5. 🚗🌲

7.8K 1K 84
                                    

Di sini lah Chenle sekarang, berada di kursi penumpang dalam perjalanannya menuju kampus dengan Jisung yang berada di kursi kemudi.

Tidak tahu entah sejak Jisung berbica dengannya di dapur, di kamar, atau sejak Jisung menggenggam tangannya, Chenle benar-benar tidak bisa menahan dirinya. Detak jantungnya terus berdetak, semakin keras dan semakin cepat. Ia bahkan sampai takut pemuda di sebelahnya dapat mendengar hal itu.

Pikiran Chenle terus saja memikirkan hal-hal yang semakin membuat dirinya tidak karuan. Sejak kapan Jisung menjadi sedikit lembut? Sejak kapan Jisung bahkan mau repot-repot berangkat lebih awal seperti sekarang? Sejak kapan Jisung menggenggam tangannya seperti tadi? Sejak kapan Jisung lebih tersenyum padanya?

Sejak malam dirinya mabuk?

Chenle menggeleng saat bayangan mengenai mimpinya yang berciuman dengan Jisung terputar di kepalanya. Ia memukul-mukul lirik kepalanya, berharap bayangan memalukan itu akan hilang.

Tanpa sadar, sepasang iris kelam kini memperhatikannya dengan bingung. Tangan kiri Jisung terulur, memegang tangan kanan Chenle hingga ia berhenti melakukan hal yang akan menyakiti dirinya sendiri.

"Kenapa?"

Chenle menggeleng. "Aku hanya sedang mencoba mengingat materi untuk kuis, tapi aku melupakan sesuatu."

"Chenle aku tahu isi otakmu."

Chenle menahan napas saat mendengar kalimat yang Jisung ucapkan. Apa selama ini Jisung bisa membaca pikiran?

"Kamu ini pintar, cukup calm down, nanti waktu kuisnya mulai juga bakal ingat. Kalau dibawa panik gini nanti malah ga fokus," jelas Jisung. Ia melepaskan tangannya dari lengan Chenle kemudian mengusak surai cokelat itu sembarang sebelum kembali pada kemudi.

Yang mendapat perlakuan tersebut hanya bisa menahan napas, merasakan pipinya yang mulai memanas. Chenle memalingkan wajah, memandang ke luar jendela dengan harapan Jisung tidak melihat bagaimana kulitnya yang ia yakin sudah memerah.












"Chenle ga mau sarapan dulu?" tanya Jisung begitu keduanya keluar dari mobil.

Chenle melihat jam di pergelangan tangan kirinya. "Ga keburu."

Setelah mengatakan hal tersebut, pemuda manis itu segera berlari meninggalkan Jisung.









Chenle berjalan dengan enggan begitu kelasnya berakhir. Ia benar-benar pusing dan malas untuk berbicara. Keinginannya sekarang hanyalan mencari makan siang, meminum minaman manis yang hangat untuk memulihkan tenaganya. Chenle rasa kadar gula dalam darahnya sedang turun.

Baru hendak menuruni tangga, langkah Chenle terhenti saat seseorang menahan pergelangan tangannya. Ia menghela napas hendak melayangkan protes tetapi semua itu ia urungkan saat mengetahui Jisung lah pelakunya.

"Makan siang bareng," ajak Jisung.

Tanpa menunggu persetujuan Chenle, Jisung segera merangkul pemuda yang jauh lebih pendek darinya dan melenggang pergi.

"Lemes amat?" tanya Jisung.

Chenle hanya menghela napas. "Mau makan di mana jangan jauh-jauh aku masih ada kelas."

Keduanya kini berada di depan mobil Jisung, pemuda jangkung itu membuka pintu kemudi, mengurungkan niatnya saat melihat Chenle yang hanya diam di tempat. Ia menutup pintu mobil, kemudian berjalan mendekati Chenle, mendorong tubuh mungil tersebut, membawanya ke sisi pintu penumpang, membuka dan memaksanya duduk.

Setelahnya, Jisung menutup pintu, berjalan kembali ke sisi kemudi dan mendudukkan diri dengan nyaman.

"Pakai sabuk pengamannya," titah Jisung. "Mau aku pasangin?"

"Ga usah," jawab Chenle singkat.

Pemuda manis itu menarik sabuk pengaman kemudian memasangnya dengan cepat. Ia sudah terlalu lelah dan lemas sekarang, jika Jisung sampai benar-benar melakukan itu, Chenle mungkin akan pingsan karena jantung yang berdetak cepat itu sungguh melelahkan.

"Jangan jauh-jauh," ujar Chenle mengingatkan.

"Aku mau ke Pak Jo," jelas Jisung.

Chenle menoleh, untuk beberapa detik ia tertegun melihat potret pahatan Jisung yang tampak sempurna dari samping. Terlebih dengan lengan kemeja yang digulung hingga ke siku juga ekspresi serius dan fokus pada jalanan di depannya sungguh membuat Chenle pusing. Jisung sangat sexy.

Pemuda manis itu menggeleng guna menghilangan bayangan di otaknya sebelum semakin meresahkan.

"Jisung gila ya, ke sana aja bisa sampai setengah jam. Aku kan sudah bilang masih ada kelas." Omelan demi omelan ke luar dari bibir Chenle.

Chenle akui, kedai Pak Jo memang menjadi tempat makan kesukaan mereka. Berada jauh dari keramaian kota dengan udara yang minim polusi juga menu makanan yang enak dan tidak menguras kantong, tentu saja tempat itu menjadi tempat yang sesuai untuk mengisi perut sembari melepas lelah.

Namun, kenapa pemuda di sebelahnya itu malah mengajaknya pergi sekarang? Tentu saja Chenle selalu merasa senang jika pergi bersama Jisung. Tapi ia masih ingat ada satu kelas terakhir sebelum kegiatan kampusnya berakhir.

"Bolos."

Satu kata yang keluar dari bibir Jisung sontak membuat kedua mata Chenle membola.

"Park Jisung beneran sudah gila ya. Kalau mau bolos ya tinggal bolos aja sendiri kenapa harus ngajak aku?"

Jisung menutup telinga kirinya dengan jari, merasa berdenging saat mendengar omelan suara lumba-lumba dari pemuda di sampingnya.

"Sekali doang, Chenle. Jarang-jarang kita jalan berdua."

Chenle menyerah. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Jisung itu keras kepala, saat ia sudah mengatakan sesuatu, protes sekeras apa pun tidak akan mengubah keputusannya. Tidak ada pilihan lain. Chenle tidak mungkin membuka pintu dan terjun saat mobil masih melaju, ia tidak seberani itu. Ia juga tidak mungkin memukul Jisung dan berebut kemudi seperti di film-film. Pikir Chenle, lebih baik ia bolos satu mata kuliah dari pada harus bolos selamanya karena kecelakaan.

Baiklah.

Chenle menghela napas, menyandarkan punggung lelahnya dan kembali menatap ke luar jendela.

"Anggap aja kencan," gumam Jisung lirih yang mungkin saja tidak terdengar oleh Chenle karena pemuda manis itu mulai memejamkan mata.

HONEST (JICHEN / CHENJI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang