satunya, kakak gak mau kehilangan kamu", ucapnya dengan tangis yang semakin terisak

"Kak, istigfar, bukankah semua orang memang harus kembali", kakaknya semakin terisak setiap kali mendengar Ira mengatakan hal itu. Ira tidak ingin membuat kakaknyasemakin sedih, dia hanya ingin kakaknya sadar.

"Kak, bajuku basah nih, dingin, hehehe, kakak kayak anak kecil yang kehilangan permen tau gak", Ira berusaha menghibur kakaknya. Kakaknya hanya mencubitnya sedikit.

"Hahaha, awww, sakit tau"

"Dek?", Akhirnya kakaknya melepaskan pelukan dan menyeka air matanya.

"Kenapa kak?"

"Yang tadi itu siapa?"

"Yang mana?"

"Tadi waktu kakak sampai disana, kamu udah gak sadarkan diri, dan disana kamu lagi sama cowok"

"Cowok?", Ira memutar otak, dan mencoba mengingat-ingat kejadian ditaman, tapi bagaimanapun dia memang sendirian disana.

"Setau aku, aku sendirian tadi kak" , ucapnya polos.
Kakaknya mengangguk,

"Tapi tadi dia kayak sedih banget gitu loh dek. Kakak sempat liat sekilas dia nangis" , Ucap Dimas sembari mengingat kejadian tadi siang.

"Gimana ciri-cirinya kak?", Tanya Ira penasaran.

"Dia pakai pakaian serba hitam gitu, tertutup lagi", Jelas Dimas.

"Emang sih, sempat ditolongin sama senior. Tapi sebelum aku nelpon kakak dia udah pergi, ciri-ciri nya juga beda", Jelas Ira.

"Dia bantuin kamu apa?"

"Hehe, obat aku jatoh, pas-jantung aku mulai sakit", ucap Ira sedikit ragu.

"Kamu gak minum obatnya tepat waktu lagi yah", suara kakanya agak meninggi, dan membuat Ira menundukkan kepalanya.

"Ma-maaf", Kakaknya menghela nafas berat, lalu mengelus kepalanya.

"Maaf yah, kakak sibuk akhir-akhir ini, jadinya gak merhatiin kamu". Ira kembali memeluk kakaknya sayang.

"Gak apa-apa, itukan pekerjaan kakak, lagian ini salah aku kok, aku terlalu ceroboh dan pelupa", kakaknya tersenyum dan membalas pelukannya.

Tiba-tiba pintu diketuk, "masuk". Rupanya itu pacar Dimas.

"Kak Intan?", dia tersenyum dan langsung memeluk Ira.

"Sayang, kamu kok gak bilang kalau mau datang". Intan cemberut dan tidak menjawab Dimas. Irapun tekekeh melihat tingkah imut Intan.

"Pasti dia gak ngecek hpnya lagi kak", bisik Ira ketelinga Intan.

"Iya, emang sok sibuk", jawab Intan sembari menyipitkan matanya.
"Kita kerjain yuk kak", ajak Ira dengan ide jahilnya.

"Siap". Dimas mulai jengkel karena dua orang dihadapannya terus berbisik sambil ketawa-ketiwi.

"Gitu yah, gak ngajak-ngajak, ngomongin apa sih?", Dimas melipat tangannya didada sembari mendekatkan telinganya.

"Ih, kakak kepo deh, kak beliin makanan dong buat kita", Ira memulai rencananya.

"Apa?", tanya Dimas dengan alis sedikit terangkat. Sepertinya prasaannya mulai tidak enak.

"Terserah kak Intan". Intanpun mengerjai Dimas habis-habisan. Ira sangat bahagia dan suka moment yang penuh kehangatan ini.

FaidzunWhere stories live. Discover now